44

1104 Words

Kenanga melangkah keluar dari ruangan Bram dengan langkah yang dipenuhi amarah yang dipendam. Heels-nya beradu dengan lantai koridor fakultas, menimbulkan suara berisik yang seakan jadi pelampiasan kekesalannya. Wajahnya tegang, bibirnya terkatup rapat, matanya berkilat tajam menahan rasa sakit hati. Berulang kali ia menggertakkan giginya. Kenapa sih Mas Bram masih bisa sedingin itu? batinnya berkecamuk. Padahal dirinya sudah berusaha datang baik-baik, menunjukkan perhatian, bahkan membawa makanan agar bisa lelaki itu makan. Tapi tetap saja… ditolak. Disingkirkan. Dengan sikapnya yang dingin tak tersentuh. Di kepalanya, rasa gengsi dan rindunya bercampur aduk. Rasa tak terima membakar d**a. Semakin ia berjalan menjauh, semakin besar bara itu. “Dia pikir aku akan menyerah begitu saja?” d

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD