2- Murid Baru

2208 Words
"Eits, mau ke mana?" Jun dan Rehan menghentikan langkah masing-masing ketika mendengar seruan dari belakang mereka. Saat membalik badan, Fina sudah menatap garang ke arah dua cowok itu sembari berkacak pinggang. Tatapannya seolah berkata awas-kalau-berani-pergi, membuat dua cowok itu tak berkutik lagi. Jena yang tengah memberesi bukunya dan hendak memasukkan buku itu ke dalam tasnya, ikut menoleh. Pun beberapa murid yang masih berada di kelas mereka. Seruan Fina memang cukup memekakkan telinga. "Kita berdua ikutan juga?" Rehan menunjuk dirinya dan juga cowok yang tengah merangkul pundaknya itu. Anggukan kepala Fina menjawab pertanyaan Rehan. Cowok itu langsung mencebik bibir dan memutar bola mata jengah. "Iya-in aja udah." Jun melepas rangkulannya pada Rehan dan berjalan lebih dulu, ia kembali menuju ke kursinya, kursi yang tepat di sebelah kursi Jena. Meja mereka bersebelahan. Sedangkan Rehan menduduki meja di depan Jun, posisi cowok itu sekarang berada lebih tinggi dari Jun. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Buruan, gue laper mau ke kantin." Fina berhenti memelototi kedua cowok itu, setelah keduanya menurut dengan damai. Kemudian ia beralih memandang Karina yang sejak tadi menatap mereka dengan tatapan bingung. Fina menyengir lebar. "Ini temen-temen gue." Fina mulai mengarahkan tangannya ke satu per satu teman yang dimaksudnya. Jena berinisiatif mengulurkan tangannya, yang langsung disambut oleh Karina. "Jena," ucapnya sambil tersenyum. Ia tersenyum manis namun baru beberapa detik, ia sudahi. Jun yang melihat senyuman singkat dari Jena itu buru-buru mengacak poni Jena. "Idih," sergahnya. Kemudian cowok itu terkekeh saat Jena mendelik padanya. "Poni gue berantakan!" Jena tentu saja tidak terima. Gadis itu bergegas merapikan poni ratanya setelah menggeplak lengan Jun. Jun mengulurkan tangannya ke hadapan Karina disaat tangan yang satunya mengelus hasil karya Jena di lengan yang tengah terulur itu. Sambil meringis kesakitan, ia menyebutkan namanya. "Gue Jun." Karina menyambut uluran tangan Jun, namun saat ia hendak menarik tangannya, ia kesulitan. Jun menahan tangan Karina. "Belom selese." Jun benar-benar menahan tangan Karina. "Jun, The King of Making Friend," sambungnya diiringi dengan kerlingan matanya. Sedetik berikutnya ia tersenyum lebar memunculkan senyum bulan sabitnya. Tak sadar pipi Karina merona saat melihat hal itu. "King of Making Friend?" tanyanya dengan nada bingung. Dahinya berkerut dalam menatap Jun. "Eh, lo akhirnya gunain julukan itu?" celetuk Fina. Ia menatap Jun dengan dagu terangkat. "Katanya norak." Jun terkekeh. "Tadinya gue pikir norak, tapi setelah gue pikir-pikir, keren juga," ucapnya dengan bangga. Ia menerawang saat ia pertama kali mendengar julukan itu. "Jadi ... King of Making Friend itu maksudnya apa?" Karina rupanya masih penasaran. Ia menatap Fina dan Jun bergantian. Fina mengerjapkan matanya. Ia langsung menjelaskan, "Oh itu ... Jun itu satu-satunya anak di kelas kita yang punya teman terbanyak. Satu sekolah pasti tahu siapa Jun. Dari yang seangkatan, kakak kelas, adik kelas, semua tahu siapa Jun." Fina menjeda sebelum kembali menyambung kalimatnya. "Makanya gue sama anak-anak kelas pernah kasih julukan itu ke dia." Karina mengangguk-angguk saja mendengar penjelasan dari Fina. "Bahkan tukang becak di depan gerbang sekolah pun tahu siapa Jun," celetuk Rehan dibarengi tawa dari Fina dan Jena. "Ada-ada aja." Jena menggelengkan kepalanya. "Jangan dianggep serius, Rin. Itu cuma julukan iseng doang waktu ada pemilihan ketua kelas," ucap Jena dengan nada malas. "Emang bener tahu, siapa sih di sekolah yang gak kenal gue?" Jun menunjuk-nunjuk Jena. Ia mengulum bibirnya. Jena hanya memeletkan lidahnya. "Itu namanya SKSD. Sok Kenal Sok Deket. Bukan karena lo punya banyak temen." Jun menganga. Ia sudah hendak menggulung lengan seragam OSIS-nya namun tidak jadi saat menyadari keberadaan Karina di tengah-tengah mereka. "Jelasin, Pin!" Ia mencoba mengatur emosinya. Fina dengan sigap mengangguk, lalu mulai membuka telapak tangannya lebar-lebar. "Ketua klub dance, anggota OSIS, ranking satu berturut-turut sejak kelas sepuluh, ketua kelas, dan yang terakhir ..." Fina menjeda. Lalu dengan malas menyambung kalimatnya. "... Jun itu ganteng." Karina takjub setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari Fina. Ia bahkan sampai menutup bibirnya. "Wah." "Itu berdasarkan survei yang gue kumpulin." Fina menyahut dengan cepat. "Jangan takjub dulu, Rin. Masih banyak pesona gue, kok." Jun berujar dengan percaya dirinya sambil mengerling nakal. Cowok itu bahkan memajukan kepalanya, namun Jena langsung mendorong kepala Jun. "Ganteng dari mana?!" Jena memekik dengan nyaring. Tangannya mulai terulur ke depan wajah Jun. "Kalau wajahnya kek Park Seo Jun itu baru bisa dikatakan ganteng. Wajah pas-pasan gitu dibilang ganteng, Pin?" Jun mengelus dada sabar, sedangkan Rehan yang sejak tadi jadi penonton malah tertawa girang. Karina pun terkekeh geli. "Gue gak tahu sih itu kesimpulan dari mana ... kata adik kelas sih Jun ganteng. Kata kakak kelas juga," jawab Fina. "Tapi kok di mata gue, Jun ya biasa aja ya, sama kek si Rehan. Biasa aja. Bener kata lo, Jen, wajah mereka tuh pas-pasan." "Eh, kok gue dibawa-bawa?!" Rehan tidak terima. "Dari tadi gue diem deh perasaan." "Nah, kalau dia yang namanya Rehan." Fina menunjuk Rehan. Ia bersikap acuh, tak menanggapi protes Rehan barusan. "Wah. Jun ketua kelas?" Karina menatap Jun dari samping. Sebenarnya sejak tadi ia hanya menatap Jun. Bahkan Jena yang berada di depannya tidak dilirik sedikitpun. "Iya." Jena menjawab. Hal itu membuat Karina menatap Jena. "Jun emang ketua kelas ini. Tapi dia dipilih karena gak ada yang mau jadi ketua kelas selain dia," selorohnya. Gadis itu mengatakan hal itu dengan wajah datar. Jun hanya dapat menggerakkan tangannya untuk mengelus dadanya sendiri. Rehan ikut-ikutan mengelus punggung Jun, namun tetap diselingi dengan kekehan. "Gue seneng kenal sama kalian, deh." Karina menatap keempat orang di depannya itu dengan senyuman melekuk. Kemudian kembali berujar. "Jadi temen gue ya?" Fina terkekeh. "Pasti. Kalau ada apa-apa, kabarin gue aja, oke?" Gadis itu melebarkan senyumnya. "Nanti gue ajak setiap mau jajan ke kantin, biar bareng," tambahnya. Fina mengalihkan tatapannya pada Jena. "Iya 'kan, Jen?" Jena tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. "Iya." Karina memperhatikan keempat sahabat itu dengan seksama. Namun yang paling lama ia pandangi adalah interaksi antara Jena dan Jun. Keduanya tengah berceloteh saling mengejek, yang Karina tidak tahu apa maksudnya. Ia hanya menangkap bahwa kedua orang itu terlihat sangat dekat. Tidak seperti Rehan dan Fina yang terlihat biasa saja. "Kalian berdua pasti deket banget, ya?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibir Karina begitu saja. Pandangannya tertuju pada Jena yang tengah memprotes Jun karena mengobrak-abrik poninya, lalu beralih ke Jun. Semuanya sontak menatap Karina. "Jena dan Jun?" Fina yang tidak mendapat pertanyaan itu malah menjawab. "Dari nama mereka aja udah kelihatan," candanya. Gadis itu memeluk lengan Jena di sampingnya. "Mereka udah sahabatan sejak orok." Karina lagi-lagi tak dapat menyembunyikan rasa takjubnya. "Oh iya?" Fina mengangguk mantap, kemudian memandang Jena dari samping. "Bahkan sekolah mereka selalu sama sejak TK," ucapnya lagi seraya beralih menatap Karina. "Wah." Karina mengangguk-anggukkan kepalanya dengan binar mata takjub. Persahabatan nyata seperti Jena dan Jun itu sangat langka baginya. Jadi tentu saja ia takjub. Bibir Karina hendak mengucap kalimatnya lagi namun terhenti saat ada seorang cowok -teman kelas mereka- yang mendatangi deretan meja Jena. "Jena, disuruh Bu Afni ambil buku tugas Sosiologi di kantor." Setelah mengucap itu, cowok itu kembali ke luar kelas, tanpa menengok lagi. Jena yang mendengarnya hanya dapat mengangguk paham, tanpa menyahut. Berikutnya ia bangkit dan beranjak dari duduknya. "Gue ikut." Jun ikut bangkit dan langsung menahan tangan Jena, membuat Jena menoleh. Cowok itu bergegas menyamai langkah Jena. "Lo mau ngapain?" Jena memandang Jun dengan kening berkerut. "Gue juga ada perlu di kantor guru," jawab Jun. Cowok itu bergegas merangkul pundak Jena dan menariknya ke luar kelas. "Udah, ayo!" Punggung mereka makin menjauh dan menghilang ditelan pintu, seiring mata Karina yang tak lepas memandangi keduanya. Karina tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, namun yang jelas, ia merasakan dirinya saat ini sangat-sangat aneh. Bukankah harusnya ia senang mendapatkan penerimaan yang baik oleh teman barunya pada hari pertama di sekolah baru? Tidak seharusnya 'kan ia merasa cemburu oleh kedekatan Jena dan Jun itu? Lagipula mereka berdua hanya bersahabat. Ini sangat aneh. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Ke kantin, yuk?" Lamunannya buyar saat Rehan berdiri dengan cepat sehingga menimbulkan bunyi berdebam keras. Ia memandang Rehan yang sudah berjalan menjauh menuju ambang pintu. Lalu lengan Fina langsung mengait di lengannya begitu saja. "Yuk." *** "Menurut lo, Karina gimana?" Jena bertanya pada Jun yang berjalan di sisi kanannya. Gadis itu mendongak, dan menatap Jun yang menjulang di sebelahnya. Mereka tengah berjalan perlahan di koridor kelas sepuluh dengan kedua tangan yang mendekap tumpukan buku. Masing-masing lima belas buku. "Gimana apanya?" jawab Jun dengan cepat. Ia tidak menoleh pada Jena dan terus menatap koridor di depannya, sesekali tersenyum saat mendapatkan sapaan. Jena mengalihkan tatapannya, dan ikut menatap ke depan. "Ya ... orangnya ..." katanya terbata. Lalu ia kembali menatap Jun dengan cepat. "Menurut lo dia gimana anaknya?" "Maksud lo first impression?" Jun kini menatap Jena, ia mengangkat sebelah alisnya. Jena mengangguk berulang kali. "Iya, itu." "Oh," seloroh Jun. Cowok itu kembali menatap koridor di depannya sembari berujar lagi, "Ya gitu. Seperti cewek pada umumnya." Jena menatap Jun dengan kesal. "Ih." Jun terkekeh mendengar pekikan kesal dari Jena. Ia langsung menatap Jena dan menyeringai aneh. "Kenapa? Lo takut kesaing cantiknya sama dia?" tanyanya dengan nada menyebalkan. Jena memutar bola matanya jengah. "Ih, bukan gitu!" Kakinya menghentak sebal. Kemudian ia mengendalikan emosinya dengan cepat sembari mengembuskan napas. Berada di dekat Jun memang sering membuat Jena kesal. Jena kembali berujar dengan nada yang tidak setinggi sebelumnya. "Kok gue gak suka ya sama tatapannya." Jun sontak menghentikan langkahnya, membuat Jena ikut berhenti melangkah. Cowok itu menatap Jena. "Tatapannya dia kenapa memangnya? Gue lihat tadi biasa aja kok." Cowok itu mengerutkan keningnya. Ia sudah lama tidak mendengar Jena mengungkapkan ketidaksukaannya pada seseorang. Terakhir kali saat mereka SD, itu pun pada anak-anak yang mengganggu Jun dulu. Seingatnya, Jena tidak pernah lagi mengutarakan bahwa ia tidak suka pada seseorang. Apalagi ini pada pertemuan pertama. "Ya kayak sinis gitu. Kayak gak suka sama gue gitu. Jantung gue rasanya gak enak aja pas di dekat dia," jawab Jena asal. Namun selanjutnya gadis itu langsung menggelengkan kepalanya. "Ah, mungkin cuman perasaan gue aja kali, ya." Jena kembali melangkahkan kakinya. Iya, seharusnya ia tidak boleh memiliki prasangka buruk pada Karina, 'kan? Apalagi mereka baru pertama kali bertemu, dan Jena belum tahu bagaimana sifat Karina yang sebenarnya. Jadi kini ia berusaha terus berpikir positif dan mengabaikan perasaan aneh yang muncul itu. Jun mengejar langkah Jena kemudian tanpa ada aba-aba cowok itu menyerahkan sisa buku yang berada di dekapannya ke atas tumpukan buku di dekapan Jena. "Lo tuh cuma iri karena dia cantik." Jun berkata dengan menyeringai. Lalu cowok itu berlari menjauh sembari tertawa keras-keras. "Lo yang bawa semuanya, ya!" serunya saat ia sudah berada di tikungan koridor kelas sebelas. Jena mendelik sebal. "Jun!" Ia kelabakan menerima tumpukan buku yang makin berat di dekapannya. Langkahnya sempoyongan menjaga keseimbangan. "Arjuna! Bantuin gue!" Jun hanya terkekeh dan memeletkan lidahnya melihat Jena yang kesusahan. "Rasain! Lagian lo tuh gak boleh iri sama orang." "Eh, Jun! Sini bantuin gue! Berat!" Jena masih kewalahan seorang diri. Ia sejak tadi menjadi tontonan beberapa murid yang melintas. Bukannya malu, Jena malah kini berjalan dengan sisa kekuatannya dan menyusul Jun. "Wle!" Jun lagi-lagi memeletkan lidahnya. Lalu ia tertawa puas sambil memegangi perutnya. Jena masih berusaha berjalan dengan penglihatan yang minim karena buku itu menyentuh hidungnya. Ia hanya dapat melihat setengah badan Jun. Lalu dengan susah payah ia akhirnya dapat melihat koridor di depannya setelah berjinjit dan mendongak kuat-kuat. Ia juga bisa melihat Jun yang masih tertawa lebar. Mulut Jena yang penuh dengan makian untuk Jun sejak tadi kini berhenti merapal. Sekelebat ingatan aneh melintas di ingatannya. Tentang seseorang yang tertawa, dan suaranya persis dengan suara Jun. Kemudian secara ajaib Jena melihat Jun berubah. Jun tetaplah berwajah Jun seperti biasanya, namun pakaian cowok itu berubah. Jun yang berada tepat di depan Jena kini tiba-tiba mengenakan pakaian batik tradisional, dengan celana hitam kedodoran. Pakaian yang hanya bisa ia lihat di buku sejarahnya, pada saat zaman penjajahan dulu. Lalu dengan sekejap Jun kembali berubah dan mengenakan seragam OSIS-nya tadi. Mulut Jena menganga menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Bibirnya terbuka lalu menutup kembali, ia bingung berucap. Sekelebat bayangan tadi sangat tidak masuk akal baginya. Reflek Jena menjatuhkan seluruh tumpukan buku di dekapannya. Suara berdebam keras langsung menyapa pendengaran semua orang yang ada di koridor itu. Buku-buku itu berserakan namun tak ada yang mau membantu memungutinya. Jena masih mematung. Menatap Jun yang kini berjalan ke arahnya dengan tatapan khawatir. Sekelebat bayangan itu kembali muncul. Jun yang tengah melangkah ke arahnya kembali berubah menjadi sosok lain yang mengenakan pakaian batik tradisional. "Andjani, kamu tidak apa-apa?" Bahkan nama Jena berubah saat diucap oleh Jun. Cowok itu berubah menjadi orang lain namun dengan wajah yang masih sama. "Jun ..." Hanya itu yang dapat Jena ucapkan. Ia masih tercengang, bingung menatap sosok orang di depannya. Siapa sebenarnya sosok yang barusan ia lihat? "Aaa!!" Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang sekali dan terasa sangat nyeri. Jantungnya berdenyut-denyut seperti ada peluru yang menghujami. Sakit sekali. Jena memegangi dada kirinya kuat-kuat. Jun yang melihat Jena dengan wajah kesakitan langsung mempercepat langkahnya, bahkan berlari menghampiri Jena. Ia khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu. "Jena, lo gak pa-pa?" Tangan Jun merayap ke pundak Jena dan memegangi gadis itu dengan kuat. Jena kini dapat melihat Jun yang sesungguhnya. Jun yang mengenakan seragam OSIS seperti biasanya. Tidak ada lagi Jun dengan pakaian batik tradisional seperti yang barusan ia lihat. Cowok itu panik menatap Jena yang terus merintih kesakitan sembari memegangi dada kirinya, dan makin panik saat melihat Jena kini limbun tak sadarkan diri di dalam pelukannya. Jena pingsan. "Jena!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD