“Bim! Stop, Bim,” pinta Sinar menepuk-nepuk lengan Bima. “Minggir bentar,” pintanya lalu menutup mulut. Berusaha menahan sesuatu yang bergejolak di dalam perutnya. “Duh!” Bima berdecak. Meski begitu, ia tetap menepikan mobilnya dengan hati-hati. Begitu berhenti, Sinar langsung keluar dan berjongkok di trotoar. Melihat hal tersebut, Bima bergegas keluar. Berjongkok di samping Sinar dan memijat tengkuk gadis itu. “Gara-gara yang tadi, nih, pasti,” ujar Bima. “Lo pasti telat makan. Maag, terus muntah-muntah. Jangan sampe kayak kak Vio, kapan lalu pernah sampe masuk rumah sakit gara-gara makannya nggak jelas.” “Berisik!” Sinar masih sempat-sempatnya menghardik Bima, lalu kembali memuntahkan isi perutnya. Setelah dirasa nyaman, ia terduduk begitu saja. Tidak mau peduli dengan pandangan

