Dari luar Black Jerico mendengarkan tangisan itu, lelaki itu melihat semua kejadian yang terjadi melalui cctv dan dia tahu jika Shafir tidak bersalah. Namun, jika dia membela wanita itu keadaan akan semakin sulit. Mereka akan melihat hal yang hanya ingin mereka lihat. Bukannya kebenaran mereka berpikir jika Black Jerico memang mengganggap Shafir di istimewakan.
"Tuan," ujar kepala pelayan Suesan yang juga khawatir dengan keadaan Shafir dan berniat memeriksa keadaan wanita itu. namun, ternyata Tuan Black Jerico ada di sini.
"Maafkan, saya Tuan ...."
"Kau sudah melakukan apa yang seharusnya kau lakukan, dunia ini memang kejam, dia harus tahun itu ... Dan jika dia sudah terbiasa pada kerasnya dunia dia akan mengerti jika bukan hanya melakukan yang terbaik tapi seseorang juga harus bisa nahan rasa sakit ...." Jelas Black Jerico. "Dia harus tahu jika terkadang kebenaran tidak bisa terungkap sendiri, dia harus menunjukan pada semua orang, yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri adalah dia sendiri ... Alih-alih diam, dia harus membuat orang-orang melihat apa yang benar." Jelas Black Jerico yang kemudian pergi. Begitu juga Kepala pelayan Suesan yang juga memilih pergi setelah lelaki itu
Shafir terbangun, dai bangun lebih awal dari bisanya. Dia menuju dapur utama di sana masih sepi hanya beberapa pelayan yang lebih tua.
Shafir membaur, membantu para pelayan yang lebih tua. Mereka tidak begitu peduli dengan permasalahan yang terjadi sehingga Shafir merasa lebih nyaman. Namun, para pelayan senior tidak bekerja setiap waktu hanya di lagu hari, mereka adalah para wanita yang ahli dalam bidang masing-masing. Menata bunga, herbal, tembikar yang secara khusus datang di waktu tertentu.
Mereka semua ramah dan bersikap bersikap baik pada Shafir.
"Kau bangun lebih awal, pelayan Shafir." Ujar salah satu dari mereka.
Shafir hanya tersenyum dangan wajah cantiknya.
Para pelayan lain mulai berdatangan, mereka mulai beraktivitas. Beberapa sudah tidak terlalu memperdulikan permasalahan antara Shafir dan Shela
Lalu fokus pada pekerjaan mereka masing-masing, tapi tetap saja Shela dan teman-teman terus menerus mencoba mengusik Shafir.
Tapi Shafir berusaha menahan, dia tidak boleh terpancing, sebisa mungkin dia menghindar dari pertikaian dengan Shela. Bukan karena takut, tapi dia lebih memilih mengabiskan waktu untuk kegiatan yang lebih bermanfaat dari sekedar meladeni wanita yang licik seperti Shela.
***
Rora sarapan, ini sudah beberapa hari semenjak kejadian Gaston kembali dalam keadaan mabuk. Walau sudah berlalu, rasa kesal Rora tetap ada. Terlebih, Gaston yang terkesan mengabaikan dirinya akhir-akhir ini. Apakah sudah tidak menyukai lagi?
Rora menjadi tegangan karena pemikiran itu, hingga tidak menyadari jika Gaston sudah turun dari kamarnya dan duduk di meja makan.
"Rora, kau masih kesal?" Tanya Gaston sambil melirik wanita itu sedikit.
Rora hanya diam tidak bergeming, dia tidak menanggapi Gaston atau menatap Lelaki itu. Benar-benar mengabaikan.
Gaston menghela nafasnya, sebenarnya apa yang salah dari dirinya hingga Rora marah? Dia hanya pulang dalam keadaan mabuk, bukankah itu tidak terlalu penting?
"Jangan marah, Sayang, aku benar-benar minta maaf jika kau merasa kesal karena aku kembali dari pesta dalam keadaan mabuk, aku tidak akan mengulangi itu lagi ...." Ujar Gaston merayu. Tapi Rora masih belum bisa luluh, wanita itu hanya diam dan fokus pada makanan.
Gaston mengeluarkan sesuatu dari dompetnya, sebuah kartu berwarna hitam dan ia letakkan kartu itu di meja, dan menyodorkan untuk Rora.
"Maafkan aku, Sayang. Belanja apa yang kau mau, sepuasnya dan buat hatimu bahagia jika aku tulus bisa membuat kau bahagia." Jelas Gaston dengan nada sedih.
Rora menatap lelaki itu dai melihat raut wajah Gaston yang penuh penyesalan, terlebih godaan berbelanja yang lelaki itu tawarkan sangat menggiurkan, tapi Rora harus bersikap jual mahal, agar Gaston tidak berpikir jika dirinya mudah di taklukan.
"Kau mencoba menyogok aku?" Tanya Rora.
"Tidak, Sayang. Ini karena aku merasa bersalah sudah membuat kau bersedih, terlebih malah terlambat menenangkan dirimu karena sibuk dengan pekerjaan." Ujar Gaston sambil menggenggam tangan Rora. Wanita itu akhirnya bisa tersenyum lagi, dia memeluk Gaston dan mengecup pipi lelaki itu
Di sisi lain ...
Shafir masuk ke ruangan Kepala pelayan Suesan, dia datang untuk memenuhi panggilan wanita itu.
"Ada apa kau memanggilku?" Tanya Shafir.
Kepala pelayan Suesan meletakan sebuah amplop, Shafir menatap amplop itu dan terdiam sejenak.
"Selamat, ini gaji pertama untukmu ...." Ujar Suesan dengan senyuman tipis. Shafir masih diam, dia terlihat tidak bisa berpikir atau mungkin masih tidak menyangka jika dia menghasilkan uang sendiri.
"Kemarilah, ambil hasil jerih payahmu." Pinta Suesan. Shafir mendekat dengan perlahan-lahan, mata wanita itu berkaca-kaca karena emosional. Dia mengambil amplop itu dengan tangan gemetar dia meremas kuat lalu mengucapakan terima kasih.
Kepala pelayan Suesan dapat melihat bagaimana ekspresi Shafir bagaimana wanita itu terlihat begitu bahagia.
"Beli apa yang kau inginkan dan jangan lupa berhemat ...." Jelasnya dengan menatap ramah Shafir. Wanita itu mengangguk dia langsung berjalan keluar dengan rasa bahagia.
Shafir mengambil libur setengah hari dia berniat membeli beberapa barang atau apapun yang dia butuhkan, Suesan pun mengizinkan akhirnya dia pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kato. Sesampainya di sana Shafir melihat-lihat ke toko pakaian, selama ini dia selalu berbelanja di butik ternama, hingga akhirnya dia pun tatap melangkah ke sana.
Wanita itu memasuki toko dan melihat-lihat, dia merasa segar melihat barang bermerek yang cantik dan indah.
Tak lama kemudian seorang klien VVIP datang membuat toko riuh dengan manager toko sendiri yang menyambutnya.
"Selamat datang, Nona. Ada yang bisa kami bantu." Ucap manager toko pada Rora yang baru masuk.
"Aku ingin melihat koleksi terbaru, bawakan aku semuanya." Ujar wanita itu.
Saat itu pandangan Rora dan Shafir bertemu. Wanita itu menatap tajam Shafir yang kini menatap dirinya lalu kemudian memalingkan wajah.
"Kau!" Seru Rora membuat Shafir terhenti.
Shafir kembali berbalik menatap Rora, walau hatinya terasa sesak ia masih mencoba tenang.
"Aku?" Tanya Shafir dengan nada biasa.
"Kau, kenapa kau selalu menatap aku seperti itu? Apakah kita saling mengenal?" Tanya Rora merasa heran. Setelah ia ingat-ingat wanita itu adalah orang yang sama di dengan yang dia dan Gaston temui di swalayan.
"Maaf, aku tidak mengerti apa yang kau katakan ..." Jelas Shafir dengan senyuman tipis.
Rora melangkah menuju Shafir dia menatap wanita itu dari ujung kaki hingga kepala, seorang Deng penampilan biasa ini berani masuk ke toko mewah, tidak tahu diri!
"Kau saat di swalayan juga menatap aku seperti itu, kau ... Mengenal aku?"
"Tidak." Jawab Shafir.
Rora merasa jengah, ia menunjukkan raut wajah tidak nyaman dengan kehadiran Shafir.
"Anda terlalu cantik, membuat saya iri ..." Tanpa terduga Shafir mengatakan semua itu dengan mudah. Rora yang awalnya terlihat kesal kini merasa tersanjung.
Wajah wanita itu memerah dengan senyuman yang mengulum di bibirnya.
"Anda sangat cantik, beruntung sekali lelaki yang mendapatkan kekasih seperti anda ..." Entah apa yang Shafir rencanakan dengan memuji seseorang yang sudah mengkhianati dirinya.
"Apa yang kau inginkan? Uang? Pakaian? Kau memujiku seperti itu pasti ada maksudnya, bukan." Rora mencoba mencari tahu apa yang sedang Shafir rencanakan. Namum, Shafir malah tersenyum lebar dengan wajah manis.
"Aku tidak ingin apapun, saya memuji dengan tulus dari hati yang terdalam.* Jelas Shafir dengan nada Manis.
Rora yang percaya, kini mulai luluh dalam sikap ramah Shafir.
"Semau wanita pasti ingin mejadi sepertimu, tapi tidak semua wanita bisa menjadi sepertimu ..."
"Kau benar, aku ini limited edition,"
"Wanita setidak tahu malu dirimu menang langka ...." Batin Shafir. Namun, wajah wanita itu nampak ramah.
"Kalau begitu saya permisi dulu, barang di sini tidak cocok untuk saya ..." Ujar Shafir.
"Tunggu, ambilah yang kau suka ... Aku akan membayarnya untukmu."
"Tidak, perlu. Lagi pula kita pertama kali bertemu."
"Tidak masalah, anggap saja ini hadiah atau berkah?" Ujar Rora sombong.
"Baiklah, aku akan menganggap ini kebaikan yang tidak akan pernah aku lupakan." Ujar Shafir. Wanita itu memilih sebuah tas bermerek, modelnya cantik dan desain elegan. Rora kagum dengan seleranya fashion Shafir yang ternyata lumayan juga.
"Pilihan yang bagus," guman Rora.
"Ini bukan aku pilih untukku, mana cocok aku mengunakan tas sebagus itu, aku pilih ini untukmu, kau pasti akan terlihat sangat dengan ini. Cocok untuk dirimu yang anggun dan elegan." Ucap Shafir yang kali ini benar-benar berhasil mengambil hati Rora. Wanita itu langsung tersenyum bangga dia mengambil tas itu dari tangan Shafir dan langsung membelinya.
Mereka berbelanja bersama, Shafir pun di hadiahi beberapa tas dan pakaian.
"Terima kasih sudah membayar belanjaanku." Shafir sedikit membungkuk memberikan kesan jika dia begitu senang dengan pemberian Rora.
"Bukan masalah besar, kau juga sudah membantu aku memilihkan beberapa barang, jarang aku menemukan seseorang yang selera fashion cocok denganku ..." Jelas Rora.
"Kalau boleh aku tahu siapa namamu?"
"Sha- ... Namaku Ruby."
"Ruby? Nama yang unik, senang bertemu denganmu, Ruby. Kapan-kapan bisakah temani aku berbelanja? Kau bisa jadi asisten fashionku." Tawar Rora. Shafir sedikit berpikir, ia tersenyum lalu mengiyakan kesempatan itu.
"Baiklah,"
"Beri aku nomer ponselmu, aku akan hubungi kau jika perlu ...." Ujar Rora.
Ponsel?
Dia bahkan tidak memiliki benda itu.
Shafir cukup lama terdiam sebelum akhirnya ia mengatakan jika dirinya tidak memiliki ponsel.
Rora tercengang, jaman seperti ini ada yang hidup tanpa ponsel itu benar-benar di luar dugaan. Rora menarik Shafir menuju salah satu tempat yang menjual berbagai jenis smartphone. Rora mengambil satu model baru dan memberikannya kepada Shafir.
"Ini hadiah, Aku tidak memiliki banyak kenalan atau teman, jadi anggap saja ini tanda jika kau sudah menjadi temanku ..." Ujar Rora dengan tulus, wanita yang mengkhianati majikannya, ternyata begitu polos dan naif.
***
Shafir membuka pintu kamarnya, dia melemparkan belanjaan yang ia dapat dari Rora secara asal. Wanita itu lalu membaringkan dirinya sambil menatap langit-langit dia memikirkan apa yang harus dia lakukan, apa yang pantas agar dua orang itu merasakan penderita.
Hati Shafir berselimut dendam. Namun, dia juga tidak ingin dendam membuat dia buta dan rencananya jadi berantakan.
Seperti yang Black Jerico katakan, ia harus menyusun dengan rapi, ia harus membuat mereka semua menderita badan tersiksa.
Keesokan harinya ...
Black Jerico sedang duduk di kursi santai yang ada di taman, hari ini adalah akhirnya pekan di mana lelaki itu bisa bersantai sejenak.
Shafir datang dengan secangkir teh herbal, ia meletakan teh itu di meja lalu mencoba berlalu begitu saja.
"Sepatu edisi terbatas musim semi ... Bagaimana bisa kau mendapatkanya?"
"Aku bekerja, kau menggajiku, bukan?" Jawab Shafir.
"Itu bukan benda yang bisa kau beli dengan uang gajiku, bahkan gaji kepala pelayan Suesan sekalipun ...." Lelaki itu membenarkan posisinya dengan tujuan agar dapat melihat wanita ini lebih jelas.
Melihat tatapan penasaran Black Jerico akhirnya Shafir mengakui dari mana dia mendapatkan benda bermerk ini, dai menceritakan semuanya dan lelaki itu mendengarkan segalanya dengan seksama.
"Mereka membeli semua ini dengan uangku, bukan? Uang yang mereka curi dariku ... Jadi aku tidak mendapatkan dari mereka melainkan uangku sendiri." Jelas Shafir. Black Jerico tertawa kecil, ada benarnya juga ucapan wanita itu.
"Baiklah, kau bisa lakukan apapun, aku hanya akan membantumu ...." Jelas Black Jerico. Namun, ada pertanyaan yang masih mengganjal di hati Shafir. Yaitu, mengapa lelaki ini mau menghabiskan banyak uang dan waktu untuk membantunya membalas dendam.
"Kenapa kau membantuku? Jawab aku karena sebelum kau jawab dengan bersungguh-sungguh, maka aku tidak akan bisa tenang!" Tanya Shafir.
"Sudah aku katakan, aku hanya membantu tanpa alasan, hanya karena ingin saja ... Bukan untuk alasan lain ataupun sesuatu ... Aku hanya sedang mengikuti kata hatiku!" Tegas Black Jerico.
Shafir masih belum puas dengan jawaban lelaki itu, tapi dia juga tidak bisa terus-terusan bertanya.
"Pergilah, lanjutkan perkejaanmu ..." Perintah Black Jerico. Shafir pun pergi meninggalkan Lelaki itu.
Raut wajah Black Jerico sedikit berubah, dia menatap punggung yang berjalan menjauhi dirinya itu dengan tatapan dalam dan berbeda.
Sesuatu yang hanya Black Jerico simpan sejak lama, perasaan yang ia rasakan untuk wanita itu dalam waktu yang lama.
Felix datang dia melihat ke arah pandang majikannya lalu menghela nafasnya.
"Tuan Black Jerico, saya sudah lakukan apa yang anda perintahkan ...." ujarnya. Black Jerico langsung memutuskan pandangan dari Shafir dia bersikap seolah-olah tidak ada apapun.
"Baguslah," jawab lelaki itu singkat.
Felix masih berdiri di sana tidak pergi atau mengatakan apapun, Hanya menatap Black Jerico dalam diam.
"Kenapa menata aku seperti itu? ingin mengatakan sesuatu?" tanya Black Jerico
"Kenapa anda tidak mengatakan saja semuanya pada Nona Shafir?" Black Jerico melirik Felix tajam hingga Lelaki itu hanya dapat menunduk tidak berani.
"Apa?"
"Perasaan anda yang sebenarnya ...."
"Kau pikir itu mudah? kau pikir dia akan bisa menerima semuanya? jika aku katakan dia mungkin akan menjauh ..." jelas Black Jerico.
"Tidak semudah itu, Felix. Entah bagiku atau baginya, ini tidak akan mudah." sambung lelaki itu memperjelas.