Malam itu, angin laut Makassar membawa aroma asin yang samar ke balkon kamar di lantai lima belas. Lantai dimana kamar Kalinda dan Bram berada. Lampu kota berkelip jauh di bawah sana, seperti bintang-bintang yang merunduk lebih dekat. Kalinda berdiri bersandar di pagar balkon, matanya kosong menatap kerlap-kerlip lampu, sementara hatinya masih penuh beban. Bram melangkah mendekat perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia memeluk tubuh istrinya dari belakang. Kedua lengannya melingkari pinggang Kalinda dengan erat, dagunya bertumpu lembut di bahu istrinya. Kehangatan tubuh Bram seakan menjadi benteng yang menahan Kalinda dari segala ketakutannya. Seperti biasa, selalu memberinya kenyamanan. “Dek…” suara Bram rendah, berat, penuh perasaan yang ditahan. “Mas masih nggak ngerti… gimana bisa kamu

