bc

Khitbah Dari Sang CEO

book_age16+
2.9K
FOLLOW
35.3K
READ
billionaire
second chance
CEO
boss
billionairess
drama
brilliant
male lead
realistic earth
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Haidar mengalami kecelakaan di pusat kota Istanbul, Turki, yang membuatnya harus duduk di kursi roda dan dinyatakan akan cacat seumur hidup oleh Dokter. Tunangannya pun memutuskan untuk meninggalkan Haidar setelah mengetahui tentang hal tersebut, padahal pernikahan mereka akan segera diselenggarakan beberapa hari lagi. Hal tersebut membuat Haidar mengalami stress dan menjadi pemarah. Orang-orang yang dipekerjakan untuk merawatnya tak bisa bertahan lama akibat kemarahan-kemarahan Haidar pada mereka.

Hingga suatu hari, seorang wanita bernama Najla pun mendaftar bekerja pada Keluarga Al Hakim. Haidar menumpahkan semua kemarahannya pada Najla, namun Najla hanya bertahan dan bersabar menghadapi Haidar.

Dan ketika akhirnya Haidar sembuh serta kembali bisa berjalan, benih-benih cinta itu telah tumbuh di hati Haidar untuk Najla tanpa ia sadari. Namun, kembalinya sang mantan tunangan membuat segalanya menjadi begitu rumit.

chap-preview
Free preview
PROLOG
Pesta peresmian proyek baru yang akan ditangani oleh Neo-C Corp baru saja usai. Haidar--Sang CEO--masih mengobrol dengan beberapa koleganya, untuk membicarakan bisnis. Malam itu semuanya berjalan dengan sangat sempurna, sesuai dengan keinginan Haidar yang telah dirancang sejak seminggu lalu. Semua yang berkaitan dengan bisnis harus terlihat sangat perfeksionis di matanya, tanpa kecuali. Emir--Sekretaris Haidar--mendekat untuk menyerahkan kunci mobil yang tadi ada di tangan petugas valet, pada pria itu. Haidar menerima kunci tersebut, lalu kembali menatap ke arah para koleganya. "Peluang untuk mendapatkan keuntungan pada bisnis ini sangatlah luar biasa, Tuan Haidar. Neo-C Corp jelas akan menjadi perusahaan yang pertama tercatat dalam sejarah, jika mau mengembangkan bisnis ini," ujar Ali--CEO dari Centela Group. "Anda benar, Tuan Ali. Bisnis ini jelas sangat menguntungkan bila kita berani mengembangkannya. Tapi sebelum itu, kita harus membahas semua hal yang dibutuhkan dan juga membahas resiko-resiko apa saja yang mungkin akan terjadi ke depannya," tanggap Haidar. "Tentu Tuan Haidar. Itu adalah yang terpenting untuk dibicarakan dalam memulai sebuah bisnis dari dasar." "Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu. Besok kita akan bertemu lagi dan membicarakan kelanjutan bisnis yang baru saja kita diskusikan," pamit Haidar. "Tentu saja Tuan Haidar, aku sungguh tak sabar menanti hari esok agar bisa berbincang panjang mengenai bisnis yang satu ini," balas Ali. Mereka pun segera berpisah. Haidar berjalan bersama Emir menuju ke arah lift. Mereka berdua akan menuju ke bawah bersama-sama. Emir menyerahkan berkas yang harus ditanda tangani oleh Haidar. Haidar tertawa setengah meringis ke arah Emir. "Pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan. Aku takut akan lupa bagaimana rasanya pulang ke rumah tanpa memikirkan pekerjaan," ujar Haidar. Emir membalas tawa itu dengan senyuman. "Saya hanya menjalankan tugas, Tuan Haidar. Kalau berkas ini tidak anda tanda tangani hari ini juga, maka mungkin akan ada satu proyek yang batal," ujar Emir. "Ya, aku tahu kalau itu adalah tugasmu. Bahkan, urusan permintaan calon istriku tercinta pun kau yang tangani. Entah bagaimana jadinya aku tanpamu yang selalu tepat dalam menjadwal apapun," balas Haidar. Mereka akhirnya tiba di lantai dasar lalu keluar bersama-sama dari lift. "Oh ya, Tuan Haidar, Nona Syima tadi meminta agar souvenir untuk pernikahan ditambahkan. Dia bilang souvenir yang sudah ada, tampaknya masih kurang. Jadi, saya akan membawakannya tambahan souvenir besok pagi," ujar Emir. "Ya, bawakanlah souvenir itu jika memang menurut calon istriku jumlahnya masih kurang. Itu bukan masalah besar. Aku mencintainya, dan akan melakukan apapun untuk memenuhi semua keinginannya. Jadi, tolong aturkan untukku," pinta Haidar dengan wajah bahagia yang luar biasa. Emir kembali tersenyum. "Tentu saja, Tuan Haidar. Akan segera saya aturkan semuanya," balas Emir. Mereka pun akhirnya tiba di depan gedung. Mobil milik Haidar sudah siap di sana setelah petugas valet memarkirkannya sebelum kuncinya diserahkan pada Emir. "Baiklah Emir, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamit Haidar. "Wa'alaikumsalam, Tuan Haidar," jawab Emir, penuh rasa hormat. Haidar pun akhirnya melajukan mobilnya dan keluar dari area gedung Neo-C Corp. Kecepatan mobilnya tidak terlalu tinggi malam itu. Ia ingin menikmati perjalanan pulangnya menuju ke rumah dengan santai. Alunan musik yang diputarnya pada playlist terdengar mengalun merdu, mewarnai suasana malam yang begitu tenang bagi Haidar. Ponselnya berdering tak lama kemudian, ia mengangkatnya dengan cepat saat melihat nama tunangannya tertera pada layar. "Halo, Assalamu'alaikum calon bidadari dalam hidupku. Ada apa sayang? Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Haidar, begitu lembut. "Wa'alaikumsalam, Haidarku sayang. Aku sedang merasa pusing setelah mengurus undangan yang akan dikirim besok lusa. Ada beberapa nama yang ternyata sudah ditulis, dan ada beberapa alamat yang tidak jelas. Aku benar-benar sempat kebingungan siang tadi. Seandainya saja sepupu-sepupuku tidak membantu, maka aku tidak tahu bagaimana jadinya semua undangan ini," jawab Syima, mengadu dengan manja pada Haidar. Haidar pun tertawa setelah mendengar keluhan Syima. Ia tahu betul kalau keluhan itu akan selalu berakhir dengan sebuah permintaan. "Aku serius, sayang. Sekarang aku merasa amat sangat lelah. Bolehkah besok pagi aku pergi ke spa untuk mendapat pijatan sebelum hari pernikahan kita tiba? Kau tidak ingin aku kelelahan saat berdiri di pelaminan, 'kan?" rajuknya. Benar-benar tepat seperti dugaan Haidar, bahwa keluhan yang Syima layangkan akan berakhir dengan sebuah permintaan. "Baiklah calon bidadari hidupku, pergilah ke spa besok pagi. Gunakan saja kartu kreditku untuk membayar tagihannya. Jangan terlalu banyak stress ya, aku tidak mau kau jatuh sakit hanya karena mengalami stress," ujar Haidar. "Baik sayangku. Terima kasih atas izinnya. Aku mencintaimu," ucap Syima. "Aku juga mencintaimu." Sambungan telepon tiba-tiba terputus. Syima langsung mematikan sambungan telepon saat itu tanpa mengucapkan salam atau sekedar berpamitan pada Haidar. Haidar hanya bisa terkekeh pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sudah tahu bagaimana sifat calon istrinya tersebut, dan sama sekali tak pernah mempermasalahkannya. Di seberang sana, Syima menatap ke arah semua sepupunya yang sedang menunggu. "Besok kita akan berpesta!" seru Syima, yang baru saja berbohong pada Haidar tentang spa yang sebenarnya adalah pesta di sebuah hotel. "YEAH!!!" sorak semua sepupu Syima, sangat kompak. Di sebuah rumah, seorang wanita paruh baya baru saja mencoba menelepon kembali putranya yang belum juga pulang ke rumah, padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Nada sambung terdengar jelas di seberang sana, dan tak lama kemudian seseorang pun mengangkat telepon tersebut. "Assalamu'alaikum, Ibu," jawab Haidar saat mengangkat teleponnya. "Wa'alaikumsalam, Nak. Kenapa teleponmu sejak tadi sulit sekali untuk Ibu hubungi?" tanya Hulya, begitu khawatir. "Maafkan aku, Bu. Baru saja Syima menghubungiku, jadi kemungkinan telepon dari Ibu masuk bersamaan ketika aku baru saja mengangkat telepon dari Syima," jawab Haidar. "Astaghfirullah, Nak. Bukankan Ibu sudah bilang padamu untuk tidak menemuinya dan juga tidak berbicara padanya selama menjelang hari pernikahan kalian? Apakah itu sangat sulit untuk kau penuhi, Nak?" Hulya mengusap-usap dadanya yang sejak tadi merasa sangat tidak enak. "Bukan begitu, Bu. Syima sudah mengerjakan undangan selama dua hari terakhir ini, jadi dia menghubungiku untuk meminta izin agar dirinya bisa pergi ke tempat spa untuk mendapat pijatan sebelum hari pernikahan kami tiba. Hanya itu saja, Bu, tidak lebih," jelas Haidar, dengan lembut. "Spa? Syima mengatakan padamu bahwa dia akan pergi ke tempat spa?" tanya Hulya, ingin memastikan bahwa ia tak salah mendengar. "Iya, Bu. Tempat spa. Benar sekali," jawab Haidar. "Tapi, tadi Ibunya Syima menghubungi Ibu dan mengatakan kalau Syima besok pagi akan mengadakan pesta lajang dengan para sepupunya di hotel, Nak. Bukan ke tempat spa," ujar Hulya, menyampaikan apa yang ia dengar dari Ibunya Syima. "Apa? Pesta lajang? Apa Ibu yakin?" tanya Haidar, mendadak merasa sedikit marah karena Syima telah berbohong. "Cobalah kau hubungi kembali Syima, dan pastikan kebenarannya," saran Hulya. "Baik, Bu. Akan segera kulakukan. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Setelah sambungan telepon kepada Ibunya terputus, Haidar dengan segera kembali menghubungi Syima. Nada sambung terdengar di seberang sana. Rasa marah mulai menguasai dada Haidar, karena Syima telah mulai berani berbohong terhadapnya. Ia tak sadar kalau saat itu kakinya telah menginjak pedal gas terlalu dalam, sehingga kecepatan mobilnya bertambah beberapa kali lipat dari sebelumnya. Syima mengangkat teleponnya tak lama kemudian, setelah ia melihat nama Haidar yang tertera pada layar. "Halo sayangku ...." "Tidak usah berbasa-basi. Sebenarnya kau akan pergi kemana besok pagi?" tanya Haidar, dengan nada tinggi. "Besok pagi? A--aku akan pergi ke tempat spa, sayang. Memangnya ada apa?" tanya Syima, agak gugup. Haidar bisa mendengar dengan jelas bagaimana gugupnya Syima saat itu. Ia pun menginjak pedal gas pada mobilnya semakin dalam akibat perasaan marah yang tengah menderanya. "Bagaimana kau bisa berbohong seperti itu padaku, Syima? Ibumu menelepon pada Ibuku dan mengatakan bahwa besok pagi kau akan mengadakan pesta lajang dengan semua sepupumu! Apakah kebohongan seperti itu pantas untuk kau lakukan padaku? Aku ini calon suamimu, baru calon! Bagaimana jika aku sudah menjadi suamimu nanti? Apakah kau akan membohongiku setiap saat seperti yang kau lakukan saat ini?" tanya Haidar, meluapkan emosinya dengan terang-terangan. Ia bisa memaklumi jika Syima ingin mengadakan pesta bersama para sepupunya. Yang menjadi masalah bagi Haidar adalah Syima berbohong mengenai apa yang ingin dilakukannya besok pagi. Ia tidak bisa menerima secuil pun kebohongan, karena satu kebohongan saja sudah bisa menghancurkan kehidupan yang sudah susah payah dibangunnya. Terlebih, yang saat ini sedang berbohong adalah calon istrinya sendiri, yang dalam waktu beberapa hari ke depan akan segera ia nikahi. Sehingga jelas saja hal itu membuat Haidar amat sangat marah pada Syima. "De--dengarkan aku dulu, sayang. A--aku... aku tidak bermaksud membohongimu. Aku... aku hanya takut kalau kau takkan memberikan izin padaku untuk mengadakan pesta lajang. Sementara itu... sepupu-sepupuku sangat ingin ...." "Cukup Syima! Sekali kau berbohong, maka aku tidak bisa lagi mempercayaimu! Cukup! Aku muak mendengar alasan-alasan dari kebohongan yang telah kau perbuat. Seandainya saja Ibuku tidak menerima telepon dari Ibumu, mungkin aku tidak akan pernah tahu bahwa kau sudah membohongiku, dan hanya Allah yang akan menjadi saksi atas kebohonganmu itu! Kau sangat keterlaluan Syima, kau sangat keterlaluan!" Haidar benar-benar merasa dikhianati. "Haidar, dengarkan aku dulu. Aku mohon Haidar, aku benar-benar tidak bermaksud membohongimu. Aku hanya merasa takut kalau kau tidak akan memberiku izin, makanya aku menggunakan alasan spa untuk mendapat izinmu," jelas Syima, sambil menangis di seberang sana. "Kubilang cukup, Syima! Cukup! Aku tak mau lagi mendengar alasan dari ...." BRAKKKK!!! Sebuah suara benda berhantaman yang begitu keras terdengar dengan sangat nyaring. Syima menjadi terdiam di tempatnya, karena semuanya kini mendadak sunyi. Ia mematikan ponselnya, lalu menghapus airmata di wajahnya dan kembali berekspresi santai. "Huh! Dasar pria bawel yang menyusahkan!" umpat Syima. Sementara itu, di mobil milik Haidar yang saat itu telah menabrak sebuah truk dari arah berlawanan mulai terdengar ramai oleh beberapa pengendara yang hendak menolong. Haidar sendiri kini mulai kehilangan kesadarannya. "I--Ibu ...." bisiknya, lirih.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
102.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook