Salah satu hal yang masih di syukuri Raya setelah pindah ke sekolah barunya, adalah ia masih di berikan akses bebas untuk keluar masuk rumah Pamannya. Walau tidak di umumkan secara tersirat bahwa Raya merupakan keluarga Kemal, setidaknya para guru dan staf sekolah tau akan hal itu, sehingga membiarkan gadis itu bisa keluar masuk tower khusus guru.
Seperti malam ini, setelah pasca gorilla atau babon masuk ke dalam kamarnya, Raya jadi terlambat keluar kamar untuk makan malam karna sibuk memikirkan jampi apa yang ia gunakan. Dan mau tidak mau, Raya terpaksa ngungsi makan ke rumah Pamannya.
“Om, menurut om, apasih yang salah sama wajah aku?” tanya Raya. Gadis itu sedang memperhatikan dirinya lewat cermin full body yang berada di rumah Kemal.
Kemal, laki-laki itu sedang memasak sesuatu sambil menggerutu. Ia kesal lantaran keponakannya yang datang pada saat di jam waktunya istirahat. Dan datangnya bukan sekedar mau main, melainkan minta makan.
Jika Kemal tidak ingin ‘diapa-apain’ oleh Bapak gadis itu, alias Afka, maka mau tidak mau, ia harus memasakkan sesuatu untuk Raya.
“Enggak ada Raya. Memang kenapa sih? Perasaan begitu datang kesini, langsung berkaca” ucap Kemal.
“Nih, makan dulu!” Kemal menaruh dua piring nasi goreng yang baru saja ia masak ke atas meja yang berada di ruang santai.
“Soalnya om, beberapa kali ketemu orang baru, mereka kesal lihat muka aku. Sudah gitu, tindakan pembullyan lah selanjutnya yang terjadi, karna muka aku ngesilin katanya” adunya, sambil mengambil posisi bersilah kaki.
Kemal menganggukan kepalanya mengerti. Laki-laki 36 tahun itu lebih berkonsentrasi dengan makanan dan movie yang berada di TV, walau sekali-kali dirinya mengangguk, untuk membalas ucapan keponakannya itu.
“Apa aku operasi plastik aja kali ya?” Raya berguman sendiri.
Mendengar itu, Kemal membelalakan matanya. Tidak percaya dengan ucapan gadis itu. Walau nyeselin, Raya tetap jadi keponakannya yang paling cantik. Mana iklas dia, ponakannya yang satu ini menghilangkan ciri khas wajah dari keluarga mereka.
“Ha? Operasi plastik? Memang punya uang?” tanya Kemal.
Raya mengangguk. “Ada. Kan warisan dari Opa” jawabnya santai.
“Woy, Opa mu aja belum meninggal. Kok sudah bahas warisan aja” timpal Kemal.
Raya menganggukan kepalanya, “Iya ya om. Suruh cepat dong om!” ucap Raya.
“Suruh cepat apa?” Kemal mendelik kesal.
“Apalagi kalau enggak mati” jawab gadis itu santai.
“b*****t!!!” Kemal menghentakan sendoknya ke atas meja dengan marah.
Raya terbahak-bahak melihat respon dari Pamannya.
“Anak siapa sih elu? Perasaan mak Bapak mu enggak begini amat bengalnya”
Raya mengangkat kedua bahunya acuh. “Entah ya, aku juga bingung aku anak siapa” ucap Raya sambil terkekeh.
Kemal kembali menggelengkan kepalanya. Ia sakit kepala jika harus berurusan dengan ponakannya yang satu ini. Sangat berbeda dengan kembarannya, Raga, yang terlihat kalem dan pintar itu. Tidak seperti Raya, yang selalu menjadi biangkerok masalah.
^^^
Taman hijau, yang menjadi saksi bisu Raya, disiksa pertama kali, benar-benar memamerkan pemandangan yang indah. Seumur hidupnya, baru ini Raya tahu kondisi sekolah yang di buat Opanya, untuk om-nya, Kemal.
Raya menghela nafas berat, untuk kesekian kalinya hari ini. Matanya memandang jauh, ke arah beton tinggi sebagai pembatas sekolah dengan hutan.
Mungkin, jika Mamanya yang berada di sini, pasti akan senang. Mamanya suka dengan hutan, dan binatang yang paling ia sukai adalah ular. Buaya yang di pelihara Opanya di rumah, juga merupakan hasil dari permintaan absurd Mamanya.
Tapi tidak dengan Raya. Sekolah di sini, bukannya membuat ia semakin pintar. Yang ada dirinya yang jadi korban bully, walau itu semua hasil karna keinginan gilanya.
Depresi iya, pintar kagak. Belum lagi kadar stressnya di tambah dengan tingkah Bima.
Si gorila besar itulah yang membawa Raya ke taman hijau. Masalahnya, laki-laki itu sedari tadi hanya menoel-noel pipi Raya. Bima bahkan tidak mengucapkan apa-apa.
Apa salahnya sih, Raya sekalian di traktir makan juga, karna berhubung ini jam makan siang.
Raya, gadis itu masih belum berani beranjak. Antara takut dan gugup. Bukan apa-apa, salah satu tangan Bima sedari tadi memegang salah satu lengannya. Sedangkan tangan yang lain, menoel-noel pipinya. Bisa-bisa, gerak sedikit, Bima bisa mematahkan lengan tangannya.
Raya jadi bingung sendiri. Apa sebenarnya maksud dari laki-laki ini.
Kembali menghembuskan nafasnya, Raya menyentak tangan Bima dari lengannya. Ditatapnya cowok itu dengan tajam, walau dalam hati ia ketakutan minta ampun.
“Mau lo apasih ngajak gue kesini?” Raya bangun dari duduknya.
Bima bungkam. Ia masih setia meneliti penampilan gadis itu, dan sesekali menggelengkan kepalanya tidak percaya.
“Gue masih enggak ngerti. Kenapa pelet lo bisa ampuh begini sama gue?” tanyanya tidak nyambung.
Frustasi, Raya menarik rambutnya.
“Denger ya, gue enggak ada pakai pellet apapun. Kalau lo enggak suka sama wajah gue, sini duit lo, biar gue operasi plastik, biar kayak Lisa Blackpink” kesal Raya.
Bima menggeleng. Dengan wajah polosnya, laki-laki itu menjawab, “Gue enggak suka Lisa” ucapnya, menatap dalam mata Raya.
Huft,,,
Menghembuskan nafasnya kuat untuk keberapa kali, kini Raya sudah tampak seperti banteng. Kenapa seakan karma itu berbalik ke arahnya. Dulu ia yang selalu membuat orang kesal. Sekarang, dirinya yang kesal tujuh turunan karna Bima. Entahlah, Raya pengen lari dan manjat itu dinding beton. Sepertinya ia sudah kena Azab akibat dari semua perbuatannya yang lalu.
Pasrah, gadis itu membalikkan tubuhnya, hendak pergi meninggalkan Bima. Namun urung, saat tangannya di tarik kembali, hingga membuatnya kini kembali duduk. Bedanya, ia kini duduk di atas pangkuan Bima.
“Apaan sih. Lepas!” kesal Raya, hendak kembali berdiri.
Melihat itu, bukannya melepas, Bima malah memeluk Raya dari belakang dengan lengan besarnya itu, membuat gadis itu semakin terhimpit di tubuh besar Bima.
“Mau kemana sih?” Bima berbisik di telinga Raya.
Gugup, Raya kembali bergerak, berusaha untuk bangun.
“Jangan bergerak” Bima berdesis, membuat Raya terdiam.
“Aku lapar” jujur Raya.
Dari belakang tubuhnya, Raya bisa merasakan hembusan nafas Bima tepat di belakang tengkuknya, membuatnya semakin merinding.
“Kenapa enggak bilang dari tadi, hmm?” bisiknya.
“Takut” jawabnya jujur.
“Kita makan di kamar aku” ajak Bima, lebih ke perintah.
“Ja—angan. Aku masih ada kelas” cicit Raya.
“Gue enggak terima bantahan” pungkas Bima telak, membuat Raya mau tidak mau harus mengikuti kata pria itu.
Masuk kandang Gorila ini namanya.