4

1348 Words
Bram tampak mondar-mandir di depan kamar Kalinda. Satu tangannya bertolak pinggang, sementara tangan lainnya sibuk mengusap wajah dan mengacak rambutnya yang sudah berantakan sejak tadi. Nafasnya naik turun, kegugupan dan kecanggungan seakan memenuhi ruangan ini. Bukan seperti Bram biasanya memang. Sikapnya yang santai dan slengekan dengan candaan recehnya mendadak hilang begitu saja. Padahal itu yang dia lakukan kemarin-kemarin jika bertemu dengan Kalinda—tetangga barunya. Tapi malam ini… semuanya berubah. Status barunya sebagai seorang suami—Suami dari Kalinda. Seketika, membuat candaan yang selalu ada di otaknya, menguar begitu saja. Ia mendekat ke pintu, lalu mundur lagi. Menghela napas. Mengangkat tangannya, namun dia turunkan lagi. Begitu seterusnya. Berulang tanpa benar-benar dia lakukan. "Santai, Bram… nggak usah gugup. Kalinda istri kamu sekarang," batinnya. Ia kembali mengankat tangannya hendak mengetuk pintu. Kali ini akan Bram lakukan. Tapi mendadak pintu kamar itu akhirnya terbuka. Membuat Bram diam seketika. Kalinda berdiri di amban pintu, dengan masih mengenakan kebaya pernikahan berwarna hijau muda. Rambutnya sebagian masih tertata, sebagian lain sudah sedikit berantakan. Dengan riasan yang belum hilang sepenuhnya. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang canggung. Bahkan saat Kalinda berjalan ke kiri, Bram ikut ke kiri. Saat Kalinda ke Kanan, Bram pun juga ikut. Hingga Kalinda yang merasa moodnya belum normal betul pun menegur Bram. "Mas Bram mau kemana sih? " Tanya Kalinda akhirnya dengan nada jengkel. "Mas mau masuk ke kamar. Boleh? " Bram balik bertanya. Karena memang ini masih di rumah Kalinda, rencananya besok Bram akan mengajak Kalinda untuk pulang ke rumahnya yang hanya berjarak lima langkah. "Ya udah masuk aja" Kalinda sedikit ketus dan memilih untuk meneruskan langkah kakinya menuju dapur. "Kamu mau kemana? " Bram menoleh mengikuti gerak Kalinda. "Ke dapur ambil air putih buat nanti malam kalau haus." Jawab Kalinda datar. "Ya sudah, mas mandi dulu ya? " Bram baru saja hendak masuk ke dalam kamar Kalinda, ketika suara Kalinda memanggilnya dari arah dapur. "Mas...," panggil Kalinda, masih dengan nada datar tapi cukup jelas untuk membuat Bram menghentikan langkahnya. Dia menoleh cepat. "Iya?" Kalinda menatap Bram, lalu menunjuk ke arah pintu di dekat dapur. "Mau mandi di mana emangnya? Kamar mandinya di luar, bukan di dalam kamar." Bram mengedip pelan. "Loh… luar?" Kalinda mengangguk pelan. "Iya, emangnya rumah mas? Ini kontrakan, jadi beda." Bram menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Oh… iya, lupa," gumamnya malu-malu. "Reflek aja gitu, soalnya di rumah kamar mandinya kan di dalam kamar tidur." Kalinda membalas dengan tatapan datar. "Enak ya, rumah gede. Mandi tinggal buka pintu. Lah ini, kalau apa-apa harus keluar kamar dulu." Bram tertawa pelan, lalu menaikkan kedua alisnya. "Ya kan nnati kamu tinggal di tempatnya mas? Ya masak udah nikah, kamu disini mas di rumah mas sendiri." Kalinda melotot kecil. "Mas!" Bram langsung tertawa, lalu melangkah cepat ke arah pintu samping. "Apa? Mau ikut mas mandi? Mau mas mandiin?" "Dih" Kalinda mengangkat sendok ke arah Bram. "Iya, bercanda-bercanda" Dari dalam kamar mandi yang hanya dibatasi tembok tipis, terdengar suara kran air menyala diselingi gumaman Bram. "Tapi serius deh… kalau kamu mau. Sini mas bukain pintunya" Kalinda yang baru saja kembali ke ruang tengah dengan dua gelas air putih, masih bisa mendengar perkataan Bram. "Udah mandi aja!! " Teriak Kalinda. --- Didalam kamar mandi, senyum Bram terulas begitu saja. Mengingat sikap dingin Kalinda sebelum ijab kabul tadi, hingga Bram bergikir jika Kalinda akan bersikap seperti itu nantinya. Tapi, tidak. Justru Kalinda saat ini sudah berbicara seperti biasa meski sedikit canggung memang. Tak apalah, setidaknya Kalinda tak berlarut dalam kesedihannya. Setengah jam lebih Bram berada di kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang terasa lengket setelah mengadakan ijab kabuk dadakan. Tubuhnya saat ini sudah wangi akan sabun milik kalinda yang ternyata dia suka wanginya. Bram pun berjalan hanya mengenakan celana panjang hitam miliknya. Tak memakai atasakan karena atasan yang dia kenakan sudah kotor. Berfikir tak masalah karena mereka saat ini sudah menikah. Meski sebenarnya Kalinda sudah pernah melihatnya seperti ini. Ia masuk ke kamar Kalinda, terlihat wanita itu sudah tertidur dengan baju yang sudah dia ganti. Membelakangi Bram yang semakin mendekat ke arah ranjang. Mata gelap Bram beralih pada pinggiran ranjang yang sudah ada kaos berwarna putih disana. Keningnya mengernyit, kaos siapa ini? Jelas bukan kaos milik Bram karena dia tak membawa pakaian saat kemari. Hingga pikirannya membentuk satu kemungkinan. Mungkin kaos ini milik Kalendra. Teman yang saat ini sudah menjadi kakak iparnya. Bram terkekeh, "Kamu kok gemesin gini sih Kal?" Ucapnya pelan saat dirinya yang masuk ke selimut Kalinda dikejutkan dengan bantal guling yang ada di tengah-tengah mereka. Sepertinya Kalinda sengaja memberi jarak itu. Agar Bram tak melewati batas. "Maafin mas ya, maaf mas buat kamu dalam pernikahan ini" Bisik Bram tepat dibelakang telinga Kalinda. Dengan memberi kecupan kecil di puncak kepala Kalinda. Tanpa Bram tau, Kalinda belum benar-benar memejamkan mata. Sehingga dirinya bisa mendengar jelas perkataan Bram dan juga merasakan kecupan itu. Kecupan yang membuat Kalinda mematubg di tempatnya. Kalinda bisa merasa ciuman itu. Hingga dadanya menghangat dengan debaran jantungnya yang berdetak lebih cepat. Bahkan saat ini tanpa sadar dirinya menggigit kecil bibir dalamnya. Berusaha menetralkan debaran jantung itu. Malam ini berjalan dengan begitu saja. Hingga Pagi muncul dengan sinar matahari yang mengintip malu-malu dari celah gorden kamar Kalinda. Udara terasa sejuk, dan aroma sabun mandi Bram masih samar tercium di bantal yang digunakan semalam. Kalinda membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung jatuh pada... d**a. d**a bidang, hangat, dan... tak berbalut apapun selain kulit. Seketika jantungnya menggila. “Astaga...” gumamnya pelan, menyadari bahwa dirinya—tanpa sadar—tengah memeluk Bram erat-erat, dan wajahnya bersarang tepat di d**a suaminya itu. Bukan cuma itu, tangan Bram melingkari pinggangnya dengan begitu natural. Seolah tubuh mereka sudah saling mengenal sejak lama. Lalu mata Kalinda menurun sedikit, melihat perut Bram yang berlapis otot dengan bulu halus yang menggoda di atasnya. Ia langsung meneguk ludah, sulit. "Kalinda... sadar, tolong sadar," bisiknya pada diri sendiri sembari pelan-pelan menarik tangan Bram dari pinggangnya. Ia bangkit perlahan, duduk di tepi kasur dengan jantung masih berdegup tidak karuan. “Ya ampun, semalam... kita ngapa-ngapain nggak sih?” gumamnya panik. Ia mencoba mengingat-ingat. Yang ia ingat hanyalah sebelum dirinya benar-benar tertidur, Bram masuk ke dalam selimut, mengecup pucuk kepalanya. Hanya itu saja. Tidak ada aktivitas lainnya selain Kalinda masuk ke alam mimpi. Mendadak ingatan itu membuat Kalinda salah tingkah. Pipinya bersemu merah saat teringat kecupan Bram. Lalu dia buru-buru menggerakkan kakinya. Mengecek seperti apa yang ada di pikirannya. Tidak ada rasa nyeri, atau pegal, atau tanda-tanda seperti yang sering dia baca di artikel-artikel atau diceritakan teman-temannya. “Nggak ah, kayaknya nggak ada apa-apa. Aman,” desahnya lega, tapi tetap saja pipinya makin merah. Entah karena lega atau karena mengingat posisi tidur mereka tadi. Kalinda bangkit berdiri, mengambil segelas air putih dari meja kecil, lalu mengipasi wajahnya yang panas. Bahkan dalam tidur pun, pria itu tampak menggoda. Rambut acak-acakan, napas teratur, d**a yang naik turun pelan, dan... senyum tipis seolah sedang bermimpi indah. "Kalau tiap pagi gini terus, bisa-bisa aku mati muda bukan karena penyakit... tapi karena jantung kebanyakan kerja," gumam Kalinda pasrah. Dengan langkah ringan, Kalinda berjalan ke dapur. Masih dengan rasa malu yang menempel di wajahnya, ia mencoba mengatur napas. Mencoba menenangkan degup jantung yang masih belum sepenuhnya normal setelah bangun dan mendapati dirinya menempel begitu dekat pada tubuh Bram. Sementara itu, di dalam kamar, Bram yang sebenarnya sudah bangun sejak Kalinda menggeliat pelan tadi, hanya memilih untuk tetap diam. Ia menahan senyum saat istrinya buru-buru menjauh dan berjalan keluar kamar dengan panik namun lucu. Matanya tak lepas menatap pintu yang baru saja tertutup. “Senyebelin itu kamu, tapi segemesin itu juga.” Bram mengusap wajahnya pelan, lalu tersenyum lebar sendirian. Rasa bahagia itu tak bisa disembunyikannya. Ia merasa seperti lelaki paling beruntung di dunia hanya karena bisa terbangun dengan Kalinda di sisinya. Ia pun akhirnya bangkit dari tempat tidur, duduk di tepi ranjang sambil mengenakan kausnya. Tapi sebelum benar-benar berdiri, Bram sempat melirik bantal guling yang tadi jadi pembatas di antara mereka. Tangannya meraihnya, lalu tersenyum miring. “Bikin pagar dari bantal guling pun tetap aja kamu yang nyamperin duluan, Kal…” gumamnya pelan sambil bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar, mengikuti aroma masakan yang mulai tercium samar dari dapur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD