"Bertemu denganmu benar-benar membuat moodku membaik," ujar Maurin berdiri dari sofa yang ia duduki setelah entah berapa lama ia membicarakan banyak hal dengan Raka, mulai dari hal penting sampai hal yang rasanya tak pantas untuk dibahas.
"Walaupun begitu jangan sering-sering menemuiku, kamu membuat waktuku habis," balas Raka yang membuat Maurin terkekeh.
"Andai saja kamu bukan sepupuku, aku sudah akan menikahimu,"
Raka memutar bola matanya malas, "sembarangan, ingat suamimu,"
"Dan seandainya dia juga mengingatku,"
"Sudahlah, ayo kita pulang," ajak Raka sudah berjalan beriringan dengan Maurin untuk keluar ruangan.
"Astaga, dia belum pulang?" Maurin terkejut mendapati sekretaris Raka tertidur diatas meja kerjanya.
Raka melihat jam tangan miliknya yang menunjukkan kalau ini sudah cukup lama dari jam pulang kantor, "kenapa dia masih disini?" pria itu bergumam.
"Apa kamu tak mengizinkan sekretarismu pulang sebelum kamu juga pulang? Wah kamu bos yang kejam sekali," Maurin berkomentar sambil geleng-geleng kepala namun dering ponselnya membuatnya langsung beralih fokus.
"Astaga, suamiku pulang!? Gawat kalau aku masih disini!! Raka aku balik sekarang!!" Maurin langsung berlari dengan sangat cepat meninggalkan Raka yang melongo.
Raka kembali memperhatikan Zizi yang tidur diatas meja kerjanya, "hey bangun," ia mendekat mencoba membangunkan Zizi.
"Zivana bangun, kenapa kamu tidur disini?" Raka kembali bersuara sambil berpangku tangan menunggu wanita itu bangun.
Mendengar itu Zizi langsung membuka matanya dan duduk dengan tegap, "iya pak maaf, ada yang bisa saya bantu?"
"Kenapa kamu tidak pulang?" tanya Raka tanpa peduli apakah Zizi benar-benar sudah bangun atau belum.
Zizi mengusap sekilas matanya dan kaget melihat jam dinding yang terletak depannya, "astaga kenapa saya masih disini pak!?"
"Itu pertanyaan saya tadi,"
"Ya ampun saya ketiduran nungguin bapak,"
"Siapa yang suruh kamu nungguin saya?"
Zizi menghela napas lelah, "bapak lupa tadi pagi ngomong apa? Bapak bilang saya telat karena datang setelah bapak, otomatis saya juga harus pulang kalau bapak juga sudah pulang, saya nggak mau bapak omelin lagi,"
"Saya cuma nyuruh kamu datang sebelum saya saja bukan?"
"Saya nggak bodoh pak, saya bisa baca pesan dan makna lain dari setiap ucapan bapak,"
"Kamu sok tahu,"
"Jadi saya salah lagi pak?"
"Ya jelas," jawab Raka enteng.
Zizi hanya bisa memasang wajah pasrah, "iya saya salah. Maaf, udah pulang telat niatnya buat loyal masih salah dimata bapak. Yaudah pak saya terima saja nasib saya,"
Mendapati tanggapan Zizi entah kenapa membuat Raka puas, tanpa sadar Raka mendapatkan hobi baru membuat Zizi merasa teraniaya.
"Kalau gitu saya izin pulang sekarang," Zizi mulai merapikan barang-barangnya dengan wajah kusut.
"Siapa yang suruh kamu pulang sekarang?"
"Nah kan bapak, ini sudah sore dan tingkat kesabaran saya udah menipis loh pak," Zizi memperingati dengan terus bersabar.
"Saya kan cuma bertanya, kamu kenapa emosi sekali? Bosnya saya apa kamu sih?"
Zizi berusaha tersenyum lebar menanggapi Raka walau hatinya sudah sangat kesal sampai-sampai ingin gigit manusia, "makasih ya pak atas perhatiannya, saya merasa tersanjung,"
"Saya juga akan pulang, mau sekalian tidak? Selagi saya baik memberikan kamu tumpangan,"
"Makasih ya pak tapi saya lebih milih naik bus saja, dijamin hidup saya aman sampai tujuan," tolak Zizi ingin meninggalkan Raka.
"Ini termasuk perintah, kamu pulang dengan saya,"
Dan Zizi hanya bisa menerima takdir.
*
"Zi, kamu pernah dijodohin nggak?" pertanyaan pertama tanpa basa-basi Raka pada Zizi yang duduk disebelahnya fokus mengemudi.
"Nggak pak,"
"Kenapa?"
"Ya ngga kenapa-napa, emang harus gitu dijodohin? Itu artinya orang tua saya nggak kepikiran jodohin saya,"
"Jawabnya santai dong, ga usah ngegas gitu,"
"Ya bapak sih pakai tanya kenapa, ada-ada aja sih," jangan tanya kenapa Zizi mudah sekali kesal. Dia sudah cukup lelah.
"Ya santai dong,"
"Iya pak iya," Zizi berusaha menenangkan diri, "emang kenapa pak nanya? Bapak mau dijodohin ya?"
"Kamu mau tahu saja saja urusan orang,"
Zizi diam, tak ingin melanjutkan pembicaraan. Takut meledak.
"Kalau saya nanti beneran dijodohin gimana?" Raka bicara lagi.
"Mau saya tanggapin pak?" Zizi memastikan terlebih dahulu.
"Ya jelas lah, namanya komunikasi mesti dua arah lah,"
"Ya nanti bapak saya jawab dan tanya balik bapak malah bikin saya kesel sampai ubun-ubun, saya kan jadi malas nanggepinnya,"
"Jawab aja kenapa? Nggak usah ribet,"
"Tuh kan mulai,"
"Orang cerita itu dijawab, bukan ngedumel sendiri," omel Raka memperingatkan.
Kurang nyebelin apa bosnya Zizi.
"Masalah perjodohan, kalau bapaknya ngerasa cocok ya kenapa nggak? Lagian pasti orang tua bapak nyariin yang terbaik buat anaknya," Zizi mulai memfokuskan pembicaraan mereka agar tak keluyuran kemana-mana.
"Kamu bela orang tua saya?"
"Bukan begitu pak, astaga..... Saya berpendapat diluar pihak bapak atau orang tua bapak. Toh kalau bapak nggak mau ya bilang, dan kasih alasan yang bikin mereka yakin," jelas Zizi.
"Saya hanya tidak mau,"
"Bapak belum bisa move on ya?"
"Entahlah,"
Zizi tersenyum saat mendapati respon Raka saat ia melirik. Rona wajahnya kembali lesu seolah tidak ada semangat hidup.
"Saya penasaran gimana cewek yang namanya Kania itu,"
Raka menoleh pada Zizi dengan cepat, "tahu darimana kamu namanya?"
"Satu kantor pada tahu kali pak, walau saya nggak niat tahu, bisik-bisik sampai ke telinga saya," Zizi terkekeh.
"Karyawan dikantor pada kerja atau ngapain sih sampai bisa tahu segalanya?"
"Karyawan bapak punya bakat stalker dan mata-mata semua pak, bapak bisa ganti perusahaan jadi agen mata-mata atau wartawan gosip," canda Zizi yang membuat Raka tanpa sadar ikut tertawa.
"Ide bagus,"
"Mbak Kania itu sekarang lagi dimana sih pak?"
"Kenapa kamu tanya-tanya? Mau disebarin ke satu kantor juga?" Raka waspada.
"Ya enggak juga sih pak, orang cuma penasaran doang,"
"Gak usah dibahas, saya malas membahas tentang ini,"
"Saya tahu move on itu susah, bapak yang semangat aja," Zizi menyerah dan berakhir menyangati Raka.
"Kamu biasanya bisa move on berapa lama? Kamu pernah pacaran kan?"
Zizi berpikir sambil mengetuk-ngetukkan jarinya pada stir, "hm.., nggak lama sih pak, cuma beberapa minggu aja. Mungkin saya belum ketemu sama orang yang benar-benar saya cintai aja makanya nggak begitu galau,"
"Begitukah?"
"Saya pikir sih pak,"
Raka mengangguk sekilas tidak begitu ambil pikir jawaban Zizi.
"Bapak suka anak kecil?" Zizi membuka topik baru, lagian dari tadi Raka terus yang seolah menginterogasinya.
"Nggak,"
"Kok nggak suka? Kan mereka lucu pak," Zizi tidak percaya mendengar jawaban Raka yang begitu mulus keluar dari mulutnya.
"Apa-apa nangis, kan kesel,"
"Ya ampun namanya juga anak-anak pak, itu artinya mereka lagi pengen sesuatu atau mereka ngerasa nggak nyaman," Zizi menjelaskan.
"Apa salahnya ngomong? Kan jelas, ini malah nangis nggak jelas,"
"Si bapak kayak kecilnya nggak nangis aja,"
"Saya nggak tahu, kan saya masih kecil," enteng Raka menjawab.
"Kan saya yang denger kesel," Zizi hanya bisa melengos tak tahu menjawab apa.
"Kamu kayak yang punya anak kecil aja paham banget,"
Zizi tersedak sambil kembali berusaha berlagak normal, "ya namanya cewek udah mulai dewasa, jiwa keibuannya sudah harus tumbuh dong pak,"
"Saya ke tempat kamu ya," tiba-tiba Raka meminta hal yang membuat Zizi panik.
"Mau ngapain pak?"
"Emang gak boleh gitu saya bertamu?"
"Tapi kan pak, apartemen saya jelek, sempit, pokoknya nggak banget lah pak. Emang bapak nggak capek?" dengan berbagai cara Zizi membuat Raka membatalkan niatnya.
"Nggak masalah, saya cuma mau lihat tempat hidup kamu bentukannya gimana. Saya gak tahu mau ngapain sekarang."
Zizi harus memutar otaknya lebih dan lebih keras lagi untuk berkilah, tapi hari sudah sore, otaknya sudah lelah dan tak bisa berpikir lebih keras lagi.
*
Setiap langkah mendekati pintu apartemen sungguh membuat jantung Zizi berdebar kencang, sesekali ia melirik Raka yang berjalan disebelahnya dengan santai sambil memperhatikan setiap apa yang mereka lalui.
Zizi sungguh panik memikirkan jika nanti bertemu Arvin. Tidak jarang Bi Diah berdiri di depan apartemennya dengan Arvin menunggu kepulangannya. Bisa berakhir hidupnya jika Raka bertemu dengan Arvin.
Napas Zizi bisa lega untuk sementara karena sampai di depan apartemennya mereka tidak bertemu Arvin.
"Bapak tunggu disini dulu, saya mau rapiin kedalam sebentar," Zizi menahan Raka untuk tidak ikut masuk bersamanya.
"Berantakan sedikit tidak masalah, saya bisa paham,"
"Nggak nggak pak, cuma sebentar kok, tunggu ya pak," dan tanpa menunggu jawaban Raka, wanita itu langsung menghilang dibalik pintu apartemennya.
Bukan masalah berantakan sebenarnya, toh Zizi tipikal orang yang sangat memperhatikan kebersihan, sesibuk apapun dia akan sempatkan untuk membersihkan tempat tinggalnya. Masalahnya adalah barang-barang Arvin yang terletak secara terang-terangan.
Zizi belum ingin kehilangan pekerjaan.
Setelah selesai dengan pemberesan kilatnya dengan memindahkan seluruh barang Arvin ke dalam kamar, Zizi membuka pintu dengan lebih lega.
Namun jantung Zizi rasanya sudah akan lepas mendapati Bi Diah berdiri disamping Raka dengan Arvin digendongannya.
"Mah mah mmaah!" dengan wajah begitu menggemaskan Arvin menggapai Zizi berusaha lepas dari gendongan Bi Diah.
Raka yang melihat pemandangan itu terbelalak tidak percaya.
"Berakhir sudah semuanya Zivana!!!" tubuh Zizi sudah terasa mencair.