Bab 12. Peluk Dan Hancurkan Aku

2021 Words
Jourell melangkah pelan sekali mengintip dari celah pintu, dengan ancang-ancang yang pasti ia membuka cepat pintu itu bersikap untuk menyergap penguntit. Namun ia malah dikejutkan dengan wajah Han yang muncul membawa kemeja baru untuknya. “Han?” Jourell memandang asistennya dengan tatapan yang luar biasa tajam membuat pria itu sangat gugup. “Ma-af Tuan, tadi saya tidak sengaja menendang tong sampah itu,“ sahut Han terbata-bata. Pandangan Jourell seketika melihat ke arah tong sampah yang ada di depan kamar mandi, ia tidak langsung melepaskan tatapan matanya. Dengan sengaja mengawasi Han sampai beberapa saat lalu mengulurkan tangan meminta kemeja baru dan segera dikenakan dengan cepat. Sebelum pergi Jourell kembali mengulurkan tangan meminta rokok yang dibantu dinyalakan oleh Han, ia menghisapnya dalam-dalam lalu dihembuskan cukup kasar dengan kepala yang mendongak ke atas. “Di depan ada polisi, tarik mundur anak buah kita. Jangan ada transaksi apa pun malam ini,“ titahnya tegas, kemudian melangkah meninggalkan area itu setelah Han mengerti apa perintahnya. Jourell segera kembali ke tempatnya yang semula, wajah yang semula dingin berubah santai dengan penuh senyum tipis di bibir. Ia melangkah dengan tenang menemui Letizia kembali, namun ia justru disambut hal yang tak menyenangkan. *** Letizia masih memperhatikan Jourell sampai lenyap dari pandangan, lalu memandang ke arah pertandingan lagi. Dia sangat penasaran dengan urusan yang dimaksud oleh pria itu, tapi tidak ingin ikut campur terlalu dalam. Sudah merasa tenang akan sikap Jourell yang mulai melembut kembali. Tiba-tiba, Jasson muncul di sampingnya, senyum polos menghiasi wajahnya. "Tenang saja, kakak ipar, kakakku sebentar lagi pasti kembali. Duduk dan nikmati pertandingan saja." Letizia terkejut, lalu memandang Jasson dengan mata lebar. "Hem, anyway aku baru tahu Jourell punya adik." Jasson mengangguk penuh keyakinan. "Wah kakak baru tahu, padahal kita memang kembar." Letizia mengernyit kebingungan. "Kembar?" Jasson tersenyum lagi. "Kita memang kembar, kakak ipar, hanya lewat 3 tahun 10 hari saja." Letizia tertawa, hampir saja percaya dengan perkataan absurd Jasson. "Ada-ada saja, aku serius baru tahu kalau Jourell punya adik. Kalian merantau semua ke Jakarta, gimana sama orang tua? Sehat 'kan?" Letizia bertanya sehati-hati mungkin, merasa ingin tahu lebih dalam keluarga Jourell yang sampai detik ini belum di kenalkan secara resmi. Terkadang Letizia juga bingung, ia menaruh kepercayaan yang sangat besar kepada Jourell tanpa memandang ke belakang. Letizia yang menilai bagaimana pria itu memperlakukan dirinya yang sangat baik dulu, membuatnya nyaman tanpa mengorek informasi lebih jauh Namun, kini keduanya telah menikah, Letizia merasa ingin mengenal dekat keluarga suaminya itu. Eh, bukankah hubungan mereka hanya sebatas Kreditur dan Debitur? Jasson mengangguk lagi. "Papa dan Mama sehat, masih kuat juga untuk bertemu dengan calon menantunya. Mungkin kakak hanya perlu waktu untuk membawa kakak ipar ke rumah. So, keep calm." Letizia tersenyum, merasa sedikit lebih santai. "Ah, sorry kalau aku lancang, enggak usah dijawab." Jasson tertawa. "Hahaha, jangan terlalu kaku seperti itu, kakak ipar." Suasana pertandingan menjadi lebih hidup, dengan sorak-sorak penonton dan teriakan komentator. Jasson merasa ada yang bergetar pada saku celana, melihat nomor sang ayah membuat pria itu bangkit. “Aku tinggal sebentar ya, Kak," pamit Jasson yang langsung dibalas anggukan singkat oleh Letizia. Di antara keriuhan itu terlihat segerombolan orang masuk dengan pakaian hitam. Mungkin sekitar 8 orang yang diketuai oleh Kenji, pria itu menebar anak buahnya untuk mengawasi arena karena ada laporan jika wilayah itu sudah sering digunakan sebagai tempat transaksi narkoba. Kenji sendiri menatap dengan awas para penonton, mencari orang yang gelagatnya mencurigakan. Tak menyangka justru melihat Letizia—sang wanita pujaan yang duduk sendirian di kursi VIP. “Zia?“ Kenji mengernyit heran sekali, tidak biasanya Letizia yang dikenal sebagai gadis kue bisa berada di tempat yang menurutnya kawasan berbahaya. Dengan langkah matang penuh perhitungan Kenji berjalan menuju kursi Letizia, tak mungkin membuang kesempatan bertemu yang hanya bisa dilakukan dengan ketidaksengajaan. “Zi, ketemu lagi.” Letizia yang tadinya fokus menonton pertandingan kaget sekali melihat Kenji yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Ia tersenyum canggung, mencari-cari sosok Jasson yang belum kembali. Jourell pun belum ada tanda-tanda akan kembali. Kenji mengikuti arah pandangan Letizia yang kebingungan itu. “Sama siapa ke sini? Kebetulan ada tugas, eh nggak nyangka ketemu lagi. Apa jodoh, ya?” canda pria itu menggoda. “Ha, aku pergi sama Jourell tadi.” Letizia menanggapinya dengan tawa yang kembali canggung, menjawab pertanyaan sebelumnya dengan jujur. “Jourell?” Wajah yang semula penuh semangat itu berubah datar, pun tatapan mata yang cukup tajam berkilat pada ruangan yang remang itu. “Ya, dia sedang pergi sebentar.” Kenji tak mampu menahan senyum sinis di wajahnya. Kedua tangan pun reflek mengepal, merasa baru saja mendapatkan euforia kemenangan bisa dekat lagi dengan Letizia tapi ternyata lagi-lagi ada yang mencuri start duluan. Jelas ia sangat kesal. “Aku pikir kalian sudah tidak bersama. Apa-apaan, Zi. Dia meninggalkanmu sendiri di area seperti ini?” kata Kenji penuh hasutan. “Tadi aku bersama adiknya, tapi sepertinya dia menerima telepon,” sahut Letizia mulai risih dengan ucapan Kenji. “Dia yang mengajak, dia yang harus bertanggungjawab. Bukan malah lempar sana-sini, ayo, aku akan mengantarmu pulang, tempat ini tidak baik untukmu.” Tiba-tiba Kenji langsung menggenggam tangan Letizia membawanya untuk bangkit. “Eh, Ken. Aku masih mau nonton, lagipula aku datang bersama Jourell.” Dengan lembut Letizia menarik tangannya, memandang Kenji dengan sorot mata kesal yang kentara. “Zi, mau sampai kapan kau menutup matamu?” Kenji berubah cukup emosional sekali. “Sejak dulu kau tahu bagaimana perasaanku, tapi kau selalu memilih dia. Apa yang bisa kau banggakan dari dia, bahkan sekarang dia pun tidak jelas kerjanya apa 'kan?” ucapnya begitu angkuh, sangat paham untuk urusan kasta Jourell masih di bawahnya karena nama pria itu terdaftar jadi mahasiswa menerima beasiswa di Universitas negeri. Letizia awalnya masih mencoba bersabar namun ucapan Kenji kian mengesalkan memicu amarah yang sejak tadi ia tahan. Ia menahan napas meredam agar dirinya tidak terlalu meledak. “Udah ya, kita udah dewasa untuk paham masalah kayak gini. Kalau kau mengerti, pergilah dan tinggalkan aku,” ucap Letizia masih mencoba bersabar sekali lagi. “Ada aku, Zi. Kenapa kau tidak bersamaku saja?” Kenji tidak menyerah, ia berusaha meraih lengan Letizia lagi namun sebelum itu terjadi tangannya segera ditepis dengan kasar lalu tubuhnya didorong hingga hampir terhuyung. Kenji mengumpat kasar, bersiap memaki siapa pun orang itu. Dan ternyata orang itu adalah Jourell yang memandangnya sangat dingin. “Jourell.” Letizia menyebut nama pria itu lirih, cukup kaget karena Jourell tiba-tiba ada di sana. “Kau tidak apa-apa 'kan?” Jourell meraih kedua lengan Letizia, ia kemudian mengeluarkan sapu tangannya untuk membersihkan bekas pegangan Kenji tadi. Sikap itu jelas membuat Kenji merasa sangat terhina, ayolah selama ia hidup tak ada yang berani melakukan itu padanya. Bahkan dengan statusnya yang sekarang, manusia mana yang berani seperti itu? “Seharusnya aku memberikan lotion anti kutu busuk padamu tadi, kasihan sekali tangan wanitaku. Semoga tidak gatal-gatal nanti,” kata Jourell dengan ekspresi yang seolah mengasihani Letizia namun matanya sangat menghina Kenji. Letizia tak mampu menahan senyumnya mendengar ucapan Jourell, ia tidak berani melihat ekspresi Kenji yang sudah seperti kepiting rebus sangking marahnya. “Ternyata penilaianku tidak salah, kau sama sekali tidak memiliki attitude!” umpat Kenji. “Terima kasih pujiannya,” sahut Jourell tersenyum tanpa dosa. Dengan santai malah merengkuh pinggang Letizia dan mengecup kepala wanita itu mesra sehingga sang empunya tersenyum malu. Darah Kenji semakin mendidih, ketenangan dalam dirinya tak bisa dikendalikan. “Zia, apa laki-laki seperti ini yang kau pertahankan? Kau tidak akan kenyang hidup dengan modal cinta dengannya. Dia bahkan hanya pengangguran, kau—” “Kenji.” Letizia langsung menyela sebelum Kenji selesai bicara. “Sejak tadi aku sengaja diam tapi ternyata kau tidak cukup sadar diri. Kau mengatakan apa? Aku tidak akan kenyang hidup dengan pria pengangguran? Siapa bilang?” Letizia menarik lengan Jourell agar lebih merapat ke arahnya. “Kebahagiaan orang itu tidak diukur dengan harta, sekarang dia memang belum bekerja bukan berarti tidak bisa membahagiakan aku. Lagipula kau lihat, wajahnya sangat tampan. Setidaknya jika aku sakit karena kelaparan, aku bersama pria tampan seperti dia!” seru Letizia bersungut-sungut sebal. Ucapannya itu berhasil membuat kedua pria itu melongo terutama Jourell yang langsung terdiam, kaget juga Letizia membelanya seperti itu jelas membuat hatinya yang beku terketuk dengan cepat. Merasa terharu hingga matanya langsung berpaling pada Letizia sepenuhnya. “Zia, kau—” “Apa? Gila? Iya, aku memang gila. Sudah ya, jangan terus mengajak wanita gila sepertiku berbicara, huh!” gerutu Letizia tanpa memberikan jeda untuk Kenji berbicara lagi, ia bahkan langsung mengenggam tangan Jourell membawanya pergi. Jourell mengulas senyum lebar nan penuh ejekan pada Kenji yang membuat pria itu semakin murka. Seolah tak puas, ia balas merengkuh pinggang Letizia sangat mesra seolah menegaskan tidak akan ada celah lagi pada pria itu. * “Apa istimewanya punya pangkat tapi suka menghina orang lain, s**t menyebalkan!” “Bagaimana bisa orang seperti dia diberikan kepercayaan sebagai penegak hukum, huh!” Letizia masih menggerutu penuh kekesalan sampai pulang ke Apartemen, ia benar-benar tak suka dengan ucapan Kenji yang merendahkan Jourell. Ia langsung membuang sling bag yang dikenakan beserta sepatu flatshoes miliknya meluapkan kekesalan. Jourell yang ada di belakang wanita itu justru tersenyum tipis, hatinya membuncah tiada tara karena sikap Letizia malam ini. Mulai memberikan cahaya terang pada hatinya yang semula gelap gulita, seperti alarm yang mengingatkan jika perasaan 6 tahun lalu itu ternyata masih sama. “Istriku hebat banget, perlu aku kasih hadiah nggak ya malam ini?” Dengan gerakan mudah, Jourell merengkuh Letizia ke dalam pelukan yang sangat erat dari belakang. Letizia yang tadinya bersungut-sungut kesal sontak membeku begitu saja, ia mengerjapkan mata menahan gugup. “Aha, kita masih perlu menyelesaikan tugas. Daripada memikirkan pria tadi ayo bersih-bersih rumah saja.” Letizia melepaskan dirinya dengan gesit dari pelukan Jourell lalu buru-buru meraih benda yang masih berserakan tak karuan. Jika biasanya Jourell akan merasa kesal, kali ini ia justru hanya tersenyum tipis tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengikuti apa yang Letizia suruh, membersihkan Apartemen yang tadi sore telah ia hancurkan. Namun, sepanjang kejadian itu Jourell tak henti menatap Letizia yang membuat wanita itu salah tingkah. “Kau tinggal menyapu, aku akan mandi.” Letizia buru-buru menyembunyikan dirinya, sejak tadi merasa sedang diintai oleh serigala yang tengah kelaparan. “Oke.” Lagi dan lagi Jourell tidak memprotes, pria itu dengan santai menyelesaikan pekerjaan dengan menyapu kamar. Ia bahkan sempat bersiul dengan penuh suka cita yang membuat Letizia kian merinding. Pukul 22.00 Jourell bergantian mandi dengan Letizia, ia melangkah ke kamar mandi, kaki telanjangnya menyentuh lantai yang dingin. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar-debar. Cahaya lembut dari lampu kamar mandi menerangi wajahnya, membuat bayangan-nya sendiri terlihat seperti bergetar. Dia mulai membuka baju, tangan-tangannya bergetar karena gugup. Kemudian, dia masuk ke dalam kamar mandi, air hangat mengalir deras di atas kepalanya. Jourell menutup mata, membiarkan air mengalir di atas wajahnya, mencoba menghilangkan rasa gugupnya. “b******k, kau yang menggodaku, Zia. Kau tidak akan lolos malam ini.” Jourell tak henti mengumpat jengkel, kepalanya telah terbakar oleh hasrat dan cinta yang menggelora. Sikap Letizia malam ini membuatnya ingin segera mencabik-cabik wanita itu segera. Ia membuka mata, mengambil pasta gigi dan sikat gigi. Dia mulai menggosok gigi dengan gerakan yang cepat dan gesit, seolah memastikan agar semuanya bersih untuk Letizia. Jourell berdiri di depan cermin, mencoba mengatur napasnya yang berdebar-debar. Ia telah mempersiapkan kata-kata cinta yang manis untuk Letizia, tetapi entah mengapa, semuanya terasa hambar. "Hem, bagaimana aku harus memulainya?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, merasa kebingungan. Tiba-tiba, Jourell mengambil keputusan. Ia akan melakukan apa yang terasa alami. Dengan nada manis yang dibuat-buat, ia berkata, "Zia, ayo kita lakukan." Namun, ia langsung menyadari bahwa kata-katanya terdengar sangat bodoh. "s**t! Itu sangat bodoh. Bagaimana kalau seperti ini : “Zia, aku ingin memilikimu.” Ah membosankan." Jourell menggelengkan kepalanya, merasa frustrasi. Ia berusaha tenang, membenarkan penampilannya, lalu melangkah keluar kamar mandi. Keadaan kamar sudah remang dengan cahaya lampu tidur di samping ranjang. Jourell melangkah mendekat, lalu naik ke atas ranjang dengan penuh kehati-hatian. Tanpa mengucapkan apa pun, ia langsung memeluk Letizia dari belakang sangat erat. "Sebagai hadiah kemenangan, aku akan memberikan semuanya untukmu malam ini. Zia, peluk dan hancurkan aku... " bisik Jourell mengecup lengan Letizia dengan kuat, membuat wanita itu terkejut dan mengeluarkan suara erangan yang lembut. Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD