Gelang

3547 Words
Good reading :* :* "Menurut gue Om Ari tuh bener, Ki." Agnes berucap sambil memeriksa teralis besi yang baru dipasang Om Ari di jendela kamar Kiara. "Kalo dipasangin teralis kayak gini kan jadi aman. Secara kamar lo kan menghadap ke jalan, jadi kalo dibiarin jendela gitu aja, orang jahat gampang banget masuk lewat jendela. Kan serem." "Iya, untung tadi Om Ari bawa tukang buat pasang teralis." Kiara menyahut, membenarkan ucapan Agnes. "Dan kamar lo juga jadi bagus, Ki. Nggak nyangka bisa kayak kamar Jun Di di BBF, kecil tapi unik gitu." Rasti ikut menyahut sambil tertawa kecil. "Bener, Ras. Apa lagi temboknya itu dipakein kertas dinding yang desainnya imut gitu. Gue jadi pengen nginep di sini terus deh," sahut Agnes. Kiara tertawa, "Ya udah Agnes sama Rasti nginep di sini aja malam ini. Kasurnya juga nggak kecil kayak di kontrakan Kia yang dulu kok." "Yaah, tapi gue abis ini mau pergi sama abang gue." Agnes berucap dengan ekspresi menyesal. Gadis itu kemudian duduk di tepi ranjang Kiara yang kasurnya sudah dipasang kembali. "Gue juga nggak bisa nginep sekarang. Bokap gue lagi ada tugas, jadi nyokap gue nggak ada temen di rumah," ucap Rasti sambil mengikuti Agnes. Bedanya, teman Kiara yang satu ini duduk di tengah ranjang sambil memeluk boneka lumba-lumba milik Kiara. "Ya udah deh lain kali aja," ucap Kiara yang duduk di kursi depan meja belajar sambil menatap kedua sahabatnya itu. Om Ari memang membelikan meja dan kursi untuk belajar Kiara, agar Kiara lebih nyaman untuk belajar. Sebenarnya sudah dari dulu Om Ari berniat membelikannya, tapi baru terealisasi sekarang karena kontrakan yang dulu terlalu sempit untuk meletakkan meja dan kursi. Agnes menatap Kiara sebentar kemudian berucap dengan setengah berbisik, "Ki, lo nggak nyaman ya ada Bang Panji di sini?" Kiara terkesiap mendengar nama Akbar disebut Agnes. "Maksud Agnes? Kia nggak ngerti," tanya Kiara, memasang ekspresi senormal mungkin. "Habisnya seharian ini gue liat lo kayak ngehindar gitu kalo kebetulan ada di dekat Bang Panji. Misalnya tadi pas Bang Panji bantu lo pasang gantungan di dapur, lo malah minta gue gantiin lo nungguin Bang Panji. Terus pas Bang Panji nyari paku, lo malah kasih paku itu ke Dio biar Dio yang ngasih ke Bang Panji. Lo aneh, Ki. Seolah-olah lo sama Bang Panji itu musuh lama yang baru ketemu lagi." Kiara tertegun, tak menyangka bahwa Agnes memperhatikan sikapnya seharian ini. Agnes memang benar bahwa seharian ini Kiara berusaha sebisa mungkin agar tidak berada satu ruangan dengan Akbar, karena Kiara merasa tidak nyaman. Meskipun keduanya sekarang sama sekali tidak saling bicara layaknya orang asing, tapi Kiara tetap merasa canggung. Kiara sendiri tidak tahu apa yang dipikirkan Akbar tentangnya, sehingga Kiara menjadi gelisah. Terlebih lagi, sebagian besar dalam dirinya seolah menyuruh Kiara untuk menganggap Akbar orang asing. "Kia biasa aja kok dari tadi. Cuma perasaan Agnes aja kali," sahut Kiara. Agnes membenarkan posisi duduknya, "Enggak, Ki. Bener, deh. Bukan cuma lo aja, tapi Bang Panji juga. Gue kok ngerasanya Bang Panji itu selalu curi-curi pandang gitu sama lo. Tapi Bang Panji juga cuek. Bahkan kalo gue ada di dekat kalian berdua tuh rasanya ada yang aneh aja. Kayak situasinya nggak enak gitu." Kiara pura-pura tertawa, "Agnes ada-ada aja, deh. Mana ada yang kayak gitu? Kia biasa aja kok." "Iya, Nes. Mungkin cuma perasaan lo aja. Lagian kan Kia emang gitu, suka pendiem gimana gitu kalo sama orang yang baru kenal. Apalagi sama tipe orang yang cuek kayak Kak Panji gitu," sahut Rasti. Agnes tampak masih berpikir, namun akhirnya mengangguk pelan. "Iya, mungkin gue aja yang terlalu berlebihan." Kiara diam-diam mendesah lega karena Agnes sepertinya tidak curiga lagi. "Eh, tapi bener kan Ki? Jangan-jangan lo sembunyiin sesuatu dari kita. Misalnya ternyata lo adalah mantan pacar Bang Panji? Atau seenggaknya lo pernah kenal sama Bang Panji? Jangan-jangan lo beneran ada hubungan sama Bang Panji dan nggak mau kita-kita tau." Agnes berkata lagi, membuat kelegaan Kiara sirna. Kiara menggigit bibir dalamnya, merasa bingung harus menjawab apa. Lagipula apa yang mau Kiara katakan saat ia sendiri tidak tahu hubungan apa yang dulu dimilikinya dengan Akbar? Kiara sendiri tidak siap untuk menceritakan segalanya pada Agnes dan Rasti. "Kita janji buat nggak main rahasia-rahasiaan loh, Ki." Agnes berucap lagi, saat Kiara tak kunjung menjawab. Kiara tertegun, kemudian menatap Agnes dan Rasti yang tengah memandangnya lekat. Bahkan Rasti saja tampak ikut penasaran. Atau lebih baik Kiara ceritakan saja? Siapa tahu beban beratnya sedikit terangkat setelah berbagi dengan sahabat-sahabatnya ini? Lagipula empat tahun ini terasa berat karena Kiara hanya menyimpan semuanya sendiri, tanpa berbagi pada siapapun termasuk Tante Rahma. Kiara menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, "Sebenarnya Kia --" "Woy malah pada ngerumpi! Ayo makan malam. Tante Rahma bawa KFC tuh," Dio yang tiba-tiba menyembulkan kepalanya dari pintu, menginterupsi ucapan Kiara. Kiara menghembuskan napas berat, antara lega dan kecewa. "Ayo kita makan malam dulu," ajak Kiara, berjalan lebih dulu meninggalkan Agnes dan Rasti yang saling berpandangan. Mereka hanya bisa mengangkat bahu dan mengekori Kiara yang sudah berjalan di depan mereka. Di ruang makan sudah ada Tante Rahma, Om Ari, Akbar dan Dio yang menunggu mereka bertiga. Ruang makan memang sudah rapi, dengan satu set meja makan yang diberikan Om Ari. "Sini, duduk sini." Tante Rahma mengisyaratkan agar mereka segera duduk. Agnes memilih duduk di sebelah Akbar, sementara Rasti duduk di sebelah Dio. Kiara akhirnya duduk di kursi yang tersisa, yaitu di sebelah Tante Rahma sekaligus berhadapan dengan Akbar. Tentu saja itu membuat Kiara agak tidak nyaman. "Gimana Kia? Kamu suka penataan kamar kamu?" tanya Om Ari saat mereka sudah mulai makan. Kiara mendongak menatap Om Ari yang sialnya duduk persis di sebelah Akbar, sehingga mau tidak mau Kiara juga menatap wajah Akbar. Namun untungnya Akbar fokus ke makanannya dan tidak menatap Kiara balik. "Suka, Om. Kertas dindingnya juga cerah, jadi Kia nyaman pas di kamar. Makasih juga karena udah pasang teralis di jendela jadi nggak ada orang yang bisa lompat ke jendela," jawab Kiara. "Untung cuma teralis. Coba kalo kaca yang kedap cahaya, wah gue nggak bisa liatin kamar Kia dari balkon dong. Ya nggak Ki?" sahut Dio, menaik-turunkan alisnya. "Maksudnya, Dio nggak bisa liatin Rasti kalo Rasti lagi nginep di sini kan?" goda Kiara, menatap bergantian Dio dan Rasti. "Apa sih, Ki!" sahut Rasti salah tingkah. Kiara dan Agnes melempar tawa kecil. "Oh jadi Dio sama Rasti lagi pdkt ceritanya?" goda Tante Rahma. "Iya, Tan. Udah lama banget pdktnya, tapi nggak jadian juga. Si Dio sih, gantung mulu. Si Rasti ditembak cowok lain baru tau rasa," celetuk Agnes, membuat Dio melotot padanya. "Wah masak lo ngedoain yang jelek sih, Nes? Gini-gini gue adek lo, ya!" Agnes tertawa sambil menggigiti tulang ayam di tangannya, "Makanya cepetan ditembak. Jangan sampai si Galih Galih itu nembak Rasti, nyesel nyesel deh lo." "Kok lo tau Galih sih, Nes?" tanya Rasti kaget. Kiara juga menatap Agnes penasaran. "Gue tadi khilaf ngepoin chat lo hehe," jawab Agnes sambil menyengir lebar. Rasti mencebikkan bibirnya, "Itu bukan khilaf lagi, tapi dosa besar. Melanggar privasi orang namanya!" Agnes mengangkat kedua jari membentuk huruf V pada Rasti yang kesal, "Lagian gue juga belum sempat baca semua chat dari Galih kok. Cuma yang akhir-akhir doang, yang lo kirim-kiriman emot gitu." "Tetep aja nggak boleh!" timpal Rasti kesal. "Emang Galih itu siapa? Lo pdkt sama dia juga?" tanya Dio, yang sedari tadi sudah menahan kesal. Rasti jadi salah tingkah ditatap lekat seperti itu oleh Dio. "Bukan siapa-siapa kok, Yo. Cuma temen sefakultas gue sama Kia. Gue nggak pdkt juga kok sama dia. Malahan Galih itu pengen pdkt-in Kia, jadi nanya-nanya gitu deh soal Kia ke gue." Uhuk uhuk!! Semua orang sontak menoleh pada Akbar yang tersedak hingga terbatuk-batuk. "Lo kenapa lagi, Bang? Nggak biasanya keselek gitu," ucap Dio yang langsung menyodorkan air putih pada Akbar, dan langsung diminum oleh Akbar. Kiara merasa serba salah, juga merasa aneh melihat Akbar tersedak persis setelah Rasti mengatakan bahwa Galih ingin mendekati Kiara. Apa Akbar kaget? Agnes melempar tatapan penuh arti pada Kiara, namun Kiara langsung mengalihkan pandangannya dari Agnes. Namun justru tatapannya bertubrukan dengan Akbar yang ternyata tengah menatapnya tajam. Kiara menggigit bibir, lantas menunduk pura-pura sibuk dengan makanannya. "Jadi ada yang mau dipdkt-in nih ceritanya? Ajak ke sini dong, Ki. Gue pengen liat cowok yang suka sama Kia, sekalian mau mastiin dia pantes nggak buat Kia." Dio menyeletuk. "Apa sih Dio? Kita cuma temen biasa kok. Nggak ada pdkt segala. Rasti aja yang jodoh-jodohin Kia sama Galih," elak Kiara. "Tapi lo akrab gitu sama Galih. Lagian nih Ki, Galih kan baik, pinter lagi. Cocok kok sama lo," sahut Rasti meyakinkan. "Tante nggak larang kamu punya pacar loh, Ki." Tante Rahma ikut menyahut. Kiara menghela napas berat, "Kia tuh nggak mikirin gitu-gituan dulu. Kia mau fokus cari kerja sama fokus kuliah dulu." "Justru pacar itu bisa bikin tambah semangat. Seenggaknya ada yang bisa lo jadiin tempat bersandar, Ki." Rasti ikut menyahut. "Kan nggak selamanya Tante ada di dekat kamu terus, dan umur kamu udah cukup buat nyari pendamping. Tante juga pengen kamu dapat laki-laki yang bisa diandalkan, yang bisa sayang kamu apa adanya." sahut Tante Rahma. "Asalkan laki-lakinya bisa dipercaya. Om nggak bolehin kamu deket sama laki-laki yang nggak jelas, dan cuma mau manfaatin kamu aja. Harus baik-baik pilih cowok." sambung Om Ari. Kiara mendesah pelan, "Kok jadi bahas pasangan buat Kia, sih? Kan Kia udah bilang kalo Kia nggak mikirin itu dulu. Umur Kia juga baru dua puluh, Tan." Agnes mencibir, "Kiara mah kalo bahas pacar selalu gitu. Sekali-kali buka hati lo, Ki." "Udah ih bisa bahas yang lain aja nggak?" sahut Kiara malas. Semua orang terkekeh melihat wajah kesal Kiara, kecuali Akbar yang sedari tadi hanya diam. "Oh iya, Ki. Lo masih cari kerja, kan? Mau nggak kalo kerja di cafe yang dipegang abang gue? Kebetulan lagi butuh pegawai," ucap Agnes yang kini berubah serius. "Di cafe?" tanya Kiara. Agnes mengangguk, "Tapi kalo lo mau sih, soalnya yang dibutuhin cuma buat jadi pelayan." "Kia sih nggak masalah. Lagian kerja jadi pelayan juga halal, kan? Tante setuju kan?" tanya Kiara. "Tante sih nggak larang kamu. Asalkan kamu nggak memforsir tubuh kamu sendiri seperti sebelumnya, karena sebenarnya Tante lebih setuju kalo kamu nggak kerja aja dan fokus kuliah." "Tante, kita udah bahas ini." Kiara mengingatkan Tante Rahma. Ya, beberapa hari lalu Tante Rahma sempat meminta Kiara untuk tidak bekerja lagi dan fokus pada kuliahnya. Gaji Tante Rahma lumayan cukup untuk membiayai kuliah Kiara. Tapi Kiara menolak. Ia tak mau lebih membebani Tante Rahma lagi. Meskipun gaji Tante Rahma sudah lumayan, tapi Kiara ingin berusaha sendiri. Sudah cukup Kiara membebani Tante Rahma sampai-sampai di umurnya yang sudah menginjak kepala tiga, Tante Rahma menunda untuk menikah hanya agar demi mencurahkan perhatian penuh pada Kiara. Tapi sekarang Kiara sudah cukup dewasa, jadi ia harus memikirkan kebahagiaan Tante Rahma juga. Apalagi sekarang ada Om Ari yang sepertinya sangat peduli pada Tante Rahma, juga Kiara. Kiara tidak ingin Om Ari akhirnya menyerah dan meninggalkan Tante Rahma, seperti yang dilakukan mantan pacar Tante Rahma dua tahun yang lalu. "Ya udah deh, Tante nggak minta Kia berhenti cari kerja." akhirnya Tante Rahma menyerah. Kia tersenyum tipis, "Tapi lima hari kerja kan, Nes? Soalnya kan weekend Kia harus kuliah." "Ya kalo itu nanti bisa dinego sama abang gue. Kalo lo mau besok gue ajak ke sana," jawab Agnes. "Iya, Kia mau." Kia tersenyum senang sambil beranjak mencuci tangannya di wastafel. "Oke besok gue jemput lo di kampus," jawab Agnes. "Eh Ki, gelang lo ke mana?" tanya Rasti tiba-tiba saat Kiara sudah kembali duduk di kursinya semula. "Gelang apa?" Kiara balik bertanya. "Gelang itu loh yang ada bandul bentuk lumba-lumba dari perak, bukannya lo nggak mau lepas gelang itu ya? Kok sekarang lo lepas? Atau lo nggak nyadar kalo gelang itu lepas?" ingin rasanya Kiara melemparkan dirinya sendiri ke laut, mendengar rentetan pertanyaan Rasti barusan. "Oh gelang yang selalu dipake kamu itu? Iya, kok nggak kamu pake?" Tante Rahma ikut bertanya, sambil memegang tangan Kiara. Saat tak sengaja mendongak, Kiara menangkap Akbar tengah menatapnya lekat. Kiara benar-benar gugup. "Eh itu ... itu ... ada kok. Kia simpan di kamar," jawab Kiara gugup. "Kenapa? Bukannya gelang itu penting banget buat lo, ya? Sampai-sampai lo nggak suka ada yang pegang dan selama ini lo nggak mau lepasin. Kok sekarang dilepas? Itu kan dikasih sama orang yang penting banget buat lo." Rasti tampaknya masih tidak puas dengan jawaban Kiara. Kiara benar-benar bingung harus menjawab apa. Kalau ia membenarkan bahwa gelang itu sangat berharga karena itu adalah pemberian dari orang yang sangat penting dalam hidupnya, pasti orang itu akan sangat berbangga hati. Atau bisa jadi malah memikirkan hal yang tidak-tidak pada Kiara. Kiara juga tak mau dianggap masih berharap pada orang yang sudah memiliki pasangan. Itu sangat memalukan. "Nggak begitu penting kok, Ras. Bukan karena yang ngasih itu penting banget buat Kia, tapi cuma karena Kia suka desain gelang itu. Iya, karena Kia suka desainnya. Kan Kia suka banget sama lumba-lumba," jawab Kiara agak terbata. "Jadi kalo nggak ada bandul lumba-lumbanya, lo nggak akan pake tuh gelang selama bertahun-tahun? Gue kira itu istimewa karena yang ngasih itu istimewa banget buat lo," sahut Rasti. Kiara menggigit bibirnya kuat-kuat, "Iya, itu cuma karena ada bandul lumba-lumbanya aja. Cuma itu kok, bukan karena yang ngasih--" Kursi berderit, membuat ucapan Kiara terhenti sekaligus membuat semua orang menoleh ke arah Akbar yang sudah berdiri. "Mau ke mana, Panji?" tanya Tante Rahma. "Saya sudah selesai, Tante. Pamit pulang dulu ya, soalnya ada kerjaan kantor yang harus segera diselesaikan." Akbar menjawab, dengan tatapan tajam ke arah Kiara yang langsung menundukkan kepalanya. "Oh maaf ya Tante jadi ngerepotin kamu," "Nggak kok Tan, saya nggak keberatan bantu-bantu di sini. Lagian saya sudah anggap Tante seperti keluarga sendiri, jadi membantu Tante adalah hal yang penting buat saya. Kalau gitu saya pulang dulu, Tan. Om Ari, saya pulang." Kiara tertegun, entah kenapa kata 'penting' yang diucapkan Akbar terasa menohok di telinga Kiara. "Ya, silahkan. Lain kali kita ngobrol-ngobrol lagi oke?" sahut Om Ari. "Tentu aja, Om." Akbar beralih menatap Dio, "Yo, lo antar Rasti gih. Bukannya lo lagi deketin dia? Jangan sampai Rasti anggap lo nggak penting," ucap Akbar, dengan tatapan lurus ke Kiara saat mengucapkan kalimat terakhirnya. "Siap, Bang." sahut Dio, meski sedikit mengernyitkan dahi karena bingung dengan kalimat terakhir yang Akbar ucapkan. "Dan Agnes, cepetan suruh Bang Raihan jemput lo. Ini udah malem, Tante Salma bisa khawatir." "Iya, Bang." Kiara menggigit bibir bawahnya menatap punggung Akbar. Namun entah sengaja atau tidak, tiba-tiba Akbar menoleh pada Kiara sehingga tatapan mereka bertemu selama dua detik, setelah itu Akbar langsung berjalan menuju pintu. Kiara menelan ludah. --empat tahun yang lalu-- Kiara tengah duduk di tepi kolam renang saat suara sepeda motor yang dikenalnya terdengar di halaman rumah. Tak lama setelah itu, sebuah mobil juga terdengar berhenti di halaman rumah. Tanpa melihat pun, Kiara sudah bisa menebak jika yang datang adalah teman-teman kuliah Nadia. Mereka memang sering datang, paling lama dua minggu sekali. Ingin sekali Kiara keluar dan menyapa mereka, tapi peringatan Nadia dua bulan yang lalu membuatnya lebih memilih tetap berada di sini. Ya, dua bulan yang lalu Nadia memperingatkan Kiara untuk tidak dekat-dekat dengan teman-temannya. Nadia tidak suka jika Kiara terlalu akrab dengan teman-temannya, terutama Akbar dan Fabian. Kiara tidak tahu apa alasannya, tapi Kiara pikir lebih baik menuruti ucapan Nadia daripada harus terlibat perdebatan lagi dengan Nadia seperti sebelum-sebelumnya. Apalagi Ibu selalu saja membela Nadia, sedangkan Papa yang selalu bisa menengahi, sekarang sedang dinas ke luar kota. Kiara menatap telapak tangan kanannya, kemudian menghela napas pelan. Setiap bertemu dengan Kiara, Akbar selalu memaksa menggenggam telapak tangan kanan Kiara. Alasannya karena Kiara itu sering ceroboh, jadi harus selalu digandeng jika berjalan agar tidak jatuh. Nadia memang tidak tahu jika Akbar dan Kiara cukup sering bertemu di luar rumah Nadia. Itu karena tempat tinggal Akbar cukup dekat dengan halte tempat Kiara menunggu bus, sehingga mereka sering bertemu secara tidak sengaja. Beberapa kali Akbar pernah mengajak Kiara pergi bersama, dan yang lebih sering yaitu ke toko buku. Akbar juga sering mengirimkan pesan pada Kiara, meski hanya sekedar mengingatkan Kiara untuk belajar. Kiara tidak tahu apa yang membuat Akbar cukup perhatian padanya, meski bentuk perhatiannya bukan dengan cara yang lembut dan hangat. Malah Akbar lebih sering marah dan mengomeli Kiara saat Kiara melakukan kecerobohan, tapi tetap saja hati Kiara selalu menghangat tiap kali diperhatikan oleh Akbar. Kiara juga tidak tahu sebagai apa Akbar menganggap keberadaannya, setelah hampir setahun mereka saling mengenal. Kiara sendiri bingung ia menganggap Akbar sebagai apa. Hanya saja, Kiara senang saat berada di dekat Akbar. Jantung Kiara selalu berdebar-debar saat Akbar memberikan perhatian-perhatian kecil padanya. Bahkan hanya dengan mengingat wajah Akbar saja, membuat Kiara senyum-senyum sendiri sampai pipinya merona. Kalau menurut sahabat Kiara di SMA, Kiara itu jatuh cinta pada Akbar. Tapi Kiara masih bingung. Bagaimana bisa ia jatuh cinta pada laki-laki yang umurnya lima tahun di atasnya? Dan bagaimana kalau ternyata Akbar hanya menganggapnya sebagai adik? Kiara jadi pusing memikirkannya. Tapi dua bulan belakangan ini, Kiara tidak pernah membalas chat dari Akbar. Bagaimana mau ia balas, membukanya saja tidak. Bahkan Kiara tidak lagi datang ke taman tempat ia dan Akbar janjian untuk joging bersama tiap Minggu pagi. Kiara sama sekali tidak bermaksud untuk menghindar. Kiara melakukan itu hanya agar hubungannya dengan Nadia yang sejak awal memang tidak cukup baik, tidak semakin memburuk. Ini juga bisa jadi latihan untuk Kiara agar tidak terlalu tergantung pada Akbar, jika pada kenyataannya Akbar hanya menganggapnya sebagai adik. Ehem!! Suara deheman itu membuat Kiara menoleh, dan langsung mendapati Akbar tengah berdiri di belakangnya. Kiara tersenyum tipis, berusaha menormalkan ekspresinya. Kiara kemudian mengalihkan pandangannya dari Akbar, dan pura-pura sibuk membaca novelnya. Ia tertegun saat tahu-tahu Akbar sudah mengambil duduk di sebelahnya, mencelupkan kedua kakinya di kolam renang seperti yang Kiara lakukan. "Kenapa nggak balas WA saya?" tanya Akbar tiba-tiba. Kiara menoleh dan pura-pura kaget, "Kak Akbar WA Kia? Maaf, Kia nggak tau. Habisnya Kia jarang buka HP sekarang, soalnya lagi fokus belajar buat tes kenaikan kelas." Akbar menatapnya lekat, "Kamu ngehindar dari saya?" Kiara terkesiap dan langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, "Enggak kok. Kia cuma agak sibuk aja akhir-akhir ini." "Terus kenapa sekarang jarang datang ke taman? Di halte juga saya nggak liat kamu," ucap Akbar lagi, sepertinya masih belum bisa percaya. "Soalnya Kia suka bangun kesiangan, jadi males aja buat lari pagi. Terus Kia pulangnya juga sering dianter teman, jadi jarang nunggu di halte lagi." Akbar menghela napas berat, kemudian mengangkat tangannya untuk mengacak-acak rambut Kiara. Kiara hanya bisa diam, merasa bersalah karena telah berbohong. "Tesnya udah selesai?" tanya Akbar setelah mereka diam agak lama. "Udah selesai minggu lalu dan nilainya udah dibagiin kemarin." Kiara menjawab, sambil memandang lurus ke depan dan menghindari tatapan Akbar. "Dapat peringkat? Saya ragu sih kalo kamu dapat peringkat, kecuali kalo kamu sekarang masih kelas lima SD." Kiara menoleh pada Akbar dan melemparkan tatapan kesal, kemudian memukul pelan lengan Akbar. "Enak aja! Kia tuh pinter, ya. Kia juga dapat peringkat kok!" Akbar menaikkan sebelah alisnya, "Peringkat berapa? Satu dari bawah?" Kiara mencebikkan bibirnya, "Ya enggak lah! Kia dapat peringkat tiga pararel." Akbar tersenyum miring, "Beneran? Nggak meyakinkan." Kiara bersedekap tangan dan membuang muka dari Akbar karena mulai kesal, "Terserah kalo Kak Akbar nggak percaya. Kia juga nggak minta Kak Akbar buat percaya!" Akbar terkekeh kemudian mengacak-acak rambut Kiara lagi dan berbisik, "Saya kangen kamu yang kesal kayak gini." Kiara tertegun, namun ia merasa pipinya memanas karena ucapan Akbar barusan. Kiara masih membuang mukanya, kali ini bukan karena kesal tapi karena agar Akbar tidak melihat wajahnya yang mungkin sudah merah. Akbar menyodorkan sebuah kotak berwarna merah pada Kiara yang masih membuang mukanya. Melihat kotak di depannya, Kiara langsung menoleh pada Akbar. "Ini apa?" tanya Kiara. Akbar berdecak pelan, lalu meraih tangan Kiara dan meletakkan kotak itu di genggaman Kiara. "Buat Kia?" tanya Kiara. Akbar bergumam pelan, "Buka aja." Kiara membuka kotak itu, dan matanya terbelalak melihat isi kotak itu. Kiara mengeluarkan dan mengamatinya. Sebuah gelang rantai dari perak, dengan bandul-bandul kecil berbentuk lumba-lumba yang juga terbuat dari perak, tergantung di sepanjang lingkaran gelang itu. Sangat cantik. Dan bandul lumba-lumba itu sangat lucu. "Ini buat Kia?" tanya Kiara lagi, menoleh pada Akbar yang tengah menatapnya juga. Akbar tidak menjawab, namun malah mengambil gelang itu dan memasangkannya di pergelangan tangan kanan Kiara. "Cocok buat anak kecil kayak kamu," ucap Akbar sambil mengamati gelang itu. Kiara mencebikkan bibirnya karena Akbar selalu saja mengatainya anak kecil. "Tapi kenapa Kak Akbar kasih gelang buat Kia?" tanya Kiara. Akbar tidak langsung menjawab pertanyaan Kiara, namun malah menggenggam tangan Kiara lembut. Kiara menggigit bibir bawahnya, merasakan sengatan aneh tiap kali Akbar menyentuh tangannya. "Saya ada urusan ke Kalimantan, dan bulan depan baru pulang. Minggu depan ulang tahun kamu kan? Anggap aja ini hadiah ulang tahun buat kamu." Kiara menoleh, "Tau dari mana kalo Kia ulang tahun minggu depan?" "Rahasia." Akbar menjawab sambil tersenyum simpul. Kiara mengerucutkan bibirnya, lalu mengamati gelang itu. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Kupu-kupu beterbangan di perutnya, merasa bahagia karena mendapatkan hadiah dari orang yang berarti baginya. Kiara memang belum pernah mendapatkan hadiah selain dari Ayah dan Tante Rahma. Akbar adalah orang pertama yang bukan keluarganya, yang memberikan hadiah padanya. "Makasih Kak Akbar," ucap Kiara sambil tersenyum lebar pada Akbar. Akbar menatap Kiara lekat, kemudian tersenyum lebih lebar dari biasanya. Baru saja tangan Akbar terangkat hendak mengambil tangan Kiara, seseorang datang dari belakang mereka. Nadia. "Nji, temen-temen udah datang semua. Kita mau ngerjain sekarang tugasnya," ucap Nadia dingin, menatap tajam ke arah Kiara yang terkejut. "Oke Nad," jawab Akbar yang langsung berdiri dan meninggalkan Kiara setelah sebelumnya mengacak-acak rambut Kiara. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD