Bab 1. Kita Putus!

1301 Words
"Eve. Sayang, akhirnya kamu datang juga. Kemari Beb," ucap Ronald sembari melambaikan tangan meminta Evelyn untuk mendekatinya. Sementara Evelyn mendekat dengan ekspresi mengernyit, apa yang sedang kekasihnya lakukan di dalam selimut? Namun dia tetap mendekat, mengira Ronald hanya sedang memegangi perutnya yang mungkin sakit. "Mana yang sakit, Sayang?" tanya Evelyn dengan nada khawatir. "Yang ini, Sayang. Tolong 'dia' supaya bisa tidur," ucap Ronald sembari menunjuk pada inti tubuhnya yang mengacung tegak di balik celana tidurnya. Mata Evelyn terbelalak saat melihatnya, tak menyangka jika Ronald memintanya untuk melakukan hal yang menjijikan. Dia datang ke apartemen kekasihnya, karena pria itu sedang sakit. "Gila kamu, Ronald!" Maki Evelyn. "Ayolah Evelyn, jangan naif. Kita ini sudah dewasa untuk melakukannya," ucap Ronald dengan tersenyum sinis. "Aku 'kan udah sering bilang kalau nggak mau melakukannya sebelum kita menikah!" balas Evelyn. "Menikah? Kamu kuno banget, Eve." Setelah mengatakan itu, Ronald beranjak dari ranjangnya lalu mendekati Evelyn dan menarik pergelangan tangan sang kekasih. Evelyn terlambat untuk mengelak sebab tangannya sudah mengenai inti tubuh Ronald, membuatnya sempat terkejut. Namun itu tak berlangsung lama, karena Evelyn segera menyentak tangan Ronald lalu menampar pria itu sekuat tenaga. "Dasar b******k! Sudah kubilang kalau aku nggak mau melakukannya sebelum menikah!" teriak Evelyn sembari menatap tajam Ronald. "Jangan munafik, Eve. Jujur saja kamu juga menginginkannya, bukan? Kamu hanya bersikap malu-malu agar aku tambah tertarik denganmu 'kan?" Namun bukannya merasa takut, Ronald malah semakin menggoda Evelyn. "Lebih baik aku pulang sekarang kalau di dalam pikiranmu hanya s**********n," sindir Evelyn yang kini mengambil tasnya yang tergeletak di sofa. "Padahal aku sengaja panggil kamu ke sini untuk rawat aku yang lagi sakit, tapi kamu malah tega mau ninggalin aku," ucap Ronald yang kini memasang raut wajah memelas. "Tapi yang aku lihat kamu sama sekali nggak kelihatan sakit." Sindir Evelyn kepada Ronald yang akhirnya menunjukkan raut wajah sebal. "Ckckck. Evelyn ... kamu itu sungguh sangat membosankan. Kita lagi di Jerman yang otomatis bebas ngapain aja karena jauh dari keluarga. Ngapain harus takut, sih," balas Ronald dengan nada santai. Evelyn semakin bertambah emosi saat Ronald selesai berbicara. Sadar jika berdebat akan menguras energinya, membuat Evelyn mengambil tasnya yang tergeletak di sofa lalu berkata. "Terserah kamu mau ngapain aja, yang pasti aku di sini buat rawat kamu yang lagi sakit, bukan untuk yang lain." "Eve ... serius kamu mau pulang? Evelyn ... tunggu dulu." Bahkan Evelyn tak menoleh saat Ronald terus memanggil namanya, dia sudah muak jika harus berduaan lebih lama dengan sang kekasih. Hembusan napas kasar Evelyn lakukan saat berada di luar unit apartemen Ronald. Merasa perlu menenangkan diri membuat Evelyn berniat menuju ke coffe shop yang ada di lantai dasar gedung apartemen ini. Aroma kopi yang menyengat memberi rasa rileks pada tubuh Evelyn dan meredakan amarah yang berkecamuk di dalam hatinya. Tak lama dering ponsel memecah lamunan Evelyn. Dia mengernyit saat mendapati sang ayah yang menghubunginya. Setengah terkejut sebab di Jakarta sudah jam 10 malam. "Iya ada apa, Pah?" tanya Evelyn. "Eve ... kamu bisa pulang sekarang, Nak? Kakakmu meninggal karena pendarahan saat melahirkan. Kami tunggu kamu sampai di Jakarta baru menguburkan kakakmu." Berita itu membuat pikirannya kosong, selanjutnya suara sang ayah hanya terdengar seperti dengungan lebah. Dan hanya 2 kata yang terus terngiang-ngiang di dalam otaknya, 'meninggal dan 'pulang'. "Jangan bercanda, Pah. Ini sama sekali nggak lucu!" bantah Evelyn dengan nada tinggi setelah kesadarannya pulih. Keheningan yang menyesakkan d**a Evelyn pecah ketika suara hembusan napas kasar terdengar di ujung sambungan telepon. Evelyn pun sadar jika ini adalah kenyataan pahit yang harus dia terima. "Oke Pah. Aku akan pulang secepatnya," ucap Evelyn seperti berbisik. Setelah panggilan itu terputus Evelyn hanya terdiam, masih menata perasaannya. Air matanya menetes deras, tak dapat percaya jika kakak satu-satunya telah meninggalkan dunia untuk selamanya. 'Aku akan kasih tahu Ronald kalau mau pulang ke Jakarta. Setidaknya kami harus berdamai sebelum aku pulang,' gumam Evelyn. Dia membawa langkah kakinya kembali menuju apartemen Ronald. Evelyn masuk setelah menekan kombinasi angka yang berjumlah 6. Dahinya mengernyit saat melihat sepasang sepatu bot wanita yang tergeletak sembarangan pada lantai apartemen. Matanya lalu memindai sekeliling apartemen dan mendapati sebuah mantel wanita berwarna pink. Dada Evelyn seketika berdegup kencang dan bertanya dalam hatinya kenapa bisa ada barang milik wanita lain di apartemen sang kekasih. Setelah menghembuskan napas berkali-kali, dia memberanikan diri untuk melangkah menuju kamar Ronald. Suara desahan dan erangan yang saling bersahutan terdengar di celah pintu yang terbuka sedikit. Dengan jantung yang masih beedegub kencang, Evelyn mendorong pintu itu lebih lebar. "Faster Baby ... faster." Evelyn seketika merasa jijik saat melihat Ronald sedang bergerak dengan liar di atas tubuh seorang wanita berambut pirang. Namun, seringai sinis tak lama tampak dari wajahnya. Evelyn segera menuju dapur dan mengambil mangkuk untuk menampung air di westafel. Setelah itu Evelyn kembali ke dalam kamar Ronald dan menyiramkan air ke arah pasangan yang sedang bergumul panas itu. "Sialan! Siapa yang berani melakukannya?" umpat Ronald setelah sempat gelagapan karena air yang sempat masuk ke dalam lubang telinganya. "Aku! Apa itu masalah untukmu?" ucap Evelyn yang kini melangkah mendekati pasangan yang tak tahu malu itu. Wajah Ronald berubah menjadi pias saat melihat wajah murka yang ditunjukkan oleh Evelyn. Belum sempat memproses apa yang sedang terjadi, Evelyn kembali berkata dengan suara lantang. "Jadi kamu selingkuh karena aku nggak mau tidur sama kamu. Oke. Sekarang kita putus, jadi kamu bisa tidur dengan perempuan manapun yang kamu suka." Setelah mengatakan itu Evelyn melangkah keluar kamar, lalu berhenti di ambang pintu. "Oh ya, aku pulang ke Jakarta malam ini. Jadi ... selamat tinggal." Ronald terdiam sesaat, ekspresinya berubah sedikit terkejut. "Eve tunggu —" "Silahkan melanjutkan permainan kalian yang tertunda," potong Evelyn cepat yang lalu berjalan keluar dari apartemen mantan kekasihnya tanpa menoleh lagi. Begitu sampai di luar gedung, Evelyn menjatuhkan diri. Air matanya kembali menetes dengan deras. Bahkan tangannya beberapa kali memukul dadanya guna untuk menghilangkan rasa sakit di dalam hatinya. Dia kehilangan kakaknya, kehilangan pacarnya, tapi setidaknya dia tidak kehilangan harga dirinya. Tadi di hadapan Ronald, Evelyn hanya berpura-pura tegar karena tak ingin pria itu semakin mencibir dirinya. Udara dingin perlahan menusuk kulitnya, tapi entah kenapa dia merasa lebih ringan. Sekarang yang Evelyn inginkan pulang secepatnya ke Jakarta. Dia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk di dadanya. Tidak ada gunanya menangisi pria b******k seperti Ronald. Evelyn segera bangkit dan bergegas menuju apartemennya untuk bersiap-siap. Hanya tersisa sedikit waktu atau dia akan semakin lama tiba di Jakarta. Dan 3 jam kemudian, Evelyn duduk di kursi pesawat kelas bisnis, menatap kosong ke luar jendela. Lampu-lampu bandara mulai mengecil seiring pesawat melaju di landasan pacu. Pikirannya masih dipenuhi kesedihan tentang kakaknya dan kemarahan terhadap Ronald. Tapi di tengah gejolak emosinya, dia merasa sedikit lega. Setidaknya, dia telah mengambil keputusan yang benar. Saat pesawat mulai stabil di udara, seorang pria duduk di kursi sebelahnya. Evelyn tidak terlalu memperhatikan sampai suara bariton yang ramah menyapanya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya. Evelyn menoleh. Pria itu memiliki rahang tegas, mata tajam namun hangat, dan postur tubuh yang tegap. Dia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan aroma maskulin yang samar tercium. Evelyn mengerjap, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Maaf?" "Kamu terlihat sedih. Jangan salah sangka dulu ... aku hanya bertanya." Melihat wajah termangu dari gadis yang ada di sebelahnya membuat sang pria kembali berbicara dengan intonasi suara yang lebih lembut. Evelyn menghela napas pelan. Dia tidak ingin membebani orang asing dengan masalahnya, tapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang terasa tulus. "Aku baru saja kehilangan seseorang," ucap Evelyn akhirnya. "Dan aku juga baru putus dengan pacarku." Pria itu menaikkan sebelah alis. "Itu dua hal yang berat dalam hari yang sama. Aku turut berduka." Evelyn mengangguk tanpa berkata-kata. Untuk pertama kalinya sejak telepon dari ayahnya, ada seseorang yang menyampaikan belasungkawa tanpa rasa kasihan berlebihan. Evelyn segera mengambil penutup mata dan memutuskan untuk tidur di sepanjang perjalanan, karena tidak ingin bercakap-cakap dengan pria yang tak dia kenal. Mengabaikan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh sang pria.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD