7

1652 Words
Bram hendak keluar dari ruangannya. Karena memang akan kembali mengajar di waktu kurang satu jam lagi. Waktu yang cukup untuknya bersiap hingga sampai ke kampus yang jaraknya memang tak terlalu jauh dari kantornya. "Gak ada gitu cerita ke gue? " Suara itu kembali terdengar. Siapa lagi kalau bukan Laksa. "Nggak ada" Jawab Bram sekenannya. "Kapan lo lepas masa duda lo? " "Penting kah? " "Duh, pelit banget sih. Siapa cewek yang mau sama duda kaku macam lo? Penasaran deh gue orangnya? " Celetuk Laksa yang membuat Bram memutar bola matanya jengah. Bram berdiri, meraih jas dan menyampirkannya di lengan kekarnya. “Lo cerewetnya ngalahin Bu Ety sama Bu Nunuk. Gabung, jadi satu, terus dikali dua belas.” “siapa tu?!” Laksa mengernyit. "Tetangga gue yang julitnya melebihi lambe turah" Ucapnya dan berlalu begitu saja meninggalkan Laksa yang masih ada di ruang kerjanya. "Sialan lo. Sekarang mau kemana?" Suara Laksa menggema di lorong eksekutif. "Ke kampus" "Sok sibuk banget lo Bram" Bram tak menggubris. Ia terus melangkah keluar dari ruangannya, membiarkan Laksa terus berteriak dengan suaranya yang mengganggu telinga. Bram terus melangkah sepanjang lorong kantor perusahaannya yang dia bangun lima tahun lalu. Dari perusahaan kecil hingga saat ini mampu untuk bersaing dengan perusahaan ansuransi dan keuangan lainnya. **** Kalinda duduk dengan sikap sopan saat di hadapan atasannya, Pak Junaedi, kepala cabang di kantornya yang dikenal tenang namun tegas saat diperlukan. Suasana ruangan sedikit canggung meskipun keteganggan tak begitu terasa. Karena memang Kalinda yang tak merasa ada yang salah. Dan untuk apa merasa takut atau tertekan jika kita tak pernah melakukan kesalahan, bukan? Pak Junaedi, pria paruh baya yang berumur sekitar lima puluh tahunan dengan rambut yang didominasi uban, memakai kacamata tipis, seakan bingun ingin berbicara atau tidak, terbaca dari gelagatnya yang smengusap pelan pelipisnya sebelum akhirnya mengangkat wajah. “Kalinda… boleh saya minta tolong. Ini mendadak, dan saya tahu kamu mungkin keberatan, tapi saya sudah tidak punya pilihan lain,” ucapnya dengan nada yang terdengar sedikit memohon. Kalinda mengernyit pelan. “Ada apa, Pak? Mungkin saya bisa bantu" Pak Junaedi menyodorkan selembar rundown acara yang sudah dalam bentul lembaran yang beliau ambil dari email. Di kop lembaran tersebut dapat Kalinda baca, Seminar Literasi Finansial: Peran Perbankan dalam Mendorong Generasi Sadar Investasi. “Saya harusnya jadi pembicara di acara ini, dua hari lagi di Universitas Pratama Nusantara. Tapi, di hari yang sama saya harus berangkat ke cabang baru di Makassar untuk pembukaan operasional. Dan kamu tau sendiri, saya harus berangkat besok siang.” Kalinda menerima kertas itu, membaca sekilas. Lalu mengangkat wajahnya pelan. “Pak... Maaf saya hanya RM, bukan pembicara. Bukan juga bagian dari tim edukasi literasi,” ucapnya sopan, berusaha menolak dengan halus. “Tapi kamu tahu lebih dari cukup. Track record kamu bagus. Dan kamu komunikatif. Saya butuh orang yang bisa dipercaya, bukan cuma soal isi materi, tapi juga sikap profesional di panggung. Saya yakin kamu bisa, Kalinda.” Kalinda menggigit bibir bawahnya, berpikir cepat. “Saya harus diskusi dengan tim, dan—” “Tim saya sudah saya arahkan untuk bantu kamu soal materi. Kamu tinggal review dan sesuaikan gaya kamu sendiri. Saya cuma butuh kamu berdiri mewakili kantor ini, jadi citra kita tetap terjaga.” Pak Junaedi menatapnya lekat. Ada tekanan dalam sorot matanya, namun bukan paksaan. Lebih seperti... harapan. Berharap jika karyawan kebanggaannya ini bisa menggantikannya dalam acara tersebut. Kalinda akhirnya menghela napas. “Baik Pak. Kalau memang Bapak sudah yakin... saya akan siapkan diri.” Wajah Pak Junaedi langsung mengendur, senyumnya mengembang. Ada kelegaan tersendiri saat Kalinda menyetujui permintaannya. “Terima kasih, Kalinda. Saya tahu kamu tidak akan pernah menggecewakan.” “Semoga saja begitu, Pak. Tapi maaf pak jika mungkin tak sebaik bapak, karena jujur saja, saya sedikit demam panggung kalau dihadapkan dengan hal seperti ini,” ucap Kalinda dengan cengiran kecil, mencoba mencairkan suasana. Pak Junaedi terkekeh pelan. “Tenang. Mungkin awal kamu akan merasa demam panggung, tapi nanti jika kamu sudah mengalir dengan sendirinya, perasaan itu akan digantikan dengan percaya dirimu Kalinda. Dan siapa tau jika ini awal dari kesuksesanmu." Kalinda hanya tertawa sopan, meski dalam hati sedikit deg-degan. Ia tak menyangka bakal berdiri sebagai pembicara... di sebuah universitas. Kalinda hendak pergi setelah berpamitan dengan atasannya tersebut. Menunduk hormat dan berjabat tangan sebentar. Namun sebelum Kalinda melangkah keluar ruangan Pak Junaedi kembali memanggilnya. "Kalinda" "Iya Pak? " Kalinda kembali memusatkan perhatiannya pada atasannya itu. "Selamat atas pernikahanmu" Ucapnya dan tak lupa dengan senyum tulusnya. "Terima kasih pak" Balas Kalinda tak kalah tulus. Kalinda baru saja melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Pak Junaedi saat mendapati empat orang langsung berdiri dari bilik ruangan mereka dan berjejer rapi disana. Siapa lagi kalau bukan, Rama, Faris, Rere, dan Intan—rekan kerja dari berbagai divisi yang memang dekat dengan Kalinda. Rere dan Faris yang sengaja datang dari lantai dua ke lantai tiga tempat dimana Kalinda dan Rama berada. Sedangkan Intan? Sang senior teller bisa-bisanya melipir ke sini. "Tan? Ngapain kamu ke sini?" Kalinda sebenarnya sudah tau apa maksud dan tujuan para temannya ini. "Biasa penasaran" Intan menjawabnya dengan tertawa. "Iya. Gimana? Kenapa kamu sampe di panggil Pak Jun?" Tanya Faris sambil melipat tangan di d**a. "Aman kan Kal? " Rama ikut bertanya. "Satu-satu dong kalau tanya itu" Omel Rere yang menatap garang ke ketiga temannya. "Gimana Kal? " "Yee... Sama aja tu nyet" Sungut Intan. "Kalian kepo banget sih? " Kalinda menggelwng dan berjalan ke arah ruangannya. "Kal ayo dong cerita." Paksa Rere. “Kamu nggak dirotasi ke cabang lain kan?” tanya Rama dengan cepat, suaranya serius namun matanya berbinar. “Parah banget sih lo, Ram! Jangan nakutin dong!” potong Intan cepat, lalu langsung menepuk bahu Kalinda. Kalinda memutar mata. “Astaga kalian ini...” Ia menahan tawa lalu mengangkat tangannya pelan, memperlihatkan print-an rundown seminar dari Pak Junaedi. "Nih liat aja sendiri" Mereka berempat langsung bereaksi bersamaan. “HAH?!” “SERIUSAN?!” “Demi apa?!” “Kampus mana?!” tanya Faris antusias, sudah seperti wartawan infotainment. Kalinda menyerahkan lembaran rundown itu ke Rama yang berdiri paling dekat. Dan setelah membaca, cowok itu tertawa sambil menunjuk satu nama di bagian bawah. “Gue kenal nama ini. Bramasta Aryadinata. Dosen Ekonomi Bisnis. Sering jadi pembicara juga di tempat gue kuliah dulu.” Mendadak, Kalinda merasa dunia berhenti berputar sesaat. “Siapa tadi?” tanya Kalinda memastikan. Karena memang Kalinda tak sedetail itu saat melihat rundown acara. “Bramasta Aryadinata,” ulang Rama. “Kenapa?" Kalinda pura-pura tersenyum. “Enggak... Nggak papa" “Udah ah, ini jadi makan nggak?” potong Intan dengan nada merengek, karena jujur saja selain kepo dengan Kalinda yang dipanggil Pak Jun. Dirinya memang berniat untuk mengajak makan siang. “Perut aku udah bunyi dari tadi. Sumpah laper ini" Kalinda mengangguk cepat, mencoba mengalihkan pembicaraan agar tak lari kemana-mana. “Ya udah ayo. Nanti keburu rame warungnya.” Mereka berlima berjalan kaki ke warung makan langganan mereka. Makanan dengan berbagai masakan jawa yang pas dilidah dan kantong para karyawan yang dekat dwngan warung tersebut. Warung tersebut letaknya hanya berjarak dua ruko dari kantornya. Ruko penjual tas dengan merk terkenal dan juga ruko penjual ponsel. Matahari mash terasa di atas ubun-ubun. Terik yang menyengat membuat Kalinda terkadang menutupi kepalanya dengan telapak tangannya. Begitu juga Intan dan Rere yang tak tahan panas. Kalinda berjalan di sisi paling kiri. "Ampun panas banget sih ini. Tumben-tumbenan. Nerakanya bocor nggak sih? " Intan asal nyeletuk aja. "His kalua ngomong ya" Rama dengan tangannya yang sydah meraup bibir Intan. "Rama, tangan kamu bau" Pekik Intan. "Tau ini, kebiasaan. Kamu tau gak Tan, tadi Rama baru ngupil" Faris semakin membuat Intan begidik. "Yek... Jorok kalian" Kalinda berjalan menarik Rere untuk mendahului mereka. Tak selang berapa lama, mereka pun sampai dan langsung memilih meja makan yang terbuat dari kayu panjang, mereka akhirnya duduk bersama. Faris sudah duluan memesan ayam geprek level empat, sedangkan Rere dan Intan sibuk berdebat tentang es teh atau es jeruk. Rama hanya menatap Kalinda dengan senyum nakal. “eh iya, gimana kapan kita main ke tempat Kalinda?” Rama menyikut pelan lengan Faris. “Dari kemarin cuma rencana doang" Kalinda, yang sedang menunggu nasi campurnya langsung menoleh ke arah Rama. “Waktu pindahan itu kita janji mau bantuin kamu, Kal. Tapi malah batal semua. Sorry ya!” ujar Rere. “Iya bener, mending sore ini deh kita tebus dosa. Kita mampir ke rumah kamu!” sahut Intan, senyum lebar sambil menatap teman-temannya minta persetujuan. “Setuju,” kata Faris. “Aku juga penasaran rumah barunya kayak apa. Nggak papa kan kita nanti main ke sana?” Kalinda menelan ludah. Wajahnya masih ia tahan agar tidak memperlihatkan kepanikannya. Ia tersenyum—senyum yang sedikit dia paksakan. Bagaimana tidak, yang tau jika Kalinda sudah menikah hanya pimpinannya saja, Pak Junaedi. Kalau teman-temannya yang lain, mereka belum tau. Ia tak berniat menyembunyikan pernikahannya. Hanya saja, bingung cara dan berawal dari mana jika dia bercerita. Masak iya dia memulainya dengan pernikahan dadakan hanya karena dipaksa para tetangga? Atau karena scandal dengan tetangga dudanya? Sepertinya tidak kan? “Eh... Kapan emang mau ke rumah?” “Iya, pulang kerja aja langsung. Kita beli cemilan dulu terus main deh ke rumah kamu!” Rama menepuk tangan sekali. Kalinda hanya bisa tertawa kecil. Memilih diam saat teman-temannya heboh merencanakan untuk berkunjung kerumahnya. Sesekali dia hanya menanggapinya dengan iya, tidak dan berdehem saja. Bagimanapun tak ada yang perlu ditutupi juga. Lama kelamaan juga pasti ketahuan juga. Dengan rencana ini pun, Kalinda mengambil ponsel yang tergeletak di samoing piringnya. Kebetulan ada pesan masuk dari suami. Ya, Kalinda sudah memiliki suami. Apa sekalian dia bicara pada suaminya saja? Mas Bram : Sudah makan dek? Me : Sudah Mas. Ini masih makan sama temen-temen. Me : Mas? Mas Bram : Kenapa? Uangnya kurang? Kalinda mengernyit. Kurang dari mananya? Yang ada lebih-lebih jika Kalinda harus membelanjakan uang yang ada di kartu hitam itu. Mas Bram : Dek? Me : Nggak Mas, makasih. Maksih cukup kok. Mas Bram : Terus? Me : Temenku nanti mau mampir ke rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD