Bicara Empat Mata

1050 Words
Mata bulat Nia menyorot lelaki misterius yang tengah menatapnya lurus, lelaki itu sama sekali tak bergerak namun sorot matanya yang tajam itu tak mengalihkan pandangannya dari Nia. Bisa saja ia menerkam Nia dalam beberapa detik, Nia berusaha menggerakkan kakinya yang keseleo akibat terjatuh. “Ayo bergerak, paksakan dirimu cepat!” Walaupun ia harus menyeret kedua kakinya untuk berdiri, Nia tak akan gentar. Gadis cantik ini tak ingin lemah di hadapan lelaki yang telah menerornya itu, Nia berjalan pelan-pelan dan makin lama tempo jalannya makin cepat. “Lari.. larilah semampu yang kau bisa” gumam Nia, terus ia berjalan cepat tak berhenti sedetikpun. “Nia!” panggil seseorang di belakangnya. “Huh.. bu Indri” ujar Nia kaget. “Baru pulang kerja ya?” tanya bu Indri, wanita paruh baya itu memegang tas belanjaan. Nia mengangguk pelan, sekuat tenaga ia ingin menyembunyikan apa yang baru saja ia alami, “Iya bu, saya baru pulang kerja” “Kamu kenapa.. eh kakimu berdarah” ujar bu Indri yang tak lain adalah tetangganya, beliau melihat sekujur badan Nia yang penuh debu. “Hehe saya baru kepeleset tadi bu, Nia nggak apa-apa kok” jawab Nia bohong. “Astaga Nia hati-hati dong kalo jalan, ibu kira kamu kenapa-napa. Bahaya sekarang banyak anak muda dari luar komplek yang mencurigakan, kalo bisa kamu pulang agak terang lagi ya, kasian kalo ibumu cemas kamu nggak balik sampe matahari terbenam” Nia menggangguk dan tersenyum manis, “Makasi bu” Bu Indri menuntun Nia walaupun belanjaannya sendiri amat berat, “Ayo ibu papah ya, kakimu pasti sakit banget. Setelah sampai di rumah jangan lupa di steril dan minta ibumu obati yang luka segera biar nggak infeksi” ujar wanita itu cemas. Nia tersenyum lalu mengangguk lagi, ia menoleh ke belakang sementara bu Indri masih mengomel tak karuan. Ia tak lagi melihat sosok lelaki berbaju hitam tadi, lelaki itu pergi menghilang entah kemana. Nia tak ingin lagi pulang terlalu sore, ia tak menjamin esok hari lebih aman. * “Udah baikan nduk?” tanya ibunya cemas, wanita setengah baya itu mengurut kaki anaknya di sofa yang telah robek sana-sini. Nia mengangguk pelan, “Nia nggak apa-apa kok bu, tadi Nia jalannya nggak hati-hati jadinya jatuh deh hehe” “Besok Nia nggak usah berangkat kerja ya, ibu nggak mau kaki anak ibu makin bengkak nanti” ujar ibunya. Nia menggeleng pelan dan berusaha berdiri, “Jangan dong, Nia Cuma jatuh aja kok nggak sampe patah tulang. Tuh kan Nia baik-baik saja, Nia bisa loh lari marathon sekarang hehe” “Baiklah, kalo ada apa-apa besok Nia telpon ibu ya nanti ibu jemput Nia di halte” ujar ibunya tetap khawatir. “Baiklah baik bu” jawab Nia agar tak membuat ibunya terus menerus khawatir. Malam hari ini ibunya sengaja ingin menemani Nia tidur di kamarnya, kekhawatirannya pada anak semata wayang itu makin menjadi saat ia mendengar rintihan Nia saat dia mandi. Terdengar jelas sekali Nia amat kesakitan saat ai mengguyur kaki terutama lututnya. Namun Nia tak serta merta tertidur walaupun jam telah menunjukkan pukul sebelas malam, ia melirik ibunya yang sudah terlelap di buai oleh mimpi di samping tubuhnya. Nia menatap jendela yang tertiup angin pelan, hembusan angin dari celah jendela itu membuat tirai tipis bergoyang-goyang menarik hati Nia. Sepelan mungkin ia mencoba untuk turun dari ranjang tanpa membangunkan sang ibu, dengan langkah tertatih-tatih Nia berjalan menuju jendela dan menyingkap sedikit tirainya. Mata Nia melotot tak percaya, napasnya tersenggal saat menatap sosok lelaki berbadan tegap itu berdiri mematung di luar pagar kayu. “Astaga.. astaga ya Tuhan” gumam Nia ketakutan. “Kenapa dia masih berdiri disana, si-siapa sebenarnya lelaki itu? kenapa dia berusaha mencelakai aku dan ibu?” gumamnya lagi. Nia melihat jam yang masih berhenti di angka sebelas malam, saat tengah malam begini harusnya hansip dan beberapa warga lain sudah keliling komplek. Kenapa sampai sekarang mereka tak lewat juga? Nia tak berani keluar dari rumah, ia takut kalau lelaki itu tiba-tiba saja mengeluarkan pistol dan mengarahkan timah besi pada tubuhnya. Seperti itulah cara film barat membuatnya terkesan, Nia jadi ketakutan sendiri saat menatap lelaki menyeramkan di luar halaman rumahnya. “Tapia pa aku pernah melakukan kesalahan atau semacamnya, seingatku nggak pernah sekalipun aku menyakiti orang lain” gumam Nia sendiri. “Baiklah, aku bakal samperin dia dan menanyakan apa yang dia inginkan dariku. Hei ini tengah malam jadi aku yakin ini yang dia inginkan, bicara denganku empat mata” gumamnya lagi. Ia mengubah ketakutannya menjadi keberanian, ia ingin sekali tahu niat dan tujuan lelaki itu menguntitnya salama dua hari ini. Ketakutannya hilang entah kemana saat ia yakin lelaki itu akan mau bicara, Nia menutupi lututnya dengan kain dan beranjak keluar. Namun lelaki yang tengah berdiri di depan pagar rumah Nia itu terlihat tak nyaman saat Nia muncul dari dalam rumah. Tatapan mata Nia yang tajam membuat lelaki misterius itu menundukkan wajahnya, ia mulai mundur perlahan saat Nia melangkahkan kakinya ke tanah. Kaki Nia yang terseret itu makin membuat dahi lelaki itu berkerut, Nia terlihat menahan sakit mendekatinya. Lelaki itu berencana akan menjauh dari Nia, ia tak melihat Nia berusaha berjalan ke arahnya sekalipun. “Hei tuan penguntit!” tegur Nia. Lelaki itu berhenti saat akan menjauh dari Nia, “Hei apa yang kau lakukan di depan rumahku tuan penguntit?” tegur Nia lagi. Lelaki berpakaian serba hitam itu kembali berjalan menjauh dari Nia sebelum gadis itu makin mendekatinya, ia tak menghiraukan Nia yang terseok-seok. Lelaki itu berjalan cepat menuju gelapnya malam, tubuhnya seakan menyatu dengan pekatnya malam. Nia berusaha mengejar lelaki itu namun sekuat apapun Nia, ia hanya mampu menyentuh pagar kayu. Di lihatnya lelaki itu sudah tak nampak lagi di jalanan komplek, Nia begitu bingung dengan niat tersembunyi dari lelaki tadi. “Neng, ngapain malam-malam begini di luar?” tanya seorang bapak-bapak. “Eh pak, tadi.. tadi..” jawab Nia kaget. Ada empat orang yang sedang berpatroli dan mereka semua tetangga Nia, gadis itu benar-benar terkejut para bapak-bapak ini nongol tanpa aba-aba terlebih dulu. Mereka memegang lampu senter dan beberapa lagi membawa alat berpatroli lainnya seakan bakal perang. “Ngapain neng?” tanya beliau lagi. “Itu tadi..” “Iya?” kata bapak-bapak disana mendengarkan jawaban Nia. “Saya tadi dengar ada tukang ketoprak lewat, saya laper jadi saya keluar mau kejar bapak penjualnya hehe” “Jam sebelas malam begini ketopraknya lewat, neng?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD