"Moza, kamu masih belum kenyang?" tanyaku sambil masih menyuapi anak gendut ini. Apa perutnya terbuat dari karet ya? Sekali makan susah berhenti. Apa dia gak tahu, kalau aku juga lapar! Mana makanannya enak-enak pula. Kalau kelamaan nyuapin si Moza sih lama-lama kehabisan. Atau kalau enggak, Pak Michael pasti ngerusuh ngajakin pulang. Alhasil, alamat aku gak bisa makan. Sue!
"Habisnya enak banget, Mom!" jawabnya dengan mulut penuh.
"Ck, kalau mulut penuh jangan ngomong. Jelek tahu!"
Si Moza diam. Ia masih mengunyah, tapi agak melambat.
"Kenapa? Kok kamu diam? Ngerti gak? Kalau ditanya itu harus jawab."
"Katanya, gak boleh ngomong dulu, belom habis, Mom!" jawabnya masih dengan mulut penuh dengan makanan.
Dih, jijay aku lihatnya. "Kalau gak bisa ngomong ya ngangguk aja kan bisa?"
Dia mengangguk.
"Duh, udah aja ya makannya? Mom juga lapar!"
Bibirnya mengerucut. Lucu sih, coba aja dia gak nyebelin minta ini-itu, udah kuangkat jadi adik tuh. Eh tapi kalau statusku sekarang dia jatohnya anak tiriku ya? Duh, berasa jadi ibu tiri terkejam aku! Salah si Moza juga sih, kenapa jadi anak tiri ngeselin, yakan?
"Masih lapar," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Eh, malah udah siap mewek kayaknya tuh. Dasar cengeng!
Aku mendengus kesal, "Ck, ya udah jangan mewek! Nih makan lagi!"
Akhirnya aku pasrah hanya menyuapi si gendut Moza. Mataku menatap nanar menu favorit yang kian menipis. Hah, beneran gak kebagian ini mah!
Dari kejauhan nampak Pak Michael berbincang dengan rekannya sambil berjalan menuju ke arah kami.
"Yeay, Daddy datang!" seru Moza lalu menarik bajuku lagi, "Mom ayo ke sana!"
Dih, nih bocah kelakuannya kok minta dijitak terus ya? Narik kaos sampai melar begini, kan bahuku kelihatan jadinya!
"Moza diem ih! Ntar juga Daddy-mu kemari!" ucapku sambil menyingkirkan tangannya dari kaosku.
"Hei, kalian udah makan?" tanya Pak Michael dengan gaya santai.
"Belum."
"Udah."
Aku melirik si Moza yang menjawab udah. Iya lah, dia kan makan hampir 2 piring itu! Masa mau ngaku belum makan!
"Kamu udah makan, Jagoan?" tanya Pak Michael sambil membungkuk. Mensejajarkan wajah dengan putra gendutnya itu.
"Udah, Mom yang suapin. Tapi katanya gara-gara aku, Mom jadi gak kebagian makanan yang di sana, kasihan ya?"
Anjir! Bocah ingusan! Bikin urat maluku bangun serentak di sekujur tubuh.
"Kita makan di luar aja. Saya juga belum makan," ucap Pak Michael sambil melirikku.
Asyik! Oke, aku senang karena akhirnya perutku akan diisi setelah sepulang dari kampus belum makan apapun.
Sebenarnya saat ini aku pengen melonjak kegirangan, tapi tahan aja lah, gengsi lebih tinggi ketimbang rasa girang yang kualami.
Pak Michael membawaku pada sebuah restoran yang mewah bergaya Jepang. Wuih, sepanjang sejarah ngintilin Om Wisnu meeting, belum pernah diajak ke tempat ini.
Orang-orang yang masuk juga nampak bukan orang sembarangan. Kebanyakan kayak kaum borjuis dengan baju yang limited edition. Seketika aku melirik penampilanku di pantulan cermin dinding restoran.
Oke, ini sedikit agak ... er ... kucel mungkin! Hah bodo amat lah, mau gimana lagi! Yang penting sekarang bisa makan enak.
Bersikap elegan aja, Nov! Tunjukkan bahwa kamu gak begitu girang. Ya kan? Oke, jalan sedikit bergaya boleh lah, kan udah turun dari mobil mewah dan diajak makan di restoran ternama.
"Aduh!"
Brukk!!
Sial, saat mencoba jalan bergaya ala orang kaya, aku malah jatuh karena gak lihat ada lekukan di jalan yang kulalui.
Yang paling menyebalkan lagi adalah Pak Michael malah tak peduli. Ia terus berjalan di depan dan nampak berbincang dengan pelayan restoran yang menyambut kedatangan kami.
"Ayo, Mom! Kenapa masih duduk di lantai?" tanya Moza.
"Ck, Mom jatuh, kamu gak lihat apa?"
"Lihat kok, makanya ayo bangun!"
"Iya, gak usah dikasih tahu!"
"Jangan marah. Dad bilang, kalau jatuh tinggal bangun aja. Aku juga gak suka minta dibangunin kalau jatuh."
Kurang asem!
Aku bangun dan mengusap bokongku yang sukses mencium lantai.
Kulihat Pak Michael melambaikan tangannya. Tanpa menuntun Moza, aku berjalan. Bibirku maju beberapa senti. Anak sama bapak kok ya sama ngeselinnya? Aku kasih tahu deh, bagi yang punya gangguan jantung, darah tinggi atau hipertensi jangan deket-deket sama dua orang ini, bahaya! Kelakuannya bikin tekanan darah naik dan kepala serasa mau meledak.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Pak Michael sambil menyodorkan buku menu.
Seketika tenggorokanku tercekat.
"Ini ... 3 ratus ribu?!" pekikku tertahan.
"Bukan ratus ribu, tapi 3 juta," jawab Pak Michael santai lalu ia juga mulai mencari menu yang menarik perhatiannya.
Oke, fiks. Leherku serasa tercekik. Jadi untuk sekali makan, perorang menghabiskan uang 3 juta? Edan!
"Pak, em ... bisa gak kita pindah ke restoan lain?"
Ini gila apa ya? Makanan macam apa yang harganya sama dengan android yang bisa bikin wajah glowing seketika?
"Kenapa? Kamu gak suka?" tanya Pak Michael.
"Duitnya kebanyakan ya? Mahal banget!" jawabku sambil masih melihat-lihat menu.
"Ya udah, kamu cari yang murah. Saya yang bayar kok."
Dih, sombong amat!
Bibirku menyeringai. Orang sombong begini harus sedikit diberi pelajaran.
Baik, kita lihat ada menu apa saja ini? Hm, nama makanannya aneh-aneh! Semoga aja yang kupilih bukan daging kodok. Salahkan saja nilai bahasa Inggris-ku yang selalu di posisi pertama dari bawah, hingga nama makanan kek gini aja otakku gak nyampe.
"Saya pesan ini, lalu ini, terus yang ini juga, minumnya ini sama ini," ucapku sambil menunjukkan pilihan pada Pak Michael.
"Kamu yakin?" tanya Pak Michael. Dari nadanya sih dia kayak sedikit khawatir ya? Hahaha, bagoosss! Keknya orang sombong itu takut kalau duitnya habis saat ini juga. Rasain! Makanya gak usah belagu!
Aku mengangguk yakin dengan memasang senyum termanis di dunia. Rasanya sangat puas bisa mengerjai ayah satu anak itu.
"Baiklah," ucapnya terdengar pasrah.
Sambil menunggu pesanan datang yang cukup lama (mungkin ini disebabkan banyaknya menu yang kupesan), aku anteng memperhatikan si Moza yang lagi main cacing.
"Jangan ke sana! Tuh kan jadi mati?" seruku saat melihat cara si Moza memainkan game-nya.
"Mom bisa main cacing?" tanyanya antusias.
"Tentu saja," jawabku yakin lalu menepuk d**a dengan bangga, "Mom ahlinya! Sini biar cacingnya jadi paling gede!"
Moza menyerahkan gadget-nya dengan sukarela.
Hanya dalam hitungan 2 menit saja, cacingnya sudah jadi yang ke satu. "Tuh lihat, keren kan?" ucapku.
"Wow, Mom hebat!"
"Iya dong, game cacing sih kecil!"
"Dad, lihat! Mom keren main cacingnya! Padahal dulu Dad sering kalah. Belajar sama ahlinya, Dad!"
Pak Michael mengerutkan keningnya, "Belajar dari ahlinya?"
Moza mengangguk mantap, "Ahli cacing! Mom Clara ahli cacing!"
"Haha, mungkin Mom Clara sering cacingan saat kecil, jadinya dia ahli cacing!"
Anjir! Kutu kupret! Enak aja ngatain orang sembarangan!
Baru saja mulutku terbuka hendak mengeluarkan makian, tapi urung. Soalnya pesanan kami keburu datang.
"Yeay! Makan lagi!" teriak si gendut kegirangan. Ck, pantas saja gendut, lihat makanan kayak lihat harta karun aja nih bocah! Ada temenku si Puroh, gendut banget, dia bilang orang gendut makannya sedikit, justru orang kurus lah yang makannya banyak. Halah, bohong! Itu akal-akalan saja biar rakusnya gak kelihatan.
"Ayo makan!" ucap Pak Michael.
Tanpa memedulikan apapun, aku segera melahap makanan yang tersedia di atas meja. Jangan lupakan minuman dengan nama asing yang telah kupesan.
Ini sedikit agak ... aneh. Rasanya kayak asing di lidah.
Tapi aku mau lagi, lagi, dan lagi.
"Clara, stop! Minumnya bukan begitu! Sedikit-sedikit!"
"Halah, Pak Michael pelit! Ini enak, rasanya aku seperti sedang melayang. Wow, kenapa wajah tuyul gendut ini semakin melebar? Haha, lucu sekali!"
Ini perasaan apa? Whoah, aku baru merasakannya. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Pak Michael si Tuan Mimisan yang menyebalkan. Tampan sih, tapi mulutnya pahit! Haha!
Aku semakin rileks. Rasanya seperti terbang ke sebuah tempat. Apa ini syurga? Apa aku sudah mati? Tapi kenapa perutku rasanya mau meledak? Apa makanan yang kumakan benar-benar terbuat dari kodok?
Perutku terasa makin diaduk-aduk. Kenapa banyak bintang di kepalaku?