3~DS

845 Words
Ini salah! Sinar tahu itu. Namun, tubuhnya seakan menolak untuk mundur. Ia menginginkan Bintang, pria yang seharusnya tidak boleh ia inginkan. Mereka semakin dalam, semakin menguasai, seolah menenggelamkan keduanya dalam arus yang tidak lagi bisa dihentikan. Bintang tidak menarik diri, begitu pun Sinar. Tidak ada lagi akal sehat yang mengintervensi, hingga .... Dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan. Bintang tersentak, seolah baru tersadar dari sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Dengan helaan kasar, ia menjauh. Meraih ponselnya di atas ujung meja bar. Telunjuknya sedikit gemetar saat menggeser ikon hijau di layar, untuk menerima panggilan video dari seseorang. “Papaaa! Kapan pulang?” Suara kecil nan manja dari panggilan video itu, sontak menyadarkan Sinar yang masih duduk di samping Bintang. Gadis itu menggigit bibirnya yang terasa tebal juga kebas, sisa dari apa yang baru saja mereka lakukan. Di sebelahnya, Bintang tersenyum lembut, menatap sosok bocah kecil di layar yang tengah asyik menikmati es krimnya. “Nanti sore Papa pulang,” jawab Bintang begitu hangat, tanpa sedikit pun menghilangkan senyum di wajahnya. Lagi-lagi, hati Sinar terasa retak. Ia tahu, ia harus pergi. Secepat mungkin. Dengan gerakan hati-hati, Sinar mencoba berdiri. Namun, belum sempat melangkah, jemarinya sudah lebih dulu diraih oleh Bintang. Pria itu menariknya lembut, tetapi cukup kuat untuk membuatnya kembali duduk. Bintang menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. Meminta Sinar untuk tetap di sana. Namun, semakin lama, rasanya semakin mustahil bagi Sinar untuk tetap tinggal. “Nanti malam ke toko buku ya, Pa. Sama Mama juga,” lanjut bocah tersebut. “Oke,” jawab Bintang tanpa ragu. Sinar ... membeku. Haruskah ia tetap tinggal? Haruskah ia terus menjadi saksi obrolan penuh kehangatan antara ayah dan anak itu? Lalu, suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang sana. “Mas Bintang, nanti malam sekalian makan di luar, ya? Ibu kangen ngumpul katanya.” Wajah Sinar memanas detik itu juga. Matanya mulai mengembun, dadanya terasa sesak. Rasa bersalah mendera begitu hebat. Dengan pelan, ia melepaskan jemarinya dari genggaman Bintang, lalu berdiri dan melangkah pergi menuju kamar. Tanpa membuang waktu, Sinar mengemasi barangnya. Dengan tergesa, ia mengenakan jaket dan sneaker, sementara setitik air mata jatuh di pipi dan ia buru-buru menyekanya. Sinar pergi tanpa pamit. Tidak ingin menginterupsi tawa yang menggema di ruang tengah apartemen itu. Ia melangkah dalam diam, tidak lagi menoleh ke belakang. Rasanya berpisah dengan Angkasa tidak sesakit ini. Namun, kali ini, ada sesuatu yang jauh lebih berat. Ada penyesalan yang menggelayut, membuatnya merutuki kebodohan sendiri. Sinar hampir merusak sesuatu yang bukan miliknya. Ia telah m*****i sebuah ikatan suci, yang telah dibangun dengan cinta dan kepercayaan. Dan ... itu salah! Langkahnya semakin cepat meninggalkan apartemen itu, tapi bayangan tadi terus mengikuti—senyum Bintang yang begitu lembut saat berbicara dengan anaknya, suara tawa kecil yang penuh kasih, dan panggilan hangat seorang istri. Sinar mengepalkan jemarinya, menahan perasaan yang mendidih di dalam d**a. Ini salah. Ini seharusnya tidak terjadi. Dan satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pergi. Pergi sebelum ia benar-benar kehilangan dirinya sendiri. ~~~~~~~~~~~ “Sinar, empat mata di ruang meeting,” ucap Bintang. Ia sengaja datang lebih pagi, agar bisa bicara lebih dulu dengan Sinar. Ada yang harus mereka selesaikan secepatnya, mengenai kejadian kemarin pagi. Waktunya memang terasa tidak tepat, tetapi Bintang tidak punya pilihan. Sejak kemarin, Sinar tidak kunjung menerima panggilannya dan tidak juga membuka pesan yang ia kirimkan. “Tapi saya banyak kerjaan, Pak,” elak Sinar. “Ini hari senin jadi—” “Ke ruang meeting,” putus Bintang tegas, memberi perintah. “Lima menit.” “Ada surat yang harus saya—” “Sinar Bhanuresmi.” Intonasi Bintang mulai meninggi. Sinar mengerjap, tidak berani lagi membantah. Dengan langkah malas, ia berjalan menyusul Bintang, sementara pipinya sedikit menggembung menahan kesal. Andai saja Bintang bukan atasannya, Sinar pasti tidak akan ragu menyemprotnya dengan serangkaian omelan. “Tutup pintunya,” titah Bintang yang lebih dulu berada di ruanga meeting. Setelah memastikan Sinat menutup pintu, ia lantas bersedekap. “Kenapa semua telpon dan pesan saya kamu abaikan?” “Karena nggak ada yang perlu kita bicarakan.” Sinar hanya berdiri di samping pintu, menjaga jarak. “Kecuali masalah pekerjaan.” “Setelah apa yang telah kita lakukan kemarin, sekarang kamu bilang nggak ada yang perlu kita bicarakan? Begitu?” Dengan pipi yang mengembung, Sinar mengangguk. Tanpa mau melihat Bintang. “Karena semua itu salah.” Bintang menghela kecil. Perbuatan mereka memang salah, tetapi ada sesuatu yang harus ia perjelas. “Datang ke apartemen saya sepulang kantor,” ucap Bintang lembut. Ia mengambil dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan sebuah kartu. Memberikannya pada Sinar. “Ini access card—” “Saya nggak mau,” tolak Sinar mundur satu langkah. Memegang handle pintu dan bersiap membukanya. “Jangan diteruskan dan jangan dibicarakan lagi. Pak Bin sudah punya istri sama anak, jadi, yang kemarin itu ... salah.” “Tapi ada yang harus saya jelaskan.” “Nggak perlu,” tolak Sinar. “Simpan penjelasan itu buat Pak Bin. Saya nggak butuh.” “Sinar—” “Saya pergi dulu, Pak.” Sinar membuka pintu ruang meeting dengan segera. “Dan ... cukup sampai di sini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD