Bab 1 - Mungkin kita memang nggak cocok lagi

1557 Words
Mentari Jakarta menusuk kulit, panasnya terasa bahkan di balik kaca jendela. Aku menghela napas, memandang gedung-gedung tinggi dari jauh, yang berbaris bagai raksasa bisu. Jemari tanganku mengetuk-ngetuk meja kantor, malam ini Dave akan mengajakku pergi nonton. Notifikasi pesan dari Dave muncul. Aku membuka pesan tersebut dan membacanya. "Sayang, malam ini aku nggak bisa pulang cepat. Ada masalah mendadak di proyek." Hanya satu pesan, namun dapat membuatku merasa kecewa. Aku hanya membacanya dan mengabaikan pesan itu. Kesibukanku juga tidak kalah padat. Namun, aku selalu berusaha meluangkan waktu untuk Dave. Aku selalu berusaha ada untuknya. Tapi, bagaimana dengan Dave? Tahun ini, aku Laura Felicia telah berusia dua puluh empat tahun. Aku bekerja sebagai Kepala Departemen Pemasaran dan Promosi di Perusahaan Fernando, perusahaan yang cukup besar di Jakarta. Dave Dominic adalah seniorku ketika berada di perguruan tinggi. Di sanalah kami bertemu dan menjalin kasih. Dave telah berusia dua puluh enam tahun, tahun ini. Sudah enam tahun kami menjalin kasih, dua tahun lalu Dave memutuskan untuk membeli sebuah apartemen untuk kami tinggali bersama, tetapi tetap dengan kamar yang berbeda. Dave selalu seperti itu, terobsesi dengan arsitektur, dengan perusahaan yang baru dirintisnya tahun lalu bersama dengan sahabatnya, Roger. Aku mengerti dan merasa bangga padanya, akan kerja kerasnya, akan ambisinya untuk meraih impian. Tapi sekarang Dave lebih mencintai garis rancangan daripada aku. Dulu, Dave selalu punya waktu untukku. Kencan-kencan sederhana seperti di kafe, bioskop, atau sekadar berjalan kaki di taman kota sambil bergandengan tangan. Kini, yang ada hanyalah panggilan telepon singkat di sela-sela rapat, pesan teks "Aku lembur ya, sayang," dan janji-janji nonton atau makan malam yang selalu kandas. Aku menghela napas, sebagai Kepala Departemen Pemasaran dan Promosi di Perusahaan Fernando. Pekerjaan menuntutku untuk selalu tampil prima, kreatif, dan persuasif. Di kantor, aku adalah Laura yang tangguh, percaya diri, dan penuh ide. Tapi di balik itu, aku hanya seorang wanita yang merindukan sentuhan, perhatian, dan waktu berkualitas bersama kekasihku. Setelah jam pulang kantor, aku membereskan meja kerjaku dan langsung pulang ke apartemenku yang berada di jalan Cendrawasih. Aku sangat lelah, karena banyak hal yang memenuhi pikiranku. Setelah sampai, aku menghempaskan tubuhku ke sofa beludru abu-abu di apartemen. Aroma lavender dari diffuser yang kunyalakan berusaha menenangkan pikiranku, tapi percuma. Rasa kecewa masih menggerogoti hatiku. Sudah enam tahun aku bersama Dave, enam tahun yang terasa seperti mimpi indah di awal, namun kini seperti rutinitas membosankan yang menyakitkan. Malam ini, harusnya waktu kami untuk nonton di bioskop. Dave sudah berjanji padaku seminggu yang lalu, bahkan aku sudah membeli tiketnya. Namun, Dave melupakan janjinya lagi. Satu jam kemudian, pintu apartemen terbuka. Dave muncul dengan wajah lelah dan rambut sedikit berantakan. Ia menghampiriku dan mengecup keningku. “Hai, sayang. Maaf ya, tadi nggak bisa jemput kamu di kantor.” Ucap Dave dengan nada menyesal. Aku menatapnya dengan tatapan dingin. “Kamu benar-benar lupa?” Tanyaku dengan suara bergetar. Dave mengerutkan keningnya. “Lupa apa?” “Janji nonton kita, Dave!” Jawabku dengan nada sinis. Mata Dave membulat. “Ya ampun, aku benar-benar lupa sayang! Maaf banget, Laura. Tadi aku sibuk…” “Sibuk, sibuk sibuk! Selalu sibuk! Apa kamu nggak bisa sehari saja memikirkan aku, Dave? Apa aku nggak penting lagi buat kamu?" Aku memotong perkataannya dengan nada tinggi. Dave menghela napas panjang. “Laura, jangan mulai, deh. Aku capek banget.” “Capek? Aku juga capek, Dave! Capek selalu ngertiin kamu, capek selalu mengalah, capek selalu merasa diabaikan!” Aku sangat kesal, karena Dave selalu melupakan janjinya. Dave terdiam. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku tahu, ini bukan pertama kalinya kami bertengkar karena hal ini. Tapi, kali ini, rasanya berbeda. Ada sesuatu yang retak di antara kami. Sesuatu yang mungkin tidak bisa diperbaiki lagi. “Mungkin… mungkin kita memang nggak cocok lagi, Dave” Ucapku dengan suara lirih. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah malam. Aku sendiri tidak menyangka akan mengatakannya. Tapi, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku, seperti luapan emosi yang sudah lama aku pendam. Dave menatapku dengan tatapan terkejut. “Apa maksud kamu, Laura?” Tanyanya dengan nada tidak percaya. Dave terdiam, matanya memancarkan campuran antara keterkejutan dan rasa sakit. "Laura, apa yang kamu katakan?" Bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. Dave mendekatiku, mencoba meraih tanganku, namun aku menepis tangannya. "Aku serius, Dave! Aku sudah lelah. Lelah merasa tidak dihargai, tidak dicintai dan diabaikan. Aku tahu kamu sibuk, tapi apakah itu berarti aku harus selalu menjadi yang kedua? Apakah aku tidak pantas mendapatkan perhatianmu?" Ucapku jengkel. Dave menggelengkan kepalanya. "Tidak, sayang, bukan begitu. Kamu penting bagiku. Hanya saja..." "Hanya saja pekerjaanmu lebih penting kan?" Selaku, suaraku penuh dengan kepahitan. Keheningan menyelimuti apartemen itu. Aroma lavender yang tadinya menenangkan kini terasa menyesakkan. Dave menatapku dengan tatapan yang penuh dengan penyesalan. Dia tahu, dia telah melakukan kesalahan. Dia telah terlalu fokus pada pekerjaannya hingga melupakanku. "Aku minta maaf, Laura.. Aku tahu aku salah. Aku janji, aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku akan meluangkan lebih banyak waktu untukmu. Aku akan membuatmu merasa dicintai dan dihargai." Ucap Dave akhirnya, suaranya serak Aku menggelengkan kepalaku. "Aku tidak tahu, Dave. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa percaya padamu. Kamu sudah terlalu sering mengingkarinya." Aku berdiri, berjalan menuju jendela. Pemandangan kota Jakarta yang gemerlap di malam hari tidak mampu menghibur hatiku. Aku merasa kosong dan hampa. "Aku butuh waktu untuk berpikir, aku tidak bisa terus seperti ini Dave." Ucapku sambil membelakangi Dave. Dave tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, terpaku di tempatnya. Dia mungkin akan kehilanganku. Atau setidaknya hampir kehilangan. Aku memejamkan mata. Aku merasa lelah, sangat lelah. Aku ingin beristirahat, tapi pikiranku terus berputar. Aku mencintai Dave, tapi aku nggak bisa terus-menerus merasa sakit hati. Aku ingin bahagia, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Tiba-tiba, aku merasakan tangan Dave menyentuh pundakku. Sentuhan itu lembut, namun penuh dengan keraguan. Aku membuka mataku dan menoleh padanya. "Aku tidak ingin kehilanganmu, sayang. Aku juga akan berusaha memperbaiki hubungan ini." Ucap Dave, suaranya bergetar. Aku menatap Dave dengan tatapan yang penuh dengan harapan, namun juga terlihat keraguan dimataku. Aku ingin percaya pada Dave, tapi aku takut terluka lagi. Aku ingin memberikan kesempatan, tapi aku tidak yakin apakah itu adalah keputusan yang tepat. "Buktikan, Dave. Buktikan kalau aku penting bagimu. Buktikan kalau kamu benar-benar mencintaiku." Ucapku dengan tegas. Dave mengangguk pelan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, memelukku erat-erat. "Baiklah sayang, aku akan membuktikannya padamu." Bisiknya di telingaku. Aku juga membalas pelukan Dave, merasakan kehangatan tubuhnya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku berharap, mungkin saja, kami masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami. Mungkin saja, cinta kami masih bisa diselamatkan. Keesokan harinya, aku menyiapkan sarapan. Pikiranku masih dipenuhi oleh percakapan semalam. Aku menggoreng telur mata sapi dan menata roti di atas piring, berusaha untuk tidak menatap Dave yang duduk di meja makan dan menunggu sarapan selesai dibuat. Suasana terasa kaku, berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya yang biasanya diisi dengan canda tawa. "Sarapan sudah siap, Dave." Ucapku singkat, meletakkan piring di depan Dave. Dave mendongak, tersenyum tipis. "Terima kasih, sayang." Balasnya. Dave meraih garpu dan mulai makan, tetapi matanya sesekali mencuri pandang ke arahku. Aku duduk di seberang Dave, mengambil secangkir kopi dan menyesapnya perlahan. Aku merasa tidak nafsu makan. Perutku masih terasa mual karena tegang. "Sayang, kok kamu nggak makan?" Tanya Dave yang melihat hanya secangkir kopi yang menghiasi mejaku. "Aku nggak lapar, Dave." Jawabku singkat. Aku tahu, kami tidak bisa terus-menerus menghindar dari percakapan yang lebih serius. "Dave, kita perlu bicara." Aku meletakkan cangkir kopiku. Dave menghentikan makannya dan menatapku dengan tatapan yang serius. "Ok, sayang. Apa yang ingin kamu bicarakan?" "Tentang pekerjaanmu..." Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku mengerti kalau pekerjaan itu penting, Dave. Tapi aku merasa kamu terlalu memprioritaskannya. Apakah ada kemungkinan kamu bisa mengurangi beban kerjamu?" Dave menghela napas. "Aku tahu ini sulit, Laura. Tapi aku baru saja memulai perusahaan ini dengan Roger. Perusahaan kami belum stabil, sayang. Ada banyak hal yang harus aku urus. Aku tidak bisa begitu saja angkat tangan, mengurangi beban pekerjaanku, dan menyerahkannya pada Roger begitu saja." "Tapi bagaimana dengan aku, Dave? Apakah aku tidak penting bagimu? Apakah kamu tidak bisa meluangkan sedikit waktu untukku?" Tanyaku, suaraku mulai bergetar. "Tentu saja kamu penting bagiku, sayang." Jawab Dave cepat. "Kamu adalah segalanya bagiku. Aku hanya... hanya ingin memastikan masa depan kita terjamin." Lanjut Dave lagi. "Masa depan seperti apa yang kamu bayangkan jika kita terus seperti ini, Dave? Apakah kamu pikir aku akan bahagia jika aku terus-menerus merasa diabaikan olehmu?" Tanyaku lagi. Dave berdiri dan berjalan mendekat ke arahku. Ia berlutut di depanku dan meraih tanganku. "Aku janji, aku akan berusaha lebih baik, sayang. Aku akan berusaha untuk menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan hubungan kita. Aku tidak ingin kehilanganmu." Ucap Dave, suaranya penuh dengan kesungguhan. Aku menatap Dave dengan tatapan yang penuh dengan keraguan. Aku ingin percaya padanya, tapi aku takut terluka lagi. "Aku harap kamu bisa membuktikannya, Dave.Karena aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan dengan semua ini." Ucapku sedikit menunduk. Setelah percakapan yang sarat emosi itu, kami melanjutkan sarapan dalam diam. Suasana tegang masih terasa mengambang di antara kami. Aku berusaha menenangkan diri, sementara Dave tampak berpikir keras. Sesekali ia melirikku, mencoba membaca ekspresi wajahku. Selesai sarapan, kami bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Aku memilih blus berwarna biru muda dan rok span hitam, mengoleskan sedikit lipstik dan memeriksa penampilanku di depan cermin. Aku berusaha terlihat profesional, namun tetap feminin. Dave juga sudah rapi dengan kemeja kerjanya, rambutnya sedikit basah karena dia baru selesai mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD