Like This

1669 Words
Zizi yang kini tengah mengendarai mobil melirik Raka yang ada disebelahnya. Pria itu memejamkan matanya sambil menyenyenderkan tubuhnya dengan bentukan yang sangat lemah. "Pak Raka baik-baik aja kan? Nggak sakit lagi kan?" tanya Zizi memastikan, terakhir kali Raka sudah merasa lebih baik 'katanya'. Tanpa membuka mata Raka menggeleng sekilas. "Pak kita mau ke rumah sakit dulu apa gimana?" tanya Zizi lagi karena mereka sudah sampai di kota mereka lagi setelah melalui perjalanan beberapa jam. "Pulang saja," "Berarti saya bawa bapak ke rumah? Saya nggak tahu rumah bapak," Raka mengambil ponsel di sakunya dan setelah tangannya bergerak sebentar dilayar ia memberikannya pada Zizi. Tanpa banyak komentar Zizi mengambil ponsel itu dan melihat aplikasi yang telah menunjukkan lokasi menuju rumah Raka. "Bapak tinggal sama siapa? Ada yang bakalan jaga bapak seandainya bapak kenapa-napa kan?" "Saya di apartemen sendiri," Zizi terkejut, "terus nanti kalau ada apa-apa gimana? Bapak bukannya punya asisten ya? Apa perlu saya yang hubungi biar dia sekarang juga jalan ke tempat bapak?" "Kalau kamu saja gimana?" "Eh!?" kaget Zizi menoleh pada Raka. "Kamu sekretaris pribadi saya, saya gaji kamu mahal, beberapa hari kedepan saya gak akan masuk kantor, kamu saya liburkan juga. Gantinya kamu yang jaga-jaga kalau saya ada apa-apa," "Tapi kan pak saya...," Zizi tak bisa melanjutkan kata-katanya, ia ingin protes tapi tidak tahu bagaimana alasan yang bisa diterima Raka. "Apa?" Zizi diam dan memilih hanya fokus pada jalanan di depannya. Namun dering ponsel mencuri perhatiannya. "Saya yang ambil, bahaya." Raka menghentikan pergerakan Zizi yang hendak mencari ponsel di dalam tas yang terletak disampingnya. "Oh, makasih pak..," dengan sedikit canggung Zizi mengambil ponsel yang diberikan Raka padanya setelah mengambilkannya dari dalam tas. "Halo bi..," jawab Zizi mengetahui telfon dari Bi Diah, tetangganya yang membantu merawat Arvin. "Arvin Zi..," Jantung Zizi langsung berdebar kencang mendengar nama Arvin disebut dengan panik oleh Bi Diah, "ada apa bi?" Tak lupa Zizi melirik Raka, jangan sampai Raka mengetahui apa yang ia bahas di telpon. Syukurnya pria itu menoleh ke luar jendela. "Arvin panas tinggi, bibi lagi di rumah sakit," "Apa!? Terus sekarang gimana!?" Zizi menahan kekagetannya walau sangat khawatir sekarang. "Udah ditangani dokter sebenarnya, kamu kapan pulang Zi?? Arvin pasti bakalan rewel dan nyariin kamu," "Aku udah pulang kok, aku bakalan kesana secepatnya, kalau ada apa-apa kasih kabar ya bi," "Iya Zi, kamu hati-hati ya, bibi tunggu," "Iya bi, aku kesana." Zizi meletakkan lagi ponsel miliknya dan menatap jalanan dengan gelisah. "Kenapa? Kamu terlihat aneh," Raka menyadari aura Zizi berubah sejak menerima telfon. Zizi kebingungan harus menjawab apa sekarang, otaknya sedang tidak bisa berpikir karena diselimuti kekhawatiran pada keadaan Arvin. "Apa terjadi sesuatu?" tanya Raka lagi karena Zizi tak kunjung menjawab. "Ada keluarga saya yang masuk rumah sakit pak," "Keluarga?? Siapa? Apa perlu kita ke rumah sakit sekarang?" Iya, Zizi ingin sekali melajukan mobil ke rumah sakit sekarang juga untuk bertemu Arvin, tapi tidak dengan Raka. Bisa ribet urusannya. "Ini udah deket apartemen bapak, saya antar bapak dulu saja," "Yasudah, kamu bisa bawa mobil saya setelah sampai nanti," Zizi menoleh kaget mendengar ucapan Raka, "seriusan pak??" "Kamu kelihatan cemas sekali, hati-hati di jalanan," Senyum Zizi terkembang sekaligus menunjukkan ekspresi berterima kasih pada Raka, "makasih banget pak, iya saya bakalan hati-hati," "Tapi ponsel kamu harus selalu stay, saya bisa butuh kamu secara tiba-tiba, dan kamu tahu kalau kamu harus ada untuk saya," "Iya pak," * Zizi terpaku duduk disebelah Arvin yang kini tertidur dengan selang infus ditangan kecilnya. Tangannya mengusap pelan kepala Arvin yang sedari tadi terus menangis, melihatnya terlelap seperti ini membuat hati Zizi menjadi lebih tenang. "Makasih ya bi udah cepat bawa Arvin ke rumah sakit, aku benar-benar merasa bersalah dan sangat merepotkan," ujar Zizi mengetahui Arvin sempat step tapi syukurnya dapat ditangani dengan cepat. "Iya nggak apa-apa kok Zi, syukurlah keadaannya mulai membaik, bibi yakin dia cepat membaik karena kehadiran kamu," Bi Diah memijat pelan bahu Zizi yang sedang menatap Arvin dengan tatapan layu. "Ini pasti karena aku ninggalin dia gitu aja," "Udahlah Zi jangan suka nyalahin diri kamu, ini cuma kebetulan dan Arvin juga udah baik-baik aja. Kamu juga ngelakuin semuanya untuk Arvin," Zizi mengusap wajahnya yang terasa lelah sambil menghela napas panjang, "kamu anak yang kuat sayang," "Selagi Arvin tidur mending kamu istirahat juga, kamu kelihatan lelah sekali," ** Zizi terbangun dari tidurnya dan langsung melirik jam yang menunjukkan pukul 3 pagi, ia mencoba memeriksa Arvin yang terlelap dihadapannya. Bersyukur sekali Zizi mendengar perawat mengatakan kondisi Arvin membaik dengan sangat cepat, dia sudah tidak rewel dan sudah bisa tertawa-tawa saat seseorang mengajaknya berinteraksi. Jika begini Arvin sudah bisa dibawa pulang pagi ini. Kantuk Zizi rasanya hilang seketika saat teringat akan Raka. Bosnya itu tidak memberi kabar sama sekali, apa dia baik-baik saja. Zizi meraih ponselnya ingin menelfon hanya untuk sekedar memastikan, namun menyadari jam saat ini, rasanya tidak mungkin. "Duh, kok jadi kepikiran banget ya? Apa aku udah mulai mendalami posisi sekretaris pribadinya Pak Raka? Emang segini kepikirannya ya?" Zizi berjalan memegang ponselnya menuju balkon. Setelah menutup pintunya lagi agar angin malam tidak masuk ke dalam ruangan, Zizi masih bingung menatap layar ponselnya. "Nggak usah di telfon, kirim pesan aja deh," Zizi membuka salah satu aplikasi chat dan ia kaget karena status kontak Raka menunjukkan jika pria itu baru saja online. "Nah loh? Pak Raka belum tidur? Atau udah bangun?" tanpa ragu Zizi memutuskan menelfon bos nya itu. "Halo pak?" agak kaget juga sebenarnya karena Raka langsung menjawab panggilan yang Zizi buat. "Kenapa kamu menelfon saya jam segini!?" "Anu, itu pak..," kemampuan bicara Zizi yang dikenal bagus hilang seketika mendengar jawaban Raka yang langsung meninggi. "Apa??" "Maaf nelfon bapak jam segini, saya cuma mastiin keadaan bapak. Bapak baik-baik aja kan?" "Bukannya sudah saya bilang kalau ada apa-apa saya bakal hubungi kamu, tidak perlu kamu yang hubungi saya," Zizi terdiam sejenak dan merasa bersalah telah menghubungi Raka, "maaf pak. Kalau begitu saya tutup telfonnya, maaf mengganggu," "Kamu dimana?" Zizi yang telah menjauhkan ponsel dari telinga hendak mematikan panggilan kembali meletakkan ponselnya di telinga, "oh, saya masih di rumah sakit pak," "Gimana kondisi keluarga kamu itu?" "Udah membaik pak, pagi ini kemungkinan bisa pulang," "Kamu nggak tidur?" "Eh..," terkejut Zizi mendengar pertanyaan Raka, "saya tadi udah tidur terus kebangun pak," "Terus langsung nelfon saya?" "Ii.., iy, iya pak, maaf," Terdengar helaan napas dari arah Raka yang Zizi tidak tahu apa maksudnya. "Kamu bisa masak kan?" "Iya pak bisa, kenapa memangnya?" "Setelah mengurus keluargamu itu, kamu ke tempat saya untuk masak," "Baik pak," tanpa sempat berpikir Zizi langsung menyetujui ucapan Raka dan telfon terputus begitu saja. ** Setelah memastikan Arvin aman setelah dibawa pulang dari rumah sakit, Zizi langsung berbelanja berbagai bahan untuk dibawa ke apartemen Raka. Kini ia sudah ada di depan pintu apartemen Raka menunggu pintu terbuka untuknya. "Siang pak, saya udah beli bahan-bahannya," sapa Zizi saat seorang pria memakai celana panjang longgar dengan atasan kaos berwarna putih sudah membukakan pintu untuknya. "Yaudah masuk," cuek Raka masuk kembali diekori Zizi yang agak kepayahan membawa dua kantong plastik ditangannya. "Dapurnya dimana pak? Saya mau langsung masak," ujar Zizi karena Raka terus berjalan didepannya tanpa berkata apapun. "Ikutin aja, ini mau ke dapur," "Oh gitu, oke pak," hanya itu yang bisa Zizi jawab walaupun dalam hatinya sudah kesal dengan sikap dan gaya bicara lelaki didepannya itu. Saat ini Zizi sudah mulai sibuk dengan kegiatan memasaknya, namun satu hal yang membuatnya risih, keberadaan Raka yang ikut duduk di dapur. Walaupun hanya duduk sambil bermain ponsel, tetap saja itu mengganggu untuknya. "Bapak nggak perlu nungguin saya juga, saya jadi gerogi masaknya," Zizi akhirnya mengutarakan rasa ketidak nyamanannya. "Memangnya kenapa? Ini kan dapur saya? Kamu ngusir saya? Kok jadi kamu yang ngatur saya?" Zizi menghela napas dalam menenangkan dirinya, dia harus membiasakan diri dengan Raka yang kalau bicara seolah ingin mengajak orang bergulat sampai mati. "Yaudah pak maaf, terserah bapak dan terserah saya aja sekarang," Zizi pasrah dan berusaha tidak mempedulikan kehadiran Raka. Raka yang tadinya duduk sibuk dengan ponsel ditangannya kini meletakkan sumber kesibukannya itu ke atas meja dihadapannya. Tanpa sadar kini ia menopang dagu memperhatikan seorang wanita sibuk di dapur yang sebelumnya hanya dirinya seorang yang boleh menyentuh. Entah apa yang ada dipikiran Raka secara tiba-tiba menyuruh Zizi datang untuk memasak. Mungkin saat bicara dirinya sedang tidak sadar, atau kehilangan akal atau ia memang sedang merasa begitu kesepian. Raka merasa iba dengan dirinya sendiri. Mata Raka terus mengikuti pergerakan Zizi yang begitu cekatan dalam urusan dapur, sepertinya ia sudah biasa pikir Raka. Namun kini yang menjadi fokus utama perhatian Raka bukanlah pergerakan Zizi, namun sosok sekretarisnya itu sendiri. Bukankah gayanya terlihat sangat berbeda dari biasanya? Walau tidak begitu memperhatikan, setahunya sekretarisnya ini dikantor selalu memakai rok selutut, atasan yang rapi, sepatu heals, lalu rambutnya dikuncir kuda serta tak lupa make up natural dan gincu kemerahan dibibir yang menjadi andalannya. Untuk ukuran wanita kantoran terkhusus sekretaris, gaya Zizi sangat standar dan tidak begitu mencolok. Tapi lihat bagaimana Zizi sekarang, dia memakai celana jeans hitam dengan baju kaos panjang berwarna hitam putih yang longgar, tidak memakai sendal, dan ia menyanggul rambutnya saat masak. Hanya dari tampak belakang Raka bisa merasakan jika wanita ini benar-benar masih muda. Raka juga ingat wajah Zizi yang tadi cuma ia lihat sekilas, dia tidak memakai make up, mungkin hanya bedak dan yang paling Raka ingat, Zizi tidak memakai lipstick berwarna merah. Dengan begitu Raka menyimpulkan, bibir wanita itu tetap berwarna cerah walau tak dipoles pewarna, sama seperti saat ia dan Zizi ke tepi laut malam itu, dan ia menyukainya. Mata Raka seolah tak bisa lepas dari setiap pergerakan Zizi, bahkan saat Zizi sudah berdiri tepat dihadapannya. "Pak, bapak suka asin apa nggak?" Zizi mengulang pertanyaannya karena Raka tak kunjung menjawabnya. "Kenapa rambut kamu coklat?" bukannya menjawab pertanyaan Zizi, Raka malah memberi pertanyaan baru. "Hah?? Rambut saya?" "Saya tidak suka wanita yang mewarnai rambutnya," "Maaf pak,  tapi saya nggak ngewarnain rambut saya, ini warna asli," Zizi menjawab bingung sambil membela diri. "Bohong!" "Astaga pak, buat apa saya bohong? Dari lahir rambut saya coklat walau nggak ada keturunan bule. Kalau bapak nggak suka harus saya warnai rambut saya jadi hitam biar bapak suka?" "Gak usah, seperti ini saja saya sudah suka."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD