2. Mungkin Jodoh

1102 Words
Agaknya, ungkapan cinta itu buta memang benar adanya. Buktinya, Gery mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin dia begitu terobsesi untuk menjadikan seorang wanita bernama Gendis sebagai seorang istri. Padahal dia tahu betul hubungan apa yang terjalin di antara Gendis dengan Gama yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri. Iya, Gama dan Gendis adalah pasangan kekasih yang mencoba untuk Gery pisahkan. Padahalnya lagi, seorang Gery Giandra Ganesha, bisa saja dengan mudah mendapatkan sosok wanita, baik dari yang masih muda, sampai yang janda sekalipun karena pesona Gery memang tiada tandingannya. Sayangnya, Gery begitu malas menghadapi segala tingkah laku wanita yang menurutnya suka sekali membuat drama. Sehingga pria itu sama sekali tidak ada keinginan untuk menikah hingga detik ini. Di saat usianya sudah kepala tiga. Tidak perduli juga dengan rengekan kedua orangtuanya yang meminta agar dia cepat menikah. Karena baginya hidup dengan penuh aturan dari seorang wanita, akan sangat mengganggu ketentraman hidupnya. Gery juga tipe-tipe pria yang tidak pernah serius ketika menjalin hubungan dengan seorang wanita. Jika merasa bosan, langsung buang dan cari penggantinya. Sesimpel itu jalan pikiran seorang Gery. Oleh sebab itulah kenapa dia begitu tertarik mengganggu kehidupan asmara Gama karena menurut Gery, Gama itu terlalu berlebihan mencintai seorang wanita. Gery yang penasaran, mulai terobsesi dan berakhir kebablasan karena dia benar-benar jadi tertarik pada Gendis. Wanita tangguh, hebat, dan kuat. Mampu bertahan dalam kondisi hamil setelah diceraikan. Entahlah kenapa Gery begitu gemas sendiri dengan mantan suami Gendis. Lelaki bodoh yang rela melepas sosok wanita kuat seperti Gendis, hanya untuk berselingkuh dengan wanita banyak drama yang sempat dia temui kala itu di saat melabrak Gendis. Sayangnya, Gery mulai mundur teratur mengejar-ngejar Gendis karena merasa perjuangannya akan sia-sia lantaran baik keluarganya dan keluarga Gendis justru merestui Gama sebagai calon suami Gendis. Ditambah ceramah yang dia terima dari sahabat Gendis yang bernama Gea, makin menyiutkan nyali Gery untuk mengejar Gendis. Gery baru tersadar jika cintanya buta sebab selama ini tak dapat melihat ketulusan yang Gama berikan untuk Gendis. Tidak seperti dirinya yang bahkan hanya karena obsesi semata. Pria itu menghentikan laju mobil yang dikendarainya, lantaran traffic light menyala merah warnanya. Gery mengetuk-ngetuk setir kemudi dengan kepala menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya memicing. Tidak jauh darinya berhenti saat ini, sosok wanita yang sedang mengendarai sebuah motor, juga ikut berhenti sepertinya. Wanita yang tentu dia kenal dengan sangat baik karena semalam dengan pedenya baru saja dia lamar. Yah, meski pun lamarannya belum diterima karena Gea pasti terkejut sekali dengan ulahnya. Suara klakson yang berbunyi berulang kali dari deretan mobil di belakangnya, menyadarkan Gery dari lamunan. Pria itu melirik sebentar pada traffic light yang memang sudah berubah warna menjadi hijau. Menekan pedal gas kendaraannya. Pria itu terkekeh pelan, mengikuti motor yang dikendarai oleh Gea. Dalam hati Gery bertanya-tanya, untuk apa juga wanita itu harus menggunakan roda dua untuk dapat pergi ke tempat kerja. Padahal jika Gery nilai, keluarga Gea termasuk keluarga mampu. Mobil pun juga punya, tapi malah ke kantor hanya dengan sepeda motor saja. Sampai di kantor, lagi-lagi Gery melihat keberadaan Gea yang malah bergosip dengan karyawan di bagian front office. Mereka cekikikan sampai tak menyadari kedatangan sang CEO. Mungkin inilah yang dinamakan definisi jodoh. Niatnya melamar Gea semalam, mendapat lampu hijau dari Tuhan karena sepagi ini saja sudah dua kali dia bertemu Gea. Jadi, tidak salah bukan jika Gery ingin merealisasikan sungguhan rencananya untuk melamar gadis itu. Dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celana kerjanya, pria itu berdehem. "Ehem! Kantor tempat untuk bekerja. Bukan untuk bergosip!" teguran Gery, mengentikan tawa yang keluar dari mulut Gea. Jika temannya yang bernama Gatra, staff bagian resepsionis, memilih langsung menundukkan kepalanya karena ketakutan sudah ketahuan oleh atasan mereka sedang mengobrol. Meskipun pagi ini belum waktunya jam bekerja dimulai. Berbeda dengan Gea. Wanita itu hanya menoleh sekilas. Memutar bola matanya jengah lantaran melihat betapa arogan CEO-nya. Gea sendiri sempat heran, kenapa dulu saat awal-awal Gery menjabat di perusahaan ini, dia bisa seterpesona itu dengan lelaki yang menatapnya dengan sorot mata menyebalkan saat ini. Alih-alih merasa takut, dengan tidak sopannya Gea justru berpamitan pada Gatra. "Gat, gue duluan, ya!" Lalu gadis itu berjalan cepat meninggalkannya lobi, tanpa perlu repot-repot merespon Gery. Gery mengikuti Gea. Kaki panjang Gery, bisa juga mensejajarkan langkahnya dengan Gea yang memiliki bentuk tubuh lebih kecil darinya. "Lamaran saya yang semalam masih berlaku. Apa jawabanmu?" tanya itu meluncur begitu saja dari mulut Gery. Gea menolehkan kepalanya. Hanya sebentar untuk menjawab, "Maaf Pak Gery. Urusan pribadi tidak sepatutnya dicampur adukkan dengan pekerjaan. Ini di kantor. Ada baiknya pembahasan kita hanyalah seputar pekerjaan saja." Terdengarnya begitu enteng Gea berucap demikian. Padahal sejujurnya wanita itu sedang mencari alasan agar Gery tidak lagi membahas hal aneh dengannya. Mana mungkin Gea menerima lamaran itu jika Gery-nya saja mengucapkannya dengan asal. Dipikirnya, lamaran itu adalah hal yang biasa? Tentu saja tidak. Karena jika sampai Gea menanggapi dan menerima lamaran Gery, itu artinya dia sudah siap untuk dinikahi. Padahal Gea tahu betul jika tidak ada keseriusan Gery mengucapkan hal itu semalam. Jika boleh jujur ... andai saja Gery ini adalah lelaki dengan perangai yang normal, Gea tidak akan segan-segan menerima lamarannya. Pasalnya, sejak kejadian tadi pagi yang mana mulutnya keceplosan mengatakan bahwa Mas Bosnya ini adalah calon suami, mamanya langsung menodong dengan banyak pertanyaan. "Kamu sudah punya calon suami, Ge? Kenapa nggak pernah dikenalkan ke mama sama papa?" "Jadi semalam calon suami kamu datang? Kenapa nggak nemuin mama dan papa?" Dan pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari mulut sang mama, hanya ditanggapi ringisan olehnya. Apalagi Gibran sedang bersamanya juga tadi pagi. Dih, serasa Gea ingin menghilang saja dari muka bumi. Niatnya untuk memanasi Gibran, malah mamanya yang heboh sendiri. Sekarang dia tak tahu akan melakukan apa demi meyakinkan Gibran bahwa dia juga sudah laku. Bukan lagi perawan tua yang mengharapkan cinta dari sepupunya. Astaga, melamun di sepanjang perjalanannya menuju lift, tak sadar jika Gery masih bersamanya. Bahkan Gea saja terkejut karena Gery sudah menarik lengan kemejanya. "Pak Gery! Jangan tarik-tarik kemeja saya begitu!" Lantangnya suara Gea yang terkejut akibat ulah Gery, tentu saja menarik perhatian karyawan dan karyawati yang memang mulai berdatangan dan mengantri untuk menunggu lift. Dalam sekejap mata, Gea langsung menjadi pusat perhatian. Belum lagi, ditambah dengan kenekatan Gery yang selanjutnya mendorong Gea masuk ke dalam lift khusus direksi yang terbuka, makin membuat wanita itu dilanda kepanikan yang luar biasa. "Eh ... eh, ini ngapain Pak Gery bawa saya ke sini. Bapak mau culik saya? Aduh!" Gea meringis mengusap dahinya yang baru saja disentil oleh Gery. Tentu saja sakit karena jari-jari Gery saja sebesar itu. "Rugi kalau saya nyulik kamu. Memangnya ada gitu yang mau tebus kamu, jika kamunya saya sandera?" Gea mencebikkan bibirnya. Kenapa juga harus berurusan lagi dengan atasannya yang gilaa ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD