[Naik ke ruang kerjaku, Kamalia.] Sebuah pesan masuk dari Devin.
Kamalia yang duduk di kursi kamar segera berdiri. Setelah mengikat rambut asal-asalan dia keluar kamar.
Diketuknya pintu kamar yang tertutup.
"Masuk." Suara Devin dari dalam.
"Bereskan semua kertas-kertas ini. Masukkan ke folder sesuai jenis file. Tidak perlu kuajari tentu kamu sudah tahu," kata Devin yang sudah berpakaian rapi di belakang meja kerjanya. Harum parfum mahal mengejek penciuman Kamalia.
"Ya."
"Bereskan secepat yang kamu bisa."
Kamalia mengangguk.
"Makan malam dulu kalau belum makan. Aku tidak mau mendengar pekerjaku sakit dan bikin repot." Setelah berkata demikian Devin melangkah keluar, tapi berhenti di ambang pintu.
"Di kotak P3K tersedia vitamin yang bisa kamu konsumsi setiap hari. Tanyakan itu pada Sumi atau Mbok Darmi."
Sekali lagi Kamalia mengangguk. Setelah Devin menghilang ia segera bekerja. Membaca dan memilah kertas-kertas yang menumpuk di atas meja. Entah kapan pekerjaan itu selesai. Terlalu banyak yang harus dikerjakan.
Kamalia seketika berhenti saat mendengar jeritan dari bawah. Teriak kesakitan seorang perempuan. Sepertinya dari arah paviliun. Kamalia mengintip dari gorden yang sedikit disingkap. Teriakan histeris kembali berulang.
Rasa penasaran membawa Kamalia turun ke bawah, menemui Sumi yang sedang menyiapkan menu makan malam di nampan.
"Ada yang teriak-teriak dari paviliun," bisik Kamalia pada Sumi.
Gadis itu mengangguk.
"Dia sakit apa?"
"Aku antar makan malam ini dulu. Baru nanti kuceritakan."
Sumi mengangkat nampan kayu yang penuh makanan. Ada sup iga, nasi putih, perkedel kentang, dan tempe goreng.
"Perlu kubantu!" tawar Kamalia.
"Tidak usah. Tunggu saja di sini."
Kamalia duduk di kursi ruang makan. Suasana hening, teriakan itu sudah tidak lagi terdengar.
Sumi kembali sambil membawa nampan yang berisi mangkuk dan piring kosong. Mungkin itu bekas makan tadi siang.
"Mbok Darmi ke mana?" tanya Kamalia setelah Sumi meletakkan bekas kotor di dapur belakang.
"Mbok Darmi kalau malam tidak tidur di sini. Tapi di paviliun itu sama Pak Karyo, suaminya. Kamu sudah lihat kan satpam yang jaga di depan."
"Ya."
"Itu suami Mbok Darmi."
Kamalia mengangguk paham.
"Terus siapa wanita di paviliun itu?"
"Mau dengar ceritanya sekarang apa besok? Bukannya kamu ada pekerjaan dari Tuan?"
"Iya, nggak tahu kapan kelar. Banyak banget kertas yang harus ku pilah-pilah."
"Ayolah, kutemani sebentar. Sebelum Tuan datang. Tapi aku nggak bisa membantumu, takut salah. Sekolah saja aku nggak tamat."
"Berhenti di kelas berapa?" tanya Kamalia sambil beriringan dengan Sumi naik ke lantai dua.
"Kelas dua SMP. Orangtuaku tidak sanggup lagi membiayai. Padahal pengen banget aku jadi guru TK, Lia."
Kamalia prihatin. Tebersit syukur dalam hati. Bagaimanapun keadaannya, pontang-panting berjuang untuk mendapatkan beasiswa, dia bisa menyelesaikan kuliah. Ternyata Sumi tidak seberuntung dirinya. Walaupun mungkin, gadis berkulit sawo matang itu lebih bahagia karena memiliki keluarga lengkap meski dalam ekonomi yang kekurangan.
Sumi berdiri di sebelah Kamalia yang sibuk menata berkas.
"Sebelum ada aku, siapa yang membersihkan kamar Tuan?" tanya Kamalia.
"Aku yang ngerjain. Tapi hanya bersih-bersih saja. Aku sama sekali nggak berani menyentuh meja kerja, kertas-kertas, dan laptop milik Tuan."
"Sudah lama ya kamu kerja disini?"
"Sejak putus sekolah itu hingga sekarang."
"Sudah lama, ya."
"Hu um."
"Terus siapa wanita di paviliun itu?"
Sumi menggeser tubuhnya mendekati Kamalia.
"Namanya Mbak Mita. Kakaknya Tuan."
"Apa dia depresi atau ... gila?"
"Kurang lebih seperti itu. Dulunya dia juga ikut mengurus perkebunan ini bersama suaminya. Setelah kecelakaan dan sempat lumpuh setengah tahun, dokter mengatakan kalau dia nggak akan bisa hamil. Suatu hari, Mbak Mita memergoki suaminya selingkuh. Dengan mata kepala sendiri, Mbak Mita melihat suami dan salah satu asisten di perkebunan sedang melakukan hubungan terlarang di sebuah kamar dekat gudang sana. Mbak Mita kalap dan mengamuk, menghantam suaminya dengan martil sebesar genggaman tangan. Namun justru mengenai selingkuhannya. Wanita itu dilarikan ke rumah sakit karena bahunya retak kena lemparan martil."
"Terus ...."
"Seminggu setelahnya, suami Mbak Mita melayangkan gugatan cerai. Kalau nggak mau diceraikan, laki-laki itu akan melaporkan Mbak Mita ke kantor polisi atas kasus penganiayaan."
"Bukankah bisa dilaporkan balik dengan kasus perzinaan. Laki-laki itu juga terbukti selingkuh."
"Iya, tapi Bu Rahma nggak mau kasusnya bertele-tele. Beliau memaksa Mbak Mita untuk menyetujui bercerai. Lagian buat apa bertahan dengan suami pengkhianat. Selingkuhannya juga sudah hamil dua bulan. Namun keguguran karena peristiwa itu. Pas peristiwa itu pun Tuan Devin nggak di Indonesia. Masih di luar negeri untuk menyelesaikan S2-nya."
"Berarti nama Mamanya Tuan Bu Rahma, ya?"
Sumi mengangguk.
"Kapan-kapan kalau beliau datang kasih tahu aku, ya. Tuan bilang aku tidak boleh menampakkan diri di depannya."
"Ya, beliau sering ke sini. Seminggu dua kali untuk menyambangi Mbak Mita dan lihat kondisi perkebunan."
"Beliau tingga di mana? Kenapa tidak tinggal di sini."
"Bu Rahma masih bekerja sebagai dosen. Tinggal di rumah pusat kota bersama adik laki-laki Tuan yang masih kuliah."
"O, kira-kira kapan beliau datang?"
"Akhir pekan nanti. Sebab kemarin beliau baru dari sini."
"Aku heran, kenapa Mamanya tidak boleh melihatku. Padahal aku juga pekerja di sini."
"Ibu sering memaksa Tuan untuk segera menikah. Mungkin Tuan takut kalau Ibunya salah paham dengan melihat kehadiranmu di sini. Kamu cantik, Kamalia."
Gadis berhidung mancung itu memandang Sumi sambil tersenyum tipis. Dia tidak pernah merasa tersanjung dengan pujian yang sama.
Sekarang Kamalia tahu alasannya, kenapa Devin ngotot agar kakaknya yang datang ke villa ini. Rupanya jika sang Mama salah paham bisa langsung menikahkan mereka.
Kamalia terus menyusun file sambil mendengarkan cerita Sumi. Padahal mereka baru bertemu tadi siang, tapi sudah bisa seakrab ini. Mereka sama-sama butuh teman.
"Kenapa Mbak Mita tidak dirawat saja di rumah sakit jiwa."
"Ibu dan Tuan yang tidak tega. Makanya mereka mempekerjakan empat orang suster yang bekerja secara shift untuk menjaga Mbak Mita. Juga seorang dokter yang visit seminggu dua sampai tiga kali."