Bab 3.

1600 Words
Sebastian Nugraha tengah membicarakan kondisi Saiful Hirawan dengan salah seorang dokter yang menangani atasannya tersebut, saat rungunya menangkap suara perdebatan kecil dari luar kamar perawatan Saiful. Menunggu hingga Dokter menyelesaikan pemeriksaannya, Tian keluar dari sana berbarengan dengan sang dokter, juga salah seorang perawat.  Begitu pintu terkuak, manik hitamnya menangkap sosok Jenita dan Elang tengah saling berhadapan. Dengan Jenita yang menatap tajam pada Elang. Tian berdeham cukup kencang bermaksud untuk mengalihkan perhatian dua orang tersebut. Elang menoleh dan tersenyum tipis pada Tian. Sementara Jenita tetap pada titik fokusnya, menghunuskan tatapan bak pisau pada Elang. Tak terpengaruh dengan hadirnya sosok Tian, maupun dokter juga suster yang akhirnya meninggalkan tempat tersebut. "Mas Elang, tidak ke kantor?" tanya Tian yang cukup terkejut sebenarnya melihat sosok Elang berada di sana. Biasanya lelaki itu akan mengunjungi Saiful sepulang dari kantor. "Nanti, agak siangan, Bang." Jenita memilih menyingkir. Wanita itu memasuki ruang perawatan sang papa, yang masih disambut dengan keheningan. Ia lantas menelungkupkan wajahnya di tepi ranjang Saiful. Hatinya terlalu lemah jika harus dihadapkan dengan orang-orang dari masa lalunya. Katakanlah Jenita berlebihan, tetapi memang rasa pedihnya masih begitu mengoyak hati. Terlebih saat ia harus berhadapan dengan sosok Elang. Lelaki dengan tampilan menawan yang sudah mengisi hatinya sejak ia masih duduk di bangku putih abu-abu. Jenita akan kalah. Sekuat apa pun dia meyakinkan diri, jika ia membenci lelaki itu, nyatanya ... kali ini tangisnya mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Ia merasa menjadi perempuan paling bodoh di muka bumi ini. Karena faktanya, perasaan cinta itu masih bertengger di posisi atas hatinya, meski hanya secuil. Atau bahkan lebih, karena Jenita berusaha menepisnya. Bodoh. Bodoh. Tian mendengar isakan pilu yang menyesakkan hati dari ruang perawatan Saiful. Sudah lama ia tidak mendengar secara langsung suara tangis Jenita. Langkah kakinya tertahan untuk memasuki ruangan tersebut karena tidak ingin mengusik Jenita menumpahkan kepedihannya. . . "Maaf Pa. Jenita membuat tempat tidur Papa basah," kata Jenita pelan usai mengakhiri tangisnya sekian lama. Netranya memandang sendu paras lelaki paruh baya yang masih memejamkan matanya begitu rapat.  Sejujurnya, ia sendiri masih menyimpan kebencian pada lelaki di depannya saat ini. Sayatan demi sayatan yang ditorehkan lelaki yang terbaring tak berdaya itu terlalu banyak. Terlalu menyakitkan jika dijabarkan satu per satu. Karena bukan hanya dirinya yang tersakiti. Anita—sang mama pun turut mendapat kesakitan itu, bahkan hingga akhir khayatnya. Tujuh belas tahun silam. Jenita tersenyum getir. Sakit di dadanya begitu menghantam jiwa. Tidak mudah menjadi dirinya, setelah meninggalkan kediaman sang papa belasan tahun lalu. Ia berjuang seorang diri. Berjuang menghidupi diri sendiri, karena tidak ingin merepotkan paman dan bibinya dari pihak sang mama. Juga berjuang melawan rasa sakit yang tak berkesudahan hingga kini. Dan seseorang yang merupakan bagian dari dirinya, yang sengaja ia sembunyikan dari orang-orang dari masa lalunya. "Papa ... kalau saja Papa tidak pernah mengkhianati, Mama ...." Jenita tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Bayangan tentang pertengkaran kedua orang tuanya melintas jelas. Teriakan sang papa. Tangisan. Raungan sang mama, yang bersujud kala memohon pada papanya untuk meninggalkan "perempuan" itu, terpahat jelas di ingatan Jenita. Netra Jenita kembali memanas. Tenggorokannya serasa tercekik karena berusaha meredam gelombang tangis yang siap menerjangnya kembali.  Jangan menangis lagi, Jenita. Sudah cukup, kamu meratapi nasib selama dua belas tahun ini. Sudah cukup. Kamu harus kuat. Agar saat Papa terbangun, dia akan melihatmu baik-baik saja. . . Tian mengalihkan fokusnya dari ponsel pada pintu yang terkuak dari arah dalam. Ia memang sengaja menunggu Jenita di luar ruangan, hingga wanita itu puas menumpahkan kesedihannya. Sesuatu di hatinya memerintahkan lelaki itu tetap tinggal di sana, selepas kepergian Elang satu jam yang lalu. Tian berdiri. "Mbak Jen sudah sarapan?" Sejujurnya itu hanya lontaran basa basi Tian. Untuk mengalihkan kesedihan Jenita. Jenita tersenyum tipis untuk mengamuflase apa yang baru saja ia rasakan di dalam sana. Meski hal itu tidak mampu membendung rasa iba Tian pada wanita itu. Tian tahu persis. Sejak belasan tahun lalu. Apa yang sesungguhnya terjadi pada keluarga atasannya tersebut. "Su—sudah, Bang." Bersyukur karena suara yang baru saja Jenita ucapkan terdengar biasa. Ia berharap, lelaki di hadapannya yang sudah banyak membantu dirinya dan sang mama, tidak mengetahui apa yang baru saja ia lewati di dalam sana. Jenita lantas memilih duduk di sudut sofa. Ia sandarkan punggungnya pada badan sofa lantas memejamkan mata. Terlalu lelah untuk di awal hari ini. Harus bertatap muka dengan Elang Bimantara membuat logikanya lumpuh. Emosinya kembali teraduk dan bisa dipastikan genangan di maniknya akan tumpah begitu saja jika ia harus terus-terusan di hadapkan pada lelaki itu.  Entah mana yang lebih menyakitkan. Cinta bertepuk sebelah tangan. Atau cinta yang tetap terpelihara meski telah dicampakkan. Bodoh. Jenita memijat keningnya perlahan. Jika begini terus keadaannya, aku bisa gila! Wanita itu lantas menoleh ke sisi kirinya karena merasakan sentuhan lembut di bahunya, dan mendapati Sebastian Nugraha tengah menatapnya penuh simpati. "Sebaiknya saya antar Mbak Jen pulang." Suara Tian yang pelan namun tegas membuat Jenita menganggukkan kepala tanpa pertimbangan lagi. . . "Bagaimana kabar keluarga di Sydney?" Tian bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada jalanan di depannya dengan suara pelan, penuh simpati. Lelaki itu memang secara tulus menanyakan kabar dia. Meski tanpa bertanya pun, Tian sudah tahu jawabannya. Karena satu orang kepercayaannya ia tugaskan untuk menjaga keluarga Jenita di sana, selama wanita itu berada di Jakarta. Jenita menoleh sejenak sebelum menatap kembali pemandangan dari kaca samping kirinya, menampilkan gedung-gedung perkantoran yang menjamur dan menjulang tinggi. Lalu helaan napasnya terdengar sebelum ia menjawab pertanyaan Tian dengan singkat. "Semuanya ... baik." "Syurkurlah." Sudut bibir Tian terangkat sedikit ke atas.  "Basa-basi Abang sama sekali tidak lucu." "Saya berusaha bersikap baik." Jenita menyerongkan tubuhnya menghadap Tian. Dengan wajah sedikit sebal ia menatap lelaki yang tetap fokus menatap jalanan meski bibirnya tersenyum samar.  "Abang jelas tahu keadaan saya bagaimana di sana tanpa perlu menanyakan langsung pada saya." "Itu, pasti. Tapi saya ingin dengar dari bibir Mbak Jenita langsung.” Jenita meraup oksigen sebanyak ia mampu, ia lantas membuangnya sedikit kasar. Lebih mirip dengusan. Sebuah tindakan sengaja karena berbincang dengan sosok lelaki di sampingnya pun lebih banyak membuahkan perdebatan. Sempat Jenita mengira segala bentuk tindakan Tian padanya yang penuh perhatian adalah bukan semata dirinya putri dari Saiful Hirawan. Melainkan ada perasaan spesial dari lelaki itu padanya. Jangan salahkan pemikiran Jenita yang menganggap sikap Tian sebagai ungkapan perasaan dari hubungan antara lelaki dan perempuan. Karena, ada hal-hal yang menurutnya diluar konteks kerja Tian. Namun, lelaki itu dengan suka rela melakukannya. Tetapi, lambat laun Jenita paham jika semua yang dilakukan Tian padanya, tak lebih sebagai bentuk balas budi semata. Atau mungkin bentuk belas kasihan. Jenita menggeleng pelan. Sebuah pemikiran bodoh mengharap sebuah perasaan langka dari lelaki sedingin kutub macam Tian. "Ada apa?" Suara berat Tian menarik kembali Jenita dari lamunan singkatnya. "Tidak." Jenita menjawab tanpa menoleh. "Bisa minta tolong antar saya ke tempat Mama?" Tian tertegun sejenak. Ia menoleh, menatap tak lebih dari satu detik pada wanita di sisi kirinya yang kini berwajah mendung.  "Tentu." . . Sudah satu setengah jam berlalu. Jenita masih belum beranjak dari duduknya di sisi makam sang mama. Ia sudah mengakhiri doanya untuk sang mama sejak berpuluh menit lalu. Dan kini wanita itu hanya menatap kosong gundukan tanah dengan rerumputan hijau yang terawat baik. Air matanya telah mengering. Tak setetes pun ia biarkan cairan bening itu membasahi makam mamanya. Tetapi siapa pun orang yang melihatnya pasti akan paham jika apa yang tengah diderita Jenita bukan hal mudah. Sementara di ujung makam, Tian lagi-lagi hanya mampu menatap iba pada Jenita. Berkali-kali dia mengembuskan napas dengan kasar. Agar tidak bertindak impulsif. Berlari, membawa tubuh Jenita ke dekapannya. Membiarkan dadanya dibasahi tangis kepedihan wanita itu untuk sedikit mengurangi beban di pundak Jenita.  "Mama ...." Suara lirih Jenita yang penuh kesakitan membuat Tian kian fokus memandang wanita itu. "Maafkan Jenita yang baru bisa mengunjungi Mama. Tetapi perlu Mama tahu. Sedetik pun, Jenita tidak pernah melupakan Mama. Bahagia di surga, Ma,” ucapan Jenita ditutup dengan mengusap lembut nisan berukiran tinta emas.  Jenita lantas berdiri setelah berusaha meredam segala bentuk kesakitan di dadanya. Berada di makam wanita yang telah melahirkannya ke dunia, jelas menyedot seluruh pikirannya kembali pada masa lalunya yang pekat. Penuh air mata juga kekecewaan. Jenita menghampiri Tian yang juga telah berdiri. Keduanya saling memandang sejenak. Sebelum akhirnya Jenita bersuara, "Saya akan kembali ke hotel. Jika Abang harus ke kantor, saya bisa pulang sendiri." "Saya antar." "Tapi saya bisa sendiri, Bang." Tian menatap lekat Jenita sejenak sebelum akhirnya melangkah lebih dulu ke arah mobil lantas membukakan pintu di sisi pengemudi. Mendesah pasrah, Jenita akhirnya menuruti titah lelaki kutub tersebut. Memasuki mobil. Duduk di sisi lelaki itu. Lantas memasangkan sabuk pengaman. . . "Pukul tujuh malam nanti saya jemput."  Gerakan jemari Jenita yang sedang melepaskan sabuk pengaman terhenti mendengar kalimat penuh perintah Tian. Dengan penuh tanya Jenita menatap Tian yang juga tengah menatapnya. Mereka telah sampai di basemen hotel, tempat Jenita menginap. "Siapkan pakaian ganti. Kita akan menginap di rumah sakit." Netra Jenita melebar sempurna. Apa-apaan ini? Untuk apa dia harus bersusah payah menginap di rumah sakit. Menjaga lelaki tua yang bahkan sudah tak menganggap dirinya sebagai anak? Oh, tidak! "Semakin cepat sadar Bapak, maka akan semakin cepat pula Mbak Jen kembali ke Sydney." Tian sama sekali tidak memberikan waktu bagi Jenita untuk menolak permintaannya tersebut. "Ta-tapi ...." "Bapak butuh dukungan anak-anaknya, Mbak Jenita. Malam ini jadwal  Mbak Jen untuk menunggui Bapak di rumah sakit. Bergantian dengan Mbak Diana." "Oke." Jenita setuju. Memang benar, semakin cepat papa sadar, maka ia akan semakin cepat kembali ke tempat di mana seharusnya ia tinggal. "Tetapi saya minta satu hal." "Tentu." "Saya tidak ingin bertemu dengan dua orang itu." Sebastian Nugraha hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tidak perlu bertanya, siapa dua orang yang dimaksud oleh Jenita.  Karena sudah pasti, mereka ialah .... Elang Bimantara dan Diana Hirawan.   Bersambung  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD