Bab 28 Membagi Cerita pada Siapa?

1229 Words
Waktu terasa begitu cepat, kini aku tengah sibuk menyusun skripsi. Aku ada janji dengan salah satu dosen pembimbingku, Pak Khalid, untuk bertemu di ruangannya. Namun aku mendapat telepon bahwa mendadak beliau ada urusan yang tidak bisa ditinggal, dan akan digantikan dengan asistennya untuk hari ini. Karena skripsiku juga masih tahap awal, aku pun tidak keberatan. Aku duduk di kursi yang tersedia di depan ruangan. Tiba-tiba ada laki-laki seumuran Rivan, mungkin dia asisten dosen pembimbingku. "Sudah menunggu lama? Saya Azfer." sapanya. "Belum, Pak." Aku jawab seraya tersenyum. Aku dan Azfer memasuki ruangan. Aku mulai menyerahkan map yang aku bawa pada Azfer. Dia terus saja menatapku tanpa menyentuh map yang aku berikan. "Pak ... silahkan di cek," tegurku. "Oh, ya." Setelah ditegur, Azfer segera membuka map yang aku bawa. Aku risih berduaan dengannya di ruangan ini. Apalagi tadi ia menatapku dari atas sampai bawah. "Sudah bagus. Sepertinya tidak butuh revisi apa-apa untuk bab awal. Pak Khalid pasti menyetujuinya juga." Azfer menutup mapnya. Bimbingan macam apa sesingkat ini? Azfer kembali menatapku. "Apa kamu ingin aku bantu?" Pertanyaan Azfer membuat dahiku berkerut. "Ti-tidak, Pak," tolakku. "Benar tidak mau?" Dia malah berdiri kan mengitari meja, kemudian berdiri di belakangku. "Aku akan membantumu menyelesaikan skripsimu ... untuk bayarannya kamu bisa berikan tubuhmu padaku," bisik Azfer di telingaku. Habis sudah kesabaranku. Aku segera bangkit dan menamparnya. Tidak peduli dia asisten dosen atau apapun. Dia sudah kurang ajar padaku. Aku berada di posisi yang benar. "Jangan kurang ajar, Pak!" Azfer memegangi pipinya yang aku tampar. Dia malah tersenyum menyeringai. "Jangan sok jual mahal, Falisha. Aku tahu kamu tinggal sendiri dan tidak memiliki siapapun." Entah darimana Azfer tahu tentangku. "Saya memang sebatang kara. Tapi saya tidak serendah dan semurah itu. Asal Bapak tahu, saya cukup cerdas untuk menyelesaikan skripsi ini sendiri. Bukan maksud saya menyombongkan diri, saya juga mendapatkan beasiswa berkat kecerdasan saya. Jadi saya tidak perlu menjual diri pada Bapak! Permisi." Aku segera meraih mapku di atas meja dan berjalan ke luar. Entah kekuatan dari mana aku dapat berbicara sesombong itu. Sesampainya di luar dan menutup pintu, aku merasa kakiku lemas hingga ingin terjatuh. Untung ada Rivan yang dengan cepat menangkapku. "Kamu kenapa, Falisha?" Rivan menuntunku untuk duduk. Aku menengok ke arah pintu, semoga Azfer tidak keluar dan mengejarku. "Ada apa di dalam sana?" tanya Rivan lagi. Aku meraup wajahku kasar, rasanya ingin menangis tapi tidak bisa. Aku ingin marah, namun tidak tahu menumpahkan pada siapa. "Apa yang terjadi, Falisha?" Pertanyaan Rivan ketiga kalinya, karena satu pun belum ada yang aku jawab. "Saya baik-baik saja, Pak." Aku menggeser posisi dudukku. Aku harus bisa menjaga jarak dengan Rivan, dia kini seorang suami sekaligus ayah dengan anak satu. Aku tidak mau ada orang lain melihat dan malah membuat gosip karena kami duduk sedekat ini. "Jika kamu punya masalah, kamu bisa ceritakan padaku." Aku menggeleng. "Terima kasih. Saya tidak apa-apa, Pak. Permisi." Aku menunduk sopan dan berjalan pergi. Dengan perasaan yang masih syok, aku bertemu Aliyah dan Safiyah. Mereka mengajakku ke kantin. Sesampainya di kantin aku hanya memesan minuman, itu pun hanya aku mainkan sedotannya, bukan segera di minum. "Kamu kenapa, Fal? Sakit?" tanya Aliyah seraya memegang keningku. "Kalau ada masalah, ceritakan pada kami." Safiyah menimpali. Aku menutup kedua wajahku. Rasanya menyesakkan untuk disimpan, namun memalukan untuk diceritakan. Dulu Pak Bagas, sekarang Azfer, mereka berdua laki-laki b******k bagiku. Bisa- bisanya mereka merendahkan aku seperti itu. Atau jangan-jangan bukan aku hanya yang mereka rendahkan. Bukannya menjunjung tinggi martabat wanita, mereka malah menganggapnya seolah tidak berharga. Aliyah dan Safiyah saling melempar pandangan, karena tiba-tiba aku malah menangis. Tentu mereka berdua kebingungan. Safiyah yang duduk di sebelahku kemudian merangkulku, dan Aliyah menenangkanku. "Menangislah dulu sampai kamu merasa lebih baik. Jika kamu tidak mau menceritakannya, tidak apa-apa." Setelah puas menangis, aku membuka kedua telapak tangan yang sedari tadi menutupi wajahku. Aku menarik napas berkali-kali sampai merasa tenang dan bisa bercerita dengan tidak tergugu. "A-aku ... apa aku kelihatan rendah di mata kalian? Apa menjadi gadis sebatang kara adalah suatu kesalahan?" "Tentu saja, tidak!" sahut Aliyah cepat. "Bahkan bagi kami kamu gadis yang kuat. Kami salut padamu, Fal. Jika kami jadi dirimu, mungkin kami akan menyerah pada hidup kami. Iya kan, Saf?" Safiyah menyetujui ucapan Aliyah. "Iya, Fal. Hidup sendiri tidaklah mudah, dan kamu bisa. Berarti kamu perempuan yang hebat." "Tapi kenapa mereka merendahkan gadis sebatang kara seperti aku?" tanya lirih. "Mereka? Mereka siapa?" Safiyah tidak mengerti. "Katakan padaku! Akan ku beri pelajaran." Aliyah sudah siap berdiri. Aku memang tidak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku pada Aliyah dan Safiyah, apalagi pada temanku yang lain. Bagaimana bapak dan bibiku menjual rumah Nenek Ana. Bagaimana Pak Bagas hendak melecehkan aku. Dan kini Afrez yang bersikap kurang ajar. Aku simpan semuanya sendiri. Membagi cerita seperti itu membuatku malu, walaupun posisiku sebagai korban, walaupun aku di posisi yang benar. Aku tidak mau menceritakannya pada siapapun. "Terima kasih karena kalian tetap mau berteman denganku." Aku menatap Aliyah dan Safiyah bergantian. Si Kembar itu memang pengertian, mereka tidak pernah memaksa aku untuk menceritakan sesuatu. Mereka memahami perasaanku. "Bagaimana jika kita jalan-jalan?" usul Aliyah. "Kemana?" "Alun-alun bagaimana? Kita berfoto disana. Sepertinya selama kuliah kita tidak pernah punya foto bersama." Aku pun mengangguk setuju. Aku harus memberikan kenangan yang baik untuk Aliyah dan Safiyah. Sebelum kami lulus dan mengejar cita-cita kami masing-masing. Mungkin jika saat itu telah tiba, kami akan sulit bertemu, atau mungkin tidak akan bertemu lagi. Tentunya aku berharap bisa bertemu lagi dengan Aliyah dan Safiyah. Semoga kami dipertemukan dengan keadaanku yang lebih baik dan tak lagi direndahkan orang. Jarak dari Fakulas Bisnis UPI menuju Alun-Alun Bandung memakan waktu 40 menit. Aku benar-benar senang bisa pergi kemari bersama Aliyah dan Safiyah. Kami duduk di hamparan rumput sintetis yang begitu luas. Aku baru kemari di umurku 22 tahun. Di belakang kami terdapat Masjid Agung Bandung. Aku, Aliyah, dan Safiyah berkali-kali mengambil gambar bergantian. Kami pun akhirnya meminta salah satu pengunjung untuk memfoto kami bertiga. "Kamu terhibur, Falisha?" "Ya. Terima kasih! Kalian memang teman terbaikku." Aku merangkul Aliyah dan Safiyah. "Tidak terasa kebersamaan kita tinggal menghitung bulan." "Iya ... setelah lulus nanti apa kita masih bisa bertemu?" "Kerjakan saja dulu skripsimu! Aku dan Falisha sudah bimbingan. Kamu judul saja belum ACC." Safiyah menasihati adiknya, Aliyah. Yang dinasehati mengerucutkan bibirnya. "Bantuin dong! Biar sidang dan wisuda bersama-sama." "Enak saja. Jangan mau, Fal!" "Tenang-tenang. Aku tidak sejahat Safiyah. Aku akan membantumu, Al." Giliran Safiyah yang mengerucutkan bibirnya, sedangkan Aliyah tertawa senang. Aku dan Safiyah berlari, sedangkan Safiyah mengerjai kami berdua. Kami berkejar-kejaran layaknya anak kecil. Setelah lelah berlarian, kami berjalan-jalan di sekitar alun-alun, melihat-melihat banyak sekali pedagang yang berjualan disini. Ada makanan, ada pakaian, dan pernak-pernik lainnya. Aliyah dan Safiyah membelikanku sebuah gelang. Gelang ini untuk kami bertiga, coraknya sama hanya berbeda warna. Mereka menyebutnya simbol persahabatan. "Awas ya! Jangan sampai hilang." Aliyah memperingatkanku dan Safiyah. "Siap, bos!" Aku dan Safiyah kompak menyanggupi. Terdengar adzan duhur, kami pun memutuskan untuk salat di Masjid Agung Bandung, mumpung dekat disini. Rasanya aku tidak ingin hari ini berakhir. Aku bisa melepaskan semua bebanku jika sedang bersama Si Kembar ini. Karena Lili dan Ardan jauh. Tapi aku juga merasa bersalah karena tidak bisa menceritakan semua hal yang terjadi padaku pada mereka. Mungkin tidak saat ini, entah kapan aku dapat membagi kisahku pada orang lain. Pada orang yang benar-benar aku percaya, pada orang yang benar-benar aku nyaman untuk membagi ceritaku. Ada satu orang ... yaitu Nenek Ana. Namun kini, Nenek Ana sudah tak ada lagi untuk mendengarkan segala ceritaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD