Cinta dan Kecewa
Dengan langkah tegas dan cepat, Satria memasuki rumah. Langkahnya dibuat selebar mungkin, bahkan 2 anak tangga langsung ia lewati dengan satu langkah.
Pintu kamar Abi dibuka paksa sampai membuat si empunya kamar terkejut bukan main. Beruntung kala itu Abi sudah memakai pakaian lengkap, karena baru saja ia selesai membersihkan diri.
“Bukan berarti nggak ada mama dan papa sekarang kau jadi seenaknya masuk kamarku. Dimana sopan santunmu?” ucap Abi dengan nada yang masih saja dingin kepada Satria. Bahkan dia tak merubah panggilannya.
Mengabaikan protes sang adik, Satria yang masih memakai baju olahraga segera menuju ke tempat Abi berdiri. Dengan sekali hentakan, dia mampu membuat Abi berbalik agar keduanya bisa berhadapan langsung.
“Ck, apa?” sembur Abi dengan mata yang sedikit melotot. Rasa kesal dan tidak sukanya pada Satria belum hilang. Dia masih tidak terima karena Satria berani menusuknya dari belakang. Apakah tidak cukup bagi Satria bersama wanita? Bahkan Abi belum pernah di posisi ini.
“Kekanakan.”
Abi menatap kakaknya datar. Apa-apaan Satria ini datang-datang tiba-tiba mengatainya kekanakan.
“Jadi, sikap kekanakanmu ini alasannya karena wanita itu? Sekar. Iya?”
Abi tersenyum tipis. Cukup lama juga ternyata untuk Satria sadar akan kesalahannya.
Dengan santai, Abi malah berjalan menuju ke jendela, membuka jendela kamarnya agar sirkulasi udara terjadi. Hawa dingin di pagi hari langsung menyeruak di wajah tampan itu.
“Jawab, Abi!” perintah Satria tegas. Kali ini dia enggan untuk mendekat.
Abi berbalik, menatap kakaknya yang berada beberapa meter di depan sana. Abi bersedekap tangan, menatap kakaknya dengan tatapan yang masih tak bersahabat.
“Kalau iya kenapa?”
“Tentu saja aku akan mengatakannya kepada mama dan papa. Kau menjadi gilaa hanya karena wanita.”
Tangan Abi berpindah ke samping tubuhnya, berubah mengepal karena tak terima dengan ucapan sang kakak.
“Setidaknya aku masih waras untuk tidak mengambil apa yang menjadi milik saudaraku,” sindir Abi terang-terangan.
Satria tertawa, tak begitu keras. Dia kali ini mendekati Abi lagi. Keduanya saling tatap, sama-sama memberikan aura mengintimidasi. Namun, keduanya sama-sama memiliki ego tinggi dan bisa dipastikan tidak akan ada yang mau mengalah.
“Milik? Siapa yang kau sebut menjadi kepemilikanmu? Sekar? Apa dia juga mengklaim kau juga miliknya?”
Perkataan Satria membuat Abi terdiam. Dia kembali dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa hubungannya dengan Sekar hanya sebatas teman belaka.
“Pantang bagi seorang pria mengklaim wanita yang bahkan tak menunjukkan ketertarikannya. Harga dirimu sebagai pria ada di mana?”
Abi mendorong Satria dengan kuat hingga membuat punggung pria itu terbentur dinding. Satria yang mendapat serangan tiba-tiba itu tetap mencoba terlihat setenang mungkin. Berbeda dengan Satria, wajah Abi sedikit memerah, menunjukkan seberapa keras dirinya menahan amarah.
“Jaga perkataanmu, brengsekk! Berani kau merendahkan Sekar, aku tak akan segan-segan untuk memukulmu. Aku tidak peduli apa hubungan kita berdua.”
Bukannya takut atau memilih opsi mengalah, Satria malah menunjukkan suara tawa yang semakin menyulut emosi Abi.
“Wanita-wanita itu memang iblis. Mereka tidak hanya mematahkan hati para pria, bahkan mereka bisa mematahkan hubungan persaudaraan. Lebih baik kau tidak gegabah mengambil keputusan daripada menyesal.”
“Jangan samakan Sekar dengan wanita-wanitamu. Sekar bukan Kak Laura. Sekar tidak serendah mantan istrimu itu!” teriak Abi tepat di wajah sang kakak.
“Kalau kau menjelekkan Sekar, aku tidak akan tinggal diam. Kau boleh saja marah dan kecewa kepada Kak Laura, tapi jangan pernah samakan Sekar dengan dia. Dan ya, kau juga tidak pantas untuk Sekar. Menjaga keutuhan rumah tangga saja kau tidak becus, bagaimana nantinya jika bersama Sekar?" lanjut Abi yang terus menceramahi Satria dan tak mempedulikan ekspresi wajah kakaknya yang telah berubah penuh.
“ABI! TUTUP MULUTMU, SIALAN!”
“BRENGSEKK!”
BUGH
Satria memberikan satu pukulan keras ke wajah Abi, membuat adiknya terhuyung ke belakang. Abi yang sudah tersulut dan ingin menuntaskan semuanya pun akhirnya ikut membalas. Hingga akhirnya kamar tersebut di isi oleh suara pukulan dari kakak beradik ini.
"ABI! SATRIA! APA-APAAN KALIAN, HAH?!"
Satria yang ingin kembali memberikan pukulan pun seketika terhenti setelah mendengar interupsi itu. Abi yang sejak tadi berada di posisi bawah pun akhirnya menendang perut Satria, membuat kakaknya itu menjauh darinya.
“Abi! Cukup! Kamu tidak mendengar perintahku?” teriak sosok di pintu kamar. Abi mulai berdiri, dia memegangi wajah tampannya yang terasa nyeri. Ini akibat pukulan yang Satria berikan tadi.
“Kalian ada masalah apa, hah? Kalian sudah dewasa masih saja kekanakan dan tak berpendidikan. Aku akan laporkan kepada mama dan papa,” ucap Ciko tegas.
Tadinya Ciko mencari keberadaan kedua adiknya, namun dia dibuat terkejut saat melihat Satria dan Abi malah adu jotos.
“Sebelum Kak Ciko melaporkan kepada mama dan papa, lebih baik bawa dulu dia keluar dari kamarku,” perintah Abi yang malah ikut mengacuhkan Ciko yang tak tau menahu apa permasalahan ini.
Satria yang ingin membalas ketidaksopanan Abi langsung dihentikan oleh Ciko. Ciko mengkode Satria untuk keluar kamar. Alhasil keduanya meninggalkan Abi di sana.
“Kamu benar-benar mengecewakan, Satria. Ini kali pertama aku melihat kalian bertengkar. Permasalahannya sebesar apa sampai kamu tidak bijak dalam bertindak?” Ciko langsung mengajukan pertanyaan tanpa mempedulikan lebam di wajah sang adik.
Bukannya menjawab, Satria malah mengabaikan Ciko dan memilih menuju ke kamarnya sendiri. Ciko hanya bisa menggeleng, tak habis fikir dengan sikap adik-adiknya yang banyak berubah sekarang. Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua?