“Uhuk!”
Bianca tersedak saat dia mendengar ucapan Nathan yang sama sekali tidak ada di skenario hari ini. Sambil menunduk, tangan Bianca terulur untuk mengambil gelas air minumnya.
Bianca sedikit mencuri pandang ke arah semua orang sambil membersihkan mulutnya. Benar prediksinya, kini mata semua orang tengah tertuju padanya dengan tatapan penuh selidik.
Jangankan mereka, Bianca sendiri juga kaget. Dia memang menandatangani perjanjian dengan Nathan, tapi itu untuk menjadi sugar baby, bukan menjadi istrinya. Itu beda banget!
“Than, kamu jangan main-main. Kita lagi serius ini,” tegur Ivana.
“Yang main-main itu siapa, Ma. Nathan ama Bianca serius kok. Kami siap nikah besok,” ucap Nathan membela diri.
“Stop! Malam ini kita bahas dulu rencana pernikahan Dimas sama Diandra. Kamu diem aja dulu, jangan nambahin masalah!” tegas Beni sambil memberi peringatan pada putra keduanya.
“Oh, jadi kalo Nathan yang mau nikah itu bukan hal yang serius ya, Pa. Kalo Dimas yang nikah, itu baru serius. Papa gak adil!” protes Nathan.
“Nathan, diem dulu bisa gak sih,” tegur Ivana.
“Ya abisnya Papa gak adil. Giliran Dimas mau nikah aja di bahas serius. Kalo Nathan yang mau nikah, malah di suruh tunggu. Ini namanya gak adil, Ma. Pilih kasih!” Nathan memasang wajah protes pada orang tuanya.
“Kampret ni orang. Maunya apa sih dia. Lagian kalo ntar orang tuanya setuju, siapa juga juga yang mau nikah ama dia. Awas aja kamu ya!” Bianca geram pada Nathan yang terus saja bertahan ingin menikah.
“Kalo kamu beneran mau nikah duluan, bawa dan perkenalkan dengan baik calon istri kamu,” ucap Beni.
“Papa ini gimana sih. Ini ada Bianca, Pa. Dia pacar Nathan sekaligus calon istri Nathan. Masih kurang jelas apa lagi sih, Pa.”
Sumpah saat ini Bianca rasanya ingin memukul kepala Nathan agar akal sehat pria itu kembali. Bagaimana bisa pria yang baru kemarin dia temui itu sembarangan memperkenalkan dirinya sebagai calon istri. Meski Bianca butuh uang dan dia akan hidup enak kalau jadi menantu keluarga ini, tapi bukan begini yang Bianca inginkan.
“Benerkan, sayang. Kita juga siap nikah cepet kan?” tanya Nathan sambil tersenyum manis tapi tampak menjengkelkan di mata Bianca sampai wanita itu ingin sekali menonjok wajah tampan Nathan.
“Bener Bi, kalian siap nikah?” tanya Ivana.
“Gak. Gak bener itu, Tante,” jawab spontan Bianca sambil menggeleng.
Nathan melotot melihat Bianca yang malah tidak mendukungnya. Tapi Bianca memilih memalingkan wajahnya, tidak peduli dengan kemarahan Nathan.
“Bianca pemalu, Ma. Dia emang agak beda ama pacar Nathan yang lain,” ucap Nathan sibuk mencari alasan.
“Udah, kita bahas lagi rencana pernikahan kamu 3 bulan lagi. Kalo kamu beneran serius dan gak ganti-ganti pacar lagi, Papa akan pertimbangkan pernikahan kamu lebih dulu. Tapi inget, jangan macam-macam kamu. Papa akan awasi kamu!” sahut Beni memberi keputusan.
Bianca menelan paksa makanan di dalam mulutnya. Tampaknya kehidupannya selama tiga bulan ke depan akan sangat sulit.
Kehidupannya pasti akan diawasi dengan ketat oleh keluarga ini. Apalagi tentang hubungan percintaannya dengan Nathan.
Pikiran Bianca mendadak kosong. Dia yang selama ini tidak pernah bersinggungan dengan keluarga kaya raya, kini di buat susah bergerak dan bernapas. Saat ini dia memilih pasrah dan menunggu instruksi selanjutnya dari Nathan.
Suasana menjadi tegang untuk Bianca. Dia merasa canggung dan rasanya ingin segera lari dari tempat ini.
“Pa, kalo emang Nathan mau nikah duluan gak papa kok. Lagian Dimas ama Diandra masih ada rencana lain,” celetuk Dimas.
“Bener, Om. Diandra juga masih mau beresin tesis dulu. Dimas juga mau penelitian, jadi kami bisa belakangan,” sahut Diandra memperkuat ucapan calon suaminya.
“Gak ada pembahasan soal pernikahan hari ini. Udah makan aja. Kepala Papa udah pusing liat Nathan,” tegas Beni yang lagi-lagi dibuat pusing setiap bertemu dengan putra bungsunya.
“Jadi acaranya cuma makan aja nih hari ini. Kirain ada yang lain,” celetuk Nathan sambil memutar bola matanya.
“Than, gak usah bikin masalah lagi. Gak enak ama keluarga lainnya.” Kali ini sebuah tepukan ikut mendarat di tangan putranya dari Ivana.
“Kalo Dimas aja gak dipukul, kalo Nathan di pukul. Gak adil Mama ah,” rajuk Nathan.
“Ih ni anak ya. Mama jewer kamu ntar ya.” Ivana sudah sangat gemas dengan putra bungsunya itu.
“Maaf loh ya, ada gangguan dikit ini. Mari, lanjut makannya,” lanjut Ivana yang tidak enak pada saudara-saudaranya yang ikut datang di acara pertemuan itu.
Para tamu undangan acara keluarga besar dari keluarga Beni hanya bisa tersenyum saja. Biasalah, mereka tidak bisa terlalu banyak berkomentar, karena keluarga Beni Mahendra adalah pemegang kekuasaan tertinggi di struktur keluarga mereka.
Bianca yang sedari tadi duduk di samping Nathan hanya bisa diam dan memperhatikan orang-orang yang ada di dekatnya. Dia mencoba untuk menilai, karakter keluarga sugar daddy-nya, yang sebenarnya tidak penting.
Tapi mengingat selama tiga bulan ini Nathan akan diawasi, setidaknya dia harus bersiap karena dia masih ada kontrak kerja dengan Nathan.
Selesai makan, para pria berkumpul di ruang tengah. Tampaknya mereka sedang membicarakan bisnis, layaknya keluarga kaya di drama televisi.
“Bi, kamu tunggu dulu di sini gak papa ya. Tante gak enak kalo ninggalin keluarga yang lain. Ato kamu mau gabung ama kita,” ucap Ivana sambil tersenyum ramah pada Bianca.
“Em, saya di sini aja, Tan. Tadi kata Nathan kita udah mau pulang kok,” jawab Bianca yang masih takut bergabung dengan keluarga Nathan. Jelas saja takut, dia takut kalau nanti dia akan ditanyai macam-macam sedangkan briefing dari Nathan belum matang.
“Oh gitu. Ya udah, kamu santai aja ya. Tante tinggal dulu ya, Bi.” Ivana menepuk paha Bianca yang masih tertutup kain tambahan sambil tersenyum.
Bianca hanya membalas senyum itu sambil menganggukkan kepalanya. Bianca sesekali melihat ke arah Nathan yang sedang berbincang dengan para pria.
Nathan terlihat sangat berbeda saat ini. Pria itu tidak lagi menjengkelkan, bahkan terkesan sangat serius saat sedang bicara.
“Orang ini beneran aneh kayaknya. Bisa-bisanya dia ngebantah omongan papanya ampe papanya marah kayak tadi. Tapi sekarang, dia malah kayak orang yang diandalkan. Apa dia punya dua kepribadian ya,” gumam Bianca bermonolog sendiri sambil melihat ke arah Nathan.
“Hai, boleh duduk?”
Suara sapaan seorang pria langsung membuat Bianca menoleh. Alangkah kagetnya dia saat dia melihat ada sosok yang bisa dengan mudah dia kenali, tiba-tiba berdiri di depannya dan tanpa persetujuannya, tiba-tiba pria itu sudah duduk di sofa yang ada di hadapannya.
Melihat Bianca kaget sampai ternganga, pria itu malah tersenyum. Dia duduk bersandar dan sedikit tertawa melihat reaksi Bianca saat melihatnya.
“Arga. Kamu Arga kan?” tanya Bianca memastikan dia tidak salah mengenali orang. Bagaimana tidak kenal, Arga adalah cowok terkenal di kampusnya.
“Bagus deh kalo kamu tau aku. Kirain anak yang cuma tau buku dan belajar, gak bakalan tau ama temennya sendiri,” jawab Arga.
“K-kamu ... ngapain kamu di sini?” Bianca mengeluarkan pertanyaan bodoh.
“Ngapain? Justru aku yang mau tanya kamu ngapain di sini.” Arga melihat ke arah Nathan berada. “Jadi dia beasiswa kamu selama ini?” tanya Arga sambil menunjuk ke arah Nathan berada dengan dagunya.
Bianca mengikuti arah pandangan Arga sejenak lalu dia kembali melihat ke arah Arga. “Apaan sih! Dia itu ... dia itu pacarku. Iya, dia itu pacarku.”
Bukannya kaget, Arga malah tertawa mendengar jawaban Bianca. Dia terang-terangan menunjukkan rasa tidak percayanya atas pengakuan Bianca tadi.
Bianca kesal melihat reaksi Arga. Semua ini karena Nathan.
“Pacar? Kamu pacarnya Nathan? Emang ada yang percaya. Semua orang di sini tau siapa Nathan, Bi,” ucap Arga yang masih saja menertawakan Bianca.
“Sial! Ni orang gimana sih sebenernya. Awas aja ya kalo ni orang gak beres otaknya,” geram Bianca dalam hati.
“Kok gak percaya. Emang bener kok. Aku baru jadian ama dia,” bantah Bianca mencoba membuat Arga percaya.
“Pacar ke berapa? Bulan lalu dia dateng ke ulang tahun Tante Ivana dengan cewek lain. Trus sekarang di acara pertemuan keluarga dia bawa kamu. Emang ada yang percaya ama si pembuat onar itu?”
Arga memajukan badannya agar bisa mendekat pada Bianca. “Dibayar berapa kamu buat nemenin dia?” bisik Arga.
Sial!
Tampaknya perilaku minus Nathan sudah banyak diketahui keluarganya. Dia jadi geram karena ternyata kehadirannya di tempat itu benar-benar tidak berguna dan hanya membuat dia malu.
Sebenarnya Bianca ingin sekali menampar Arga yang secara halus menghinanya. Tapi memang dia dibayar oleh Nathan dan tidak mungkin juga dia membuat keributan di rumah orang.
“Ngomong apaan sih kamu! Sembarangan aja,” kilah Bianca yang kemudian segera berdiri untuk menghindari berlama-lama dengan Arga.
Ya, ini adalah cara paling cepat yang terlintas di pikiran Bianca saat ini. Dia tidak mau terlibat terlalu lama berbincang dengan cassanova kampusnya itu.
Arga memang teman sekelas Bianca, tapi mereka sama sekali tidak pernah berinteraksi satu sama lain. Tentu saja itu karena dunia mereka sangat berbeda.
Meski Arga adalah idola kampus yang tampan dan kaya, tapi Bianca sama sekali tidak tertarik untuk mencari tahu atau mendekat dengan pria muda itu.
“Ayo kita pulang,” ucap Nathan tiba-tiba sambil menggandeng tangan Bianca.
“Pulang? Ta-tapi ki—“
“Nathan, anter Bianca ke rumahnya,” pesan Ivana sedikit berteriak melihat putranya berjalan meninggalkan ruang acara.
“Dia nginep di apartemen Nathan, Ma,” jawab Nathan tanpa menoleh ke belakang.
"What!? Nginep? Oh my God, apa dia akan memintaku melakukan itu ...?" Bianca tak sanggup membayangkan lebih jauh. Tubuhnya tiba-tiba meremang. Mau bagaimanapun, dia tidak akan mau melakukan itu dengan Nathan. Namun dia hanyalah seorang sugar baby yang tak bisa membantah perintah dari Nathan.