Hari menjelang malam. Masih di area taman belakang, teh hangat disuguhkan oleh Sinola untuk Benjamin. Suasana ramai telah usai berganti malam syahdu, hanya suara elemen alam dan juga hewan malam yang masih terjaga.
Sinola segera mengambil posisi duduk sebelah Benjamin yang kusyuk memandangi api unggun.
Dalam benaknya, Sinola masih tak percaya bahwasanya Benjamin sama sekali tak marah padanya. Saat ketahuan tadi siang, pria itu malah membantu Sinola untuk menghibur teman-teman penderita kanker di rumah singgahnya.
"Makasih udah gak ngajak di ribut ulang tahunnya Ryan." Suara Sinola memecah keheningan malam.
"Saya gak pernah ngajakin kamu ribut."
"Tapi lo masih marah kan sama gue? Apalagi klien penting pergi gara-gara gue."
"Itu beda, Nola. Kalau alasannya gara-gara ini, saya juga bisa memahami," timpal Benjamin terdengar pelan.
"Ben. Gak apa-apa banget kalau lo mau overthingking ke gue. Benci gue pun silahkan. Udah biasa lagi," timpal Sinola santai.
"Maaf."
"He?" Sinola merespon terkesiap. Netranya kini beranjak fokus menatap sosok Benjamin di sebelahnya kala kata maaf menguar barusan.
"Maafin saya, Nola." Begitupun dengan Benjamin. Netranya beralih menatap ke arah Sinola. Kini, keduanya saling bersitatap intens di hadapan api unggun yang terasa hangat.
"Buat apa? Di sini kan gue yang salah," tutur Sinola tetap menyalahkan dirinya.
"Karena udah diemin kamu dan berpikiran negatif. Kamu bener, saya gak tahu apa-apa tentang hidup kamu, tapi malah seenaknya men-judge," aku Benjamin penuh sesal.
Sementara itu, tak dapat dipungkiri, wajah tampan dari jarak dekat sukses membuat Sinola cukup terpesona, wajah pria matang nan bijak.
"Ya, gak apa-apa juga. Gue terima kok kalau lo benci sama cewe yang keliatan murahan kayak gue."
"Bisa gak kalau kamu gak ngerendahin diri sendiri?" tegas Benjamin di luar dugaan Sinola.
"Tapi itu kenyataan, Ben. Semua staf kantor tau, kok." Sinola tak kalah membalas dengan nada tegas.
"Tapi, mereka gak tau kamu yang sebenarnya." Benjamin menghela napas sebelum kembali berucap. "Gak semua orang, bahkan hanya orang -orang terpilih yang bisa jalanin ini semua. Kamu mengagumkan, Nola."
DEG!
Hati Sinola spontan terperanjat hebat diiringi sensasi kupu-kupu yang beriak di dalam perut kala mendengar pujian dari Benjamin.
Gadis itu lupa, kapan terakhir orang di sekitarnya mengapresiasi apa yang telah ia lakukan, selain sang sahabat, Atreya.
"Gue gak menganggumkan itu, Ben," kilah Sinola menolak sanjungan Benjamin. Saking malunya, gadis itu memalingkan pandangan ke arah api unggun.
"Sekarang saya tanya, kenapa hari sabtu?"
"Ya, kali hari biasa, gue kan kerja, Ben."
"Nah. Kalau kamu jahat dan egois, kamu bisa aja seenaknya. Kamu bisa memanfaatkan jabatan CEO kamu untuk menindas dan malas-malasan."
Sinola pun kembali terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ucapan Benjamin terdengar tegas, tapi terselip makna tulus.
"Jake ... alasan kenapa gue nyaman sama dia karena cuma dia yang bilang kalau gue berpotensi setelah Treya," tutur Sinola seraya tersenyum getir. "Gara-gara itu, akhirnya kita jalanin friend with benefit. Bahkan papa sekalipun selalu menganggap gue ... bermasalah."
Atmosfer di sekitar mereka tiba-tiba berubah sendu kala Sinola mengatakan apa yang telah dipendam. Suara percikan api unggun menjadi irama alam yang mengiringi percakapan dalam keduanya.
"Kamu ... cinta sama Jake?" tanya Benjamin to the point. Rautnya begitu tegas seolah meminta jawaban segera.
"What! No." Sinola terkekeh geli sebelum melanjutkan ucapannya. "Gue gak percaya sama cinta, Ben. Saat lo mukul dia tempo hari. Sebenernya gue mau mengakhiri hubungan FWB kita. Awalnya kita enjoy ngejalanin semua ini. Tapi belakangan gue sadar kalau Jake udah berubah jadi obses." Sinola bercerita sembari memandang lurus ke arah api unggun.
Benjamin tampak tak ingin menginterupsi sosok Sinola yang seolah sedang terbuka padanya. Meski begitu, entah mengapa Benjamin tak ingin melepaskan pandangannya dari sosok sang CEO sembari sesekali tersenyum sipu.
Saya bangga sama kamu, Nola.
"Ekhem, suka atau tidak suka, perbuatan Jake tetep masuk ranah kriminal. Saya akan tetap menggunakan wewenang saya untuk tidak membiarkan dia ada di Cosme," respon Benjamin menanggapi.
"Iya ngerti. Gue juga udah ambil keputusan kalau Jake udah gak sehat buat Cosme. Tapi, mecat dia tanpa kesempatan kedua juga bukan solusi. Gue mutusin buat mutasi Jake ke perusahaan papa yang lain," sanggah Sinola bijak.
"Jujur, saya kurang puas. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu bahwa mulai sekarang, saya yang akan mengisi peran Jake untuk kamu."
DEG!
Sinola kembali terdiam, perangai Benjamin benar-benar mengaduk-aduk hatinya saat ini. "Mak-sudnya?"
"Maksudnya ... saya yang akan bantu kamu sampai Cosme bisa semakin sukses. Seperti Jake membantu kamu," jawab Benjamin meluruskan meski niat awal lebih dari itu, pria itu kentara menyembunyikanya
"Ah ... gitu."
Suasana canggung tiba-tiba menyeruak di antara mereka. Keduanya saling melempar pandang ke arah lain.
"Jadi kita ... gak musuhan lagi, kan?" tanya Sinola mengalihkan topik.
"Saya gak pernah musuhin kamu, Nola."
"Lha, itu ngediemin gue lama."
"Saya masih ngobrol sama kamu masalah–"
"Masalah kerjaan doang. Huu," sela Sinola sembari mengejek Benjamin. "Kita tuh tinggal serumah, Ben. Masa iya say hallo aja lo gak mau."
"Iya, deh kamu bener," pasrah Ben mengalah.
Kedua insan berbeda umur hampir sepuluh tahun itu pun memutuskan kembali akur dalam obrolan santai, tetapi intens.
"Oh iya, kalau sabtu kamu di perlukan di Cosme, biar saya bantu nengokin teman-teman di sini. Gimana?" tawar Ben.
"Boleh juga. Tapi lo tenang aja. Treya biasanya terlibat. Cuma ya itu, sabtu ini special buat Ryan. Jadi gue yang harus datang langsung."
"Berapa umurnya Ryan?"
"17 tahun. Dia udah kayak adek sendiri."
"Bisa ceritain lengkap tentang Ryan?"
"Uhm ... udah malam banget kayaknya. Next time, ok." Seolah ada yang ditutupi, Sinola mengalihkan topik pembicaraan.
"Besok gak ada klien, kan? Gue besok harus dampingin Ryan operasi.
"Gak ada. Oh, iya, saya akan ikut nemenin kamu dampingi operasi, ya," tawar Benjamin untuk kesekian kali.
"He? Gak perlu, Ben. Gue bisa—"
"Gak apa-apa. Lagian saya gak ada kegiatan juga," sela Benjamin cepat-cepat.
Nih cowo aneh, kalau lagi marah, marah banget. Kalau lagi baik, baiknya gak ketulungan, aneh. Sinola membatin sejenak megasumsikan sikap Benjamin
Tak lama, Benjamin mengajak Sinola pulang. Namun, gadis itu menolak dengan alasan membawa mobil sendiri.
"Kamu pikir saya bakal biarin kamu nyetir selarut ini? Gak akan, ya. Biar Pak Beno yang jemput mobil kamu besok ke sini," sergah Benjamin sembari segera menelpon Pak Beno, supir pribadi Sinola.
Pada akhirnya, hubungan Sinola dan Ben kembali akrab di malam itu.
Beberapa jam kemudian.
"Kita udah sampai," ucap Benjamin sesaat setelah berhasil memarkirkan mobil di halaman kediaman Sinola.
"Nola–"
Ucapan Benjamin terhenti kala Sinola ternyata masih tertidur dengan lelap di bangku penumpang sebelah bangku kemudi.
Alih-alih membangunkan, Benjamin malah tergoda untuk menatap sosok cantik yang tengah tertidur damai.
Kamu ngagumin, Nola.
Semakin lama, Benjamin seolah terhipnotis pada sosok di hadapannya. Jauh dari lubuk hati, hasrat Benjamin begitu menggebu pada putri sahabatnya itu.
Tanpa disadari, jemari sang pria mulai tergoda untuk menggapai surai coklat milik Sinola. Tak hanya itu, Belah ranum tipis Sinola seolah turut memanggil-manggil Benjamin untuk minta dicicipi.
Jakun Benjamin spontan naik turun seraya menatap lekat area belah ranum dihadapannya. Perlahan, ia mulai mendekatkan wajah tampannya.