Ahsan meneliti setiap ekspresi dari wajah Nahla, tak ada lagi tatapan mencemooh di matanya, atau ucapan judes di mulutnya, dia terlihat lebih manusiawi.
"Ayahku yang b******k, menikah dengan ibuku yang tak tau diri, jadilah aku berkubang dalam neraka. Aku sendiri tak tau dari mana wajah Timur Tengah ini aku dapatkan, ibuku pribumi asli, ayahku berdarah Inggris."
Nahla semakin larut dengan kisahnya, Ahsan sedikit tersentuh dengan hidupnya.
Nahla melanjutkan, "Tak sedikit pun ayahku menunjukkan kasih sayangnya padaku, mungkin karena itu alasannya, dari dulu ibuku adalah seorang jalang."
Ahsan mengenggam tangan Nahla, untuk menguatkannya, dia patut di kasihani, tidak disalahkan akhlaknya begitu buruk. Nahla diam, membalas genggaman Ahsan, ini yang dia butuhkan, seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
Mereka diam saling berpegangan, sama-sama menatap bulan purnama yang terlihat dari jendela yang belum ditutup. Ahsan mulai merubah pandangannya terhadap Nahla.
Ahsan sedikit kaget, saat Nahla menyandarkan kepalanya di bahunya, memejamkan matanya. Ahsan tak terbiasa dengan wanita. Sentuhan ini terasa asing baginya.
Nahla berbisik lirih," Biarkan begini sebentar! aku lelah." Suaranya terdengar melemah, suara itu mengisyaratkan rasa putus asa.
Ahsan menuruti, tapi tubuhnya kaku tak bisa merespon apa pun, ini asing baginya, walaupun Nahla adalah istrinya, tapi menerima perubahan secepat ini Ahsan belum siap.
Nahla tak menepati janjinya, dia mengatakan cuma sebentar, tapi apa yang dilihat Ahsan sekarang, gadis itu sudah bernafas teratur dengan mata terpejam, ya ... dia tertidur.
Beberapa menit Ahsan cukup tahan dengan posisi ini, tapi sekarang badannya mulai pegal, apa lagi Nahla sudah menumpukan badannya secara keseluruhan, mencari posisi ternyaman di tubuh Ahsan, memeluk pinggang Ahsan dan menyelusupkan wajahnya di d**a laki-laki itu.
Ahsan mulai tidak nyaman, dia harus memindahkan Nahla, dengan hati- hati Ahsan menggendong Nahla. Ternyata Nahla lebih berat dari dugaannya. Sungguh asing sekali, Ahsan tak bisa mendiskripsikan apa yang dia rasakan. Terasa aneh, menjadi seorang suami untuk wanita asing, dalam waktu yang mendadak.
Ahsan membaringkan Nahla dengan hati-hati. Sejauh ini belum ada perasaan apa pun di hatinya terhadap Nahla, dia cuma bersimpati dan bersikap layaknya teman bagi Nahla. Walaupun dia tak memiliki ras pada wanita itu, Ahsan bukanlah orang yang jahat.
Sedikit demi sedikit kebencian di hati Ahsan mulai terkikis, walaupun dia dicap seorang laki-laki yang kaku, tapi dia adalah manusia yang cepat bersimpati terhadap orang lain.
Nahla sudah tenggelam dalam mimpinya, meninggalkan Ahsan yang merenung. Semuanya sudah terjadi, pernikahan ini, Nahla, dan hukuman karena sesuatu yang tidak di lakukannya.
Mungkin Allah sengaja mengirim Nahla dalam hidupnya, untuk membantu gadis itu, akan tetapi apa kabar dengan hatinya? Hanum sudah menancapkan cintanya terlalu kuat di hatinya, tak sedikitpun rasa itu berkurang walaupun Nahla hadir dalam hidupnya. Bagaimana mereka menjalankan pernikahan ini tanpa cinta.
Ahsan memandang wajah Nahla dengan lekat, mencoba mencari debar di hatinya, tapi tak sedikit pun dia menemukan itu. Secara fisik, Nahla jauh lebih cantik dari Hanum, apa yang perempuan impikan ada pada Nahla, tapi tetap tak ada apapun di hatinya.
Ahsan menyelimuti Nahla, mungkin dengan menjalani dengan ikhlas adalah jalan satu-satunya saat ini. Dia pun tak tahu, ke mana pernikahan ini akan bermuara?
***
Pagi ke tiga menjadi suami istri, cukup baik. Tak ada lagi pertengkaran, Nahla pun bangun lebih awal dan ikut shalat berjamaah ke mesjid bersama Ahsan.
Saat ini dia sudah berada di dapur, memegang pisau dan seikat sayur, tapi dia masih belum melakukan apa- apa. Melihat pemandangan itu, Ahsan sedikit geli, sayur kangkung dan Nahla benar-benar tidak cocok, dia lebih cocok bergaya di depan kamera dengan rambut indahnya itu.
"Sayur itu takkan masak kalau kau hanya memegangnya," kata Ahsan.
"Kau ini tidak peka, seharusnya kau mengajariku dulu, apa yang harus aku lakukan dengan kedua benda ini."
Ahsan yang tadi meminum kopinya bangkit mendekati Nahla, mengambil talenan di rak piring.
"Sini sayurnya!kau harus menyimak, aku hanya mengajarimu sekali saja," kata Ahsan, gadis itu menyerahkan sayur itu kepada Ahsan dengan merengut.
"Pertama, kita buang uratnya dulu dengan cara dipotong, setelah itu kita potong dengan ukuran yang sama."
Nahla memperhatikan setiap ilmu yang diajarkan Ahsan.
"Setelah dipotong, kita cuci beberapa kali sampai bersih."
"Gampang sekali."
"Sekarang letakkan wajan di atas kompor, masukkan minyak goreng, sebelum api kompor dinyalakan, kita harus persiapkan dulu bumbunya, bawang merah dan bawang putih kita rajang terlebih dahulu." Ahsan menjelaskan dengan semangat.
"Kau mirip dengan chef hari ini." Nahla mengambil spatula, saat dia berbalik Ahsan pun membalikkan badan, mereka bertabrakan, benturan cukup keras terdengar dari kepala mereka, keduanya sama-sama meringis sakit.
"Ahsan ... keningku ...." Nahla meraba keningnya, Ahsan melihat bagian itu, benar saja, kening Nahla benjol membuat gadis itu terlihat lucu.
"Ini sakit sekali, kepalamu mengalahkan kerasnya batu." Nahla meringis."Apa kau tak berniat bertanggung jawab?" Mata besar Nahla melotot.
Ahsan gelagapan, "tunggu di sini!" Ahsan meninggalkan Nahla tergesa- gesa, mencari sesuatu yang bisa mengantisipasi masalah itu.
Nahla sudah merebahkan badannya di sofa single ruang tamu sambil meringis, beberapa saat kemudian Ahsan datang membawa sebuah bungkusan yang entah apa isinya.
"Pejamkan matamu, ini agak perih." Ahsan mengambil tempat di lantai, berjongkok di samping Nahla.
Nahla memejamkan matanya, Ahsan menempelkan bungkusan yang berisi nasi panas ke bagian yang benjol.
Baru saja menempel sedikit, Nahla menjerit sambil membelalakkan matanya.
"Apa kau ingin membunuhku? Apa itu? Rasanya sangat panas."
"Ini nasi panas biar benjolnya berkurang, ummiku selalu menggunakan ini apabila anaknya mengalami benjol."
"Astaga, kau hidup dizaman apa? tak adakah obat yang lebih keren dari yang kau gunakan."
"Kalau begitu obati sendiri olehmu, kau terlalu cerewet."
Ahsan baru saja berniat meninggalkan Nahla, ketika tangannya dipegang gadis itu.
"Kau perajuk sekali, ya sudah! sini! obati lagi!"
Ahsan akhirnya duduk, walaupun masih kesal. Nahla memejamkan matanya, mencengkram sisi sofa, saat bungkusan nasi panas menyentuh keningnya, Nahla merintih pelan sambil mengigit bibirnya.
Pemandangan tersebut tak lepas dari tatapan Ahsan, mata berbulu lentik yang terpejam, bibir merah muda yang digigit, serta suara rintihan yang mengalun merdu, kepala yang terangkat memamerkan leher putihnya. Tiba-tiba Ahsan merasakan jantungnya memompa darah dengan cepat, tubuhnya panas dingin, serta keinginan yang tak bisa di deskripsikan.
Ini adalah syahwat, dia harus berhenti sampai di sini, dengan tergesa-gesa Ahsan berdiri menyelamatkan mereka berdua.
"Maaf, sepertinya sayur kita kehabisan kuah."
Nahla memandang bingung kepergian Ahsan. "Ck ck ck, ada apa dengannya?Dasar pria aneh."