Dengan tenggorokan yang mendadak terasa kering, Sonya hanya mampu menatap Zeron tanpa suara. Kata-kata yang biasanya mudah mengalir kini tertahan di ujung lidah. Kalimat “Mau saya bantu supaya tidur nyenyak, Sonya?" itu terdengar biasa saja, tapi intonasi dan cara Zeron mengucapkannya yang membuat bulu kuduk Sonya meremang. Tatapan pria itu juga masih tertuju padanya, dalam dan menghanyutkan. Seolah menguliti lapisan demi lapisan pertahanan diri yang sejak awal coba dia bangun. Jemari Zeron masih berada di pipinya, lalu perlahan-lahan bergerak turun, menyusuri rahang hingga berhenti di dagu, mengangkat wajah Sonya agar sejajar dengan matanya. “Sonya?” Zeron memanggil pelan, lebih seperti gumaman yang berbisik di antara ruang sempit di antara mereka. “Kamu tidak ada niat untuk menjawa