Akhirnya setelah beberapa kali terjadi kesalahpahaman di antara kami, sekarang tak ada pilihan lain selain pasrah dan diam saat tangan Pak Michael mulai membuka bajuku.
Duh Gusti, kok deg-degan banget ya? Tangan Pak Michael agar kasar dikit, jangan-jangan sebelum jadi konglomerat begini, dia pekerja kasar ya? Ah, atau mungkin saat rumah tangganya yang gagal dulu dia sering cuci piring, cuci baju, masak, sambil pake sarung doang, haha. Kasian amat! Kayaknya gitu deh, terus dia capek dan minta cere kan? Terus bininya lari karena kukunya gak mau rusak ngurusin anak.
Hm, analisa yang bagus!
"Kenapa kamu cengengesan? Keenakan ya?" tanya Pak Michael tiba-tiba. Matanya menatap curiga.
"Apa? Ti-tidak! Saya hanya sedang sibuk sama pikiran saya sendiri."
"Sibuk sama pikiran? Kamu menghayal ya? Ck, iya sih, saya yang ngolesin bahu kamu. Ganteng begini. Pasti otak kamu kotor tuh!"
Aku mendelik, "Dih, kepedean banget, Pak! Bukanlah! Saya emang lagi mikirin Anda, tapi bukan dalam artian yang jorok-jorok!"
"Haha, saya tidak percaya!"
Dih, malah ketawa! Kesel aku! Aku menyingkirkan tangannya yang masih mengoleskan balsem di bahuku.
"Udah ah, saya justru yang curiga, kok ngolesinnya lama amat? Pikiran Anda m***m ya?"
"Ini namanya sambil menyelam minum air. Paham kamu?"
"Namanya cari kesempatan dalam kesempitan, Pak! Dan itu gak boleh!"
"Siapa bilang gak boleh? Kamu istri saya. Dan sah-sah saja kok!"
Waduh, skakmate aku! Refelks aku mundur lagi, "Udah Pak, jangan khilaf lagi!"
"Ck, badan kerempeng kayak kamu apa bagusnya? Saya tidak tertarik. Ya sudah, saya tidur dulu!" ucapnya sambil bangkit dan menggeliat pelan.
Punggung Pak Michael sebentar lagi menghilang di balik pintu. Aku masih penasaran dengan gosip di posko KKN tempo hari.
"Tunggu, Pak!" ucapku.
Pak Michael berbalik, "Kenapa? Berubah pikiran ingin tidur bareng?" tanyanya dengan tawa menyebalkan. Oke, malam ini memang aku minta tidur di kamar terpisah. Bukan apa-apa, risih aja sih. Belum terbiasa. Lagipula, aku gak mau jadi b***k seks-nya Si Tuan Mimisan itu. Toh, kami menikah juga hanya menjaga agar tidak digunjing tetangga kan? Walau sebenarnya sama aja sih, lha wong tetangga juga gak ada yang tahu aku istrinya. Dan lagi, Pak Michael kayak hidup di hutan. Gak kenal tetangga sebelah.
Awalnya dia menolak, tapi aku paksa. Masa sih rumah segede istana begini gak bisa menyediakan kamar lagi buatku. Dan tada ...! Aku berhasil.
"Ada perlu apalagi, Clara? Kenapa malah bengong?"
"Anu Pak, saya boleh bertanya?"
"Tentang apa? Kesukaan saya? Masakan tradisional! Dan kamu gak akan bisa memasaknya. Udah ah, saya ngantuk!"
"Bukan masakan! Tapi mengenai niat Anda menikahi saya. Apa benar Anda akan balikan sama mantan istri Anda?"
Pak Michael sesaat nampak terkejut, tapi dengan cepat merubah ekspresinya, ia tersenyum kecil lalu berjalan dan kembali duduk di atas kasur bersamaku.
"Baiklah. Tapi kamu gak akan menyesal kan kalau tahu kebenarannya?"
"Emangnya menakutkan ya, Pak?"
"Kalau setelah tahu kebenarannya, kamu gak akan meninggalkan Moza begitu saja kan?"
Aku mesem-mesem. Lalu menyenggol sikutnya, "Dih, Bapak gak mau saya tinggal ya?"
"Ck, saya bilang jangan tinggalkan Moza. Kalau saya sih gak masalah. Susah dapat baby sitter yang mau double job merangkap istri simpanan saya. Udah gitu, Moza kayaknya suka sama kamu."
"Terus kenapa bilang saya gak boleh menyesal?"
"Karena mungkin saja ini menyinggung kamu. Tapi its Ok lah, jika kamu mau tahu, " Pak Michael mengambil nafas lalu membuangnya perlahan, "Saya menikahi kamu memang bukan tanpa alasan."
"Nah, alasan apakah itu?"
"Kamu tahu kan saya sudah punya anak. Ya, Moza. Dia hidup saya. Dunia saya. Satu-satunya hal yang membuat semangat saya bangkit setiap kali melihatnya."
"Pastilah, wong bapak sama anaknya kan? Yang saya belum tahu apa alasannya?"
"Pertama, saya kasihan lihat Moza. Setiap hari merengek minta momy. Yah, namanya juga anak kecil, apalagi Moza masih balita. Dikira ngasih momy kayak ngasih permen. Bisa segampang itu."
"Dan faktanya Anda menikahi saya begitu gampang. Segampang ganti celana dalam. Ya kan?"
"Siapa bilang gampang? Justru sangat susah. Kamu tuh banyak ngeyelnya, banyak debat juga, malah sama Moza aja kamu berdebat. Aneh kadang."
"Iya, iya, jangan bahas kelebihan saya! Inti alasannya apa?"
"Yang kedua, saya memang butuh pengasuh Moza."
Aku mengerutkan kening, "Lah, jawaban pertama dan kedua kok sama? Terus yang katanya balikan sama istri Bapak gimana?"
"Ah, itu. Ya, memang. Kalau saja mantan istri saya bisa saya temukan, pasti saya akan ajak dia balikan."
"Lah, kalau emang pengen balikan, ngapain dicerai sih, Pak?"
"Saya mau memastikan siapa ibu kandung Moza sebenarnya."
"Ha? Kok aneh? Udah tahu pernah nikah sama istri Anda. Kenapa bingung Moza anak siapa?"
"Ya, masalahnya Moza ditaruh di depan pintu rumah saya saat masih bayi."
Mataku membulat sempurna, "Ha? Seriusan?! Ngapain? Maksud aku buat apa gitu lho?"
"Ya mungkin biar saya temukan."
"Saya jadi curiga, jangan-jangan Moza bukan anak kandung Anda?"
"Enak saja! Moza anak kandung saya lah! Tapi saya gak tahu siapa ibunya."
"Udah test DNA?"
"Udah, dan hasilnya memang Moza anak saya."
Aku berpikir cepat. Lalu sepersekian detik kemudian, mulutku menganga lebar.
"Tunggu, jangan-jangan Anda senang menebar benih di mana-mana?"
"Enak saja! Enggak lah!"
"Ya terus gimana ceritanya Anda gak tahu mama dari Moza? Pasti Anda punya banyak kebon yang dikasih benih itu. Mesti kebonnya banyak!"
"Sembarangan! Saya selalu pakai pengaman kok, termasuk dengan mantan istri saya."
"Benarkah?" Tunggu, pakai pengaman dengan mantan istri?! Mataku melotot. "Jangan bilang kalau Moza itu anak nemu di jalan?!"
"Sebenernya ada seseorang yang menyimpan Moza di depan rumah saya. Entah siapa itu. Moza kecil yang masih berkulit merah bersama sepucuk surat."
"Wow, terus?"
"Well, saya kaget awalnya. Tapi mengingat mantan pacar saya cukup banyak, jadi saya pikir mungkin saja itu anak saya."
"Wow, terus?"
"Saya ambil dia dan saya urus."
"Wow, terus?"
"Sudahlah, saya males ngomongnya!" Pak Michael tetiba jadi ketus (walau tiap hari juga jarang ramah) lalu bangkit dan hendak pergi.
"Eh, tunggu-tunggu! Ceritanya belum selesai, Pak! Kok gantung sih? Gak enak tahu!"
"Saya cerita panjang kali lebar, kamu jawabannya cuma 'wow, terus?' dan 'wow, terus?'. Buat apa coba?"
"Wo-eh, maksudnya saya tuh terpukau sama cerita Anda. Jadi berasa dengerin drama keren gitu lho, Pak! Makanya tuntasin, ntar saya jerawatan bin bisulan karena penasaran gimana coba? Kan gak enak dilihat!"
"Iya, saya urus Moza. Dan saya masih penasaran dengan sosok ibu kandungnya. Saya sudah menyewa beberapa orang untuk mencari tahu. Katanya ada kemungkinan ibu kandung Moza sebenarnya sudah saya kenal dengan baik."
"Kalau udah kenal. Gampang dong! Tinggal tanya doang siapa aja yang udah pernah ehem-ehem sama Anda."
"Harus ya, bahasanya pake 'ehem-ehem' segala?"
"Lah apalagi emang? Masa saya sebutin dengan reuni alat reproduksi gitu?"
"Ck, diamlah! Jangan diteruskan!"
"Ya udah, lanjut ceritanya!"
"Sebab saya yakin selama berhubungan dengan beberapa pacar saya, selalu pakai pengaman."
"Whoah, jangan-jangan pengamannya bocor, Pak!"
"Bocor gimana?"
"Bocor pasti itu!" Mataku menyipit, menatapnya curiga. "Jangan bilang Anda pakai k****m yang harganya seribu lima ratus perak perbiji itu? Yang lima ribu dapat tiga?!"
Pak Michael mendengus kasar, "Enak saja! Saya gak semiskin itu lah! Kamu lihat rumah saya aja gede! Mana mungkin saya pakai pengaman begituan!"
"Kali aja kan? Sekarang tuh banyak yang rumahnya gedong gede, tapi hasil kredit. Jadinya tiap hari idup irit."
"Kalau saya irit, ngapain saya traktir kamu ke resto mahal?"
"Iya juga sih. Ah, lalu hubungannya kita menikah dengan rahasia ibu kandung Moza, apa?"
"Itu dia. Saya menikahi kamu, sebenarnya buat pemancing. Yah, saya masih curiga, jangan-jangan Moza anak dari mantan istri saya. Saya yakin, mantan istri saya masih penasaran sama saya. Pasti dia tahu kalau kita sudah menikah. Dan harapan saya dia akan datang dan mengakui bahwa Moza adalah anak kami."
"Terus Anda mau balik lagi?"
"Demi Moza, why not? Saya masih menunggu waktu. Apa dia akan datang pada saya lagi atau tidak. Yah, setidaknya dengan melihat kebersamaan saya sama kamu dan Moza, dia akan cemburu dan memulai hidup kami kembali."
"Saya jadi umpan?"
"Iya, makanya saya bilang kamu jangan sakit hati. Toh, selama ini saya juga bantu kamu buat dapatin nilai kamu yang remuk itu kan?"
"Iya juga sih."
Tapi sumpah, aku masih kaget. Aku jadi umpan?!