Sol

1633 Words
Baju sudah, handuk sama peralatan mandi juga sudah, apalagi ya? Ah iya, alat makan. Aku hanya mengambil sendok sama mangkok kecil. Yang lain bisa nebeng kan? Tempat minum bisa beli botol mineral, bekasnya jangan dibuang, kan bisa isi ulang air galon, haha. Ya, aku memang sesimpel itu. Aku menatap ransel yang sudah kusuapi dengan seabrek peralatan. Yes, semua sudah siap. "Ngapain kamu? Belum tidur?" tanya Om Wisnu. Kepalanya menyembul dari pintu kamarku. "Lagi beberes buat nanti KKN, Om." "Lah, kan masih dua Minggu lagi? Om kira kamu lagi nyiapin barang-barang buat pindahan setelah nikah," jawab Om Wisnu lalu masuk dan duduk di atas kasur. Memperhatikan aku yang masih memasukkan semua baju yang sukses kuberantakan mirip barang diskonan. Yah, tadi sudah ada kontest pemilihan baju yang tepat buat nanti. "Nikah?" Sesaat pikiranku tersesat pada pria jangkung menyebalkan yang berstatus dosenku itu. "Iya, Minggu depan lho, harus sudah menyiapkan diri." "Emang habis nikah harus langsung pindahan ya, Om?" "Kalau Michael mau tinggal di sini boleh aja. Berarti nanti kamu gak usah pindahan. Tapi kalau dia gak mau, berarti kamu yang harus ikut dia." "Bisa gak kalau habis nikah aku tetap tinggal di sini, Pak Michael di rumahnya. Janji deh nanti aku tiap hari berkunjung ke sana," ucapku memohon pada Om Wisnu tersayang. Om Wisnu nampak melongo. Aku menunggu. Satu detik Dua detik Ti -- "Aduh!" Satu jitakan mendarat mulus di jidatku. "Kamu pikir nikah cuma cuap-cuap penghulu, habis gitu udah selesai dan balik kandang masing-masing?" Aku meringis. Lah Si Om mode marah keknya. Apa aku salah ngomong? "Aku mesti gimana, Om?" Om Wisnu menepuk jidatnya. Mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Lalu memegang kedua bahuku. "Dengar ya, saat kamu nikah, berarti kamu udah menyerahkan hidup kamu sama suami. Jadi pernikahan itu sebagai sebuah penyatuan. Gak bisa orang nikah tapi pisahan. Namanya bukan penyatuan tapi perpecahan. Faham?" Aku berkedip beberapa kali, lebih cepat dari biasanya. Otakku berputar. Ah, b**o! Tentu saja Om Wisnu berpikiran kalau aku dan Pak Michael itu nikah normal kayak orang kebanyakan. Aku tertawa. Tepatnya sih pura-pura tertawa. "Ahaha, iya, Om benar. Aku ngerti kok. Maaf deh, tadi otaknya sudah di pengabdian saat KKN," ucapku. Njir, gayaku keren kan? Pengabdian coy! Haha, padahal aku malah ingat sama kumpul bareng teman (walaupun temanku cuma sebiji doang) dengan tambahan uang yang banyak dari Om tersayang. "Ck, makanya kamu kuliah yang bener. Siapin fisik dan mental mulai sekarang. Bentar lagi jadi istri orang." "Siap, Om! Tenang saja, semua akan beres pada waktunya." "Ya sudah, sana tidur! Jangan bergadang! Ntar mata panda saat nikahan!" ucap Om Wisnu lalu bangkit dan hendak keluar kamar. "Eh, tunggu, Om!" "Ada apa?" Aku nyengir, "Anu, bekal uang KKN?" tanyaku dengan kedua tangan menengadah. Jangan lupakan bumbu mata kucing yang dipasang semenyedihkan mungkin. "Nih bocah, kamu kan bentar lagi nikah, jangan manja! Sekarang udah dewasa, bentar lagi jadi istri orang. Lagian KKN kan masih lama, Nov!" "Yah ... Om kan tahu, aku gak suka kalau dadakan, biar disiapin dari sekarang. Bagi lah, Om!" ucapku tanpa mengubah mode memelasku ini. Om Wisnu berdecak, lalu keluar kamar tanpa menjawab. Yes! Kalau dia keluar tanpa ngomong apapun, pasti mau dikasih! Yuhuuu! Tinggal menunggu waktu. Tuh kan bener, gak sampai lima menit, Om Wisnu balik lagi ke kamarku. "Nih! Cukup?" ucapnya ketus. Aku menghitung, 1,2,3,4,5,6 ... "Dih, sejuta mana cukup, Om? Kan buat empat puluh hari lho!" "Gak cukup gimana? Udah pas itu, malah lebih. Kamu jajan sehari dua puluh ribu dikali empat puluh hari kan cuma delapan ratus ribu. Masih ada lebihnya dua ratus ribu lho." "Ha? Dua puluh ribu? Mana cukup, Om? Kan harga bakso aja seporsi lima belas ribu, belum minumnya!" "Ck, nih Om tambahin lima ratus ribu, udah ah, kalau kurang nanti Om kirim lagi kalau udah di sana, Om lagi gak ada duit cash!" Halah Si Om kok perhitungan banget sih? Masa bekalku disamakan dengan anak SMA? Asem! Emang sih, segala t***k bengek tentang persiapan yang mau dibeli udah dikasih kemarin. Uang patungannya juga sekalian. Aku cuma dapat sisa satu juta dari yang dia kasih. Katanya uang jajan nyusul. Kirain mau dikasih bekel gede gitu ya. Tahunya cuma segini. Hadeuh! *** "Sekian untuk hari ini. Jadi pastikan kalian sudah mendapatkan tempat untuk ditinggali selama pengabdian di sana, perhatikan apa yang dibutuhkan penduduk sana. Mengabdi dengan kemampuan yang sudah kalian dapatkan selama di kampus," Pak Michael menyudahi sesi bimbingannya. Oke, sekarang aku percaya tentang gosip anak-anak, bahwa Pak Mimisan ini memang sangar. Mungkin emaknya ngidam patrawali waktu dia masih dalam rahim. Jadinya ya, omongannya pahit semua. Lihat matanya itu, dih, tajam amat! Kek pisau chef yang harganya selangit, bro! "Pst, otak lo tamasya kemana?" bisik Riaz sambil mencubit lenganku. "Apaan sih, lo?" jawabku dengan berbisik juga. "Pak Michael nanya lo, dodol!" "Ha?" Pak Michael menunjuk dengan telunjuknya ke arahku. "Kamu!" ucapnya dengan nada seram. Karena kurang yakin, aku menunjuk dadaku dengan tatapan bertanya. Dia mengangguk. Haduh, kok aku dipanggil? Ngapain coba? Lihat wajahnya kayak algojo siap memangsa korban! Serem amat! "A-ada apa, Pak?" "Jelaskan apa yang saya sampaikan tadi!" Aku melongo. "Ha?" "Saya tidak menyampaikan 'ha' tadi." Njir, langsung meriang nih badan! Mikir, Nov! Mikir! Cari alasan apa saja yang bisa menyelamatkan dunia persilatan. "Maaf, Pak. Tadi saya sedang menghitung apa saja kebutuhan saat KKN nanti, jadi kurang fokus," jawabku dengan mengangguk sopan. "Kebutuhan kamu bilang?" "Iya, Pak. Tentu saja. Saya banyak mikir tadi. Apa saja kebutuhan saya nanti. Peralatan mandi, makan, em--" "Mandi, makan? Terus? Belanja gitu?" "Iya, Pak. Tentu saja! Belanja! Ini penting sekali, karena kan kita mau tinggal di tempat asing. Jadi harus mencari tempat belanja yang strategis," jawabku dengan percaya diri. Aku menatap sekeliling. Kenapa semuanya malah nampak menahan tawa? "Kamu pikir KKN ini buat liburan?" "Ah Bapak benar, ide bagus, Pak! Penghilang stress ya kan teman-teman?" "Pantas saja wajah kamu hanya kelihatan saat ujian. Sekalinya hadir ya begini, otak kamu tidak pernah datang saat perkuliahan berlangsung. Ke mana aja? Tour?" ucap Pak Michael. "Hahaha," Gelak tawa menyambut pertanyaan Pak Michael barusan. Aku hanya berdecak sebal. "Siapa yang nyuruh kalian tertawa?" Ucapan tegas Pak Michael menghentikan tawa berengsek dari teman sekelompokku. Syukurin! "Bener tuh, Pak! Orang salah tuh dikasih tahu! Bukan diketawain, ya kan, Pak?" tanyaku sambil cengengesan. Sumpah, berasa dapat angin segar! Dapat pembelaan kan? "Diam kamu! Biar jadi pelajaran buat semuanya, jangan pernah menyepelekan kuliah kalian! Ingat, orang tua kalian membiayai kalian bukan untuk bermain-main." Halah, kecipratan juga api kerusuhan Pak Mimis. Semua menunduk takut. Baru setelah Pak Michael pergi, mereka kembali mengangkat wajah. "Ah, elu sih pake ngelamun segala! Kena kan semua!" sungut Yoga, si ketua kelompok yang bawel. "Ck, gue bukan ngelamun cuma lagi memikirkan program kita," jawabku membela diri. "Tugas lu apa coba?" Yoga bertanya dengan nada menguji. "Gue? Ya tugas gue kan ikut KKN. Apalagi?" "Makanya telinga tuh dipake, Maemunah! Elu dapat tugas jadi bendahara! Ngumpulin uang patungan kelompok kita!" "Lha, kapan elu ngomong gitu?" "Sejak jaman Fir'aun dikejar Nabi Musa! Hu!" Pluk! Yoga menimpukku dengan gulungan kertas kecil. Aku nyengir. Melirik semua anggota kelompok sambil memasang fose dua jari. *** Hari paling mengenaskan akhirnya tiba. Dengan berat hati kulepas status masa gadis ini dengan ucapan ijab kabul dari mulut Mimisan k*****t itu. Tak apalah, toh ini hanya sementara kan? Apalagi Pak Michael bilang, katanya aku cukup menjalankan kuliahku dengan benar lalu mengurus Moza. Meski bagian kedua cukup berat, tapi apa mau dikata, daripada nasib ijazah S1-ku melayang, ya kan? Acara ini benar-benar tetutup. Pak Leo tidak main-main dengan ucapannya. Bahwa sebelum aku lulus kuliah, status kami dirahasiakan. Ijab kabul dilaksanakan di rumahku. Dan yang hadir cuma keluarga inti saja sama penghulu. Ah, satu lagi! Kami menikah bahkan hanya menikah siri. Katanya baru akan menikah resmi setelah aku lulus kuliah. Meski awalnya Om Wisnu keberatan, tapi Pak Leo menjelaskan bahwa ia sangat takut jika didaftarkan secara resmi, orang akan tahu. Badanku rasanya pegal semua. Meski hanya duduk mendengarkan proses pernikahan ini, tapi jika hanya duduk tanpa melakukan apapun ternyata sangat-sangat membosankan dan melelahkan. Malam ini aku dan Pak Michael masih berada di rumahku. Bagus sih, aku jadi bebas melakukan apapun. Termasuk tidur berguling-guling di kamarku sendiri. Bodo amat sama Pak Michael yang masih ngobrol di luar sana. Ah, aku juga mengunci pintu kamar. Keren kan? Haha! Cklek. Ha?! Kok bisa dibuka? Secepat kilat aku bangun dari posisi damaiku. Mataku membulat sempurna saat melihat Pak Michael yang dengan santainya masuk ke dalam kamar. "Bagaimana Anda bisa masuk?" tanyaku masih tak percaya. "Seharusnya saya yang bertanya, bagaimana kamu berpikiran mengunci pintu kamar?" "Buat jaga diri." "Kamu lupa tujuan kita menikah?" "Pikiran lelaki kadang berubah." Pak Michael mendekat, refleks aku mundur dengan kedua tangan menyilang di depan d**a. "Berubah katamu?" tanyanya dengan suara mendesis seperti ular piton yang siap memakanku bulat-bulat. Matanya menatap lekat seakan sedang masuk ke dalam tubuhku. Njir, wangi maskulin pria kok sedikit agak ... err ... seksi! Apa Pak Michael akan menciumku? Bagaimana kalau kubiarkan saja? Toh, kami suami istri kan? Lagipula, wajahnya tidak begitu buruk. Pantas saja banyak wanita yang menggilainya meski punya mulut setajam silet. Doing!!! Lah? Pak Michael menoyor kepalaku sambil menahan tawa. "Bersihkan pikiran jorokmu! Ngapain merem sambil manyun begitu?" Aku membuka mata, menatap nanar pada sebuah buku tebal yang dilempar Pak Michael ke atas kasur. "Ini ... apa?" "Tugas kamu buat perbaikan nilai. Resensi buku. Kirim lewat email saya," jawabnya sambil membuka kemeja tanpa pindah ruangan. Mataku berkhianat lagi. Tadinya gengsi, tapi kan lumayan kalau dilewatkan. Pak Michael malah dengan sengaja bertelanjang d**a di depanku. Semua yang ia lakukan membuatku lupa dengan buku k*****t yang ia lempar. Sumpah! Gila! Ini gila! Lebih hot dari video laknat yang sering kulihat saat di kamar mandi sambil mengeluarkan sampah perut. "Jangan ngiler!" Pak Michael mengusap wajahku lalu tertawa kecil dan masuk ke kamar mandi. Ini ... malam pertama kan? Sumpah, baru segini saja, otak mesumku meningkat seribu persen. Hello, apakabar malam berikutnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD