“Aahh… Mas…” suara Kalinda pecah, lirih, teredam oleh suara ombak yang terus menghantam bibir pantai. Tubuhnya mengejang ringan ketika tangan besar Bram sudah menemukan titik paling sensitif—meremas, menggoda, lalu melepaskannya hanya untuk mengulang lagi. Bram menunduk, matanya menatap lapar ke arah istrinya yang sudah kehilangan fokus. Senyum miring itu muncul di bibirnya, senyum seorang lelaki yang tahu persis bagaimana membuat wanitanya tak berdaya. “Hmm… suara kamu itu, Dek… lebih enak dari film tadi,” bisiknya rendah, lalu segera menempelkan mulutnya pada bibir Kalinda. Ciumannya pertama kasar, penuh hasrat. Bram menggigit bibir bawah istrinya, membuat Kalinda meringis sekaligus mendesah. Namun begitu Kalinda mencoba mendorong dadanya, ciuman itu berubah lembut—mengusap, menenan

