Pagi itu, hati Sinar sudah tidak semendung langit yang menemaninya pergi ke kantor dengan motornya. Kendati masih ada luka yang tidak akan pernah bisa hilang, tetapi setidaknya ia sudah belajar untuk berdamai. Luka itu pasti akan tetap ada, tetapi kini tidak lagi menguasai dirinya. Ada keyakinan kecil yang tumbuh perlahan, memastikan bahwa setiap langkah yang ia ambil, sekecil apa pun, adalah bentuk keberanian untuk melanjutkan hidup. Sinar tahu, perpisahan bukan akhir dari segalanya. Bukan pula akhir dari perasaannya terhadap Bintang. “Pagi, Dai,” sapa Sinar lebih dulu ketika mereka berdua sampai di pelataran kantor. Penampilan keduanya begitu kontras. Daisy keluar dari mobil dengan dipayungi sopirnya hingga pelataran. Sementara Sinar masih sibuk melepas jas hujannya. “Pagi, Nar.” Dai

