Jun mengalami banyak hal mengejutkan di hidupnya. Pertama ketika ia masih TK, ia sudah harus kehilangan Ayahnya, sosok yang paling disayanginya itu harus pergi dari sisinya untuk selamanya. Sejak masih di dalam usia dini pula Jun sudah harus dituntut lebih tua dari usianya. Kakak perempuannya yang jarak usianya cukup jauh di atasnya pun jauh lebih baik kehidupannya dahulu, dibanding ketika keluarganya harus kehilangan Ayahnya. Setidaknya Kakaknya itu sudah merasakan hidup enak jauh sebelum Jun lahir.
Jadi Jun sudah dituntut menjadi dewasa dan mengalami banyak keterkejutan sedari kecil.
Apalagi ketika pada akhirnya ia bertemu dengan Jena, tentu saja cowok itu jauh lebih terkejut dari sebelumnya. Jena yang sedari kecil memang sudah memiliki penyakit jantung itu harus ia jaga dengan sepenuh hatinya.
Mungkin awalnya ia terpaksa menjaga Jena, ia bahkan membenci keputusan ibunya ketika membuat Jun harus selalu menjaga Jena, seolah menjadi pengawal pribadi untuk gadis yang memiliki penyakit jantung itu.
Jun tak ikhlas mengikuti Jena ke mana pun gadis itu pergi. Bahkan sering kali ia pergi untuk meninggalkan Jena sendirian, dan tak kembali lagi. Namun ketika sampai di rumah, ia harus kena omel Ibunya atau Mama Jena karena membuat Jena menangis.
Jun juga terkejut dengan dunia Jena yang sejak kecil sudah memiliki kecukupan harta, sangat berbanding terbalik dengannya. Jena dengan gaun-gaun cantiknya dan supir pribadinya itu, sedangkan Jun dengan kaos oblongnya dan sepeda bututnya.
Namun lama kelamaan Jun pun pada akhirnya terbiasa dengan Jena dan kehidupannya itu.
Keterkejutan Jun kian menjadi ketika pertama kali ia melihat Jena yang ketika itu masih SD dan sudah jatuh pingsan, tergeletak tak berdaya. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Jena yang hari itu jatuh pingsan setelah raut wajahnya kesakitan, dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
Seharian Jun menangisi pingsannya Jena. Ia merasa bersalah karena Jena pingsan. Semenjak saat itu, Jun benar-benar tak pernah melepaskan Jena ke mana pun seorang diri. Pasti cowok itu akan selalu menjadi orang terdepan yang melindungi Jena.
Kapan pun dan di mana pun.
Jun selalu siap mengalami banyak hal mengejutkan di hidupnya. Bahkan ketika ibunya tiba-tiba mengatakan bahwa seluruh biaya hidup mereka akan dibiayai keluarga Jena termasuk biaya sekolahnya, asal dengan satu syarat, yaitu Jun yang menjadi pelindung untuk Jena.
Iya, semua hal di dalam hidup Jun nampaknya hanya dipenuhi oleh keterkejutan. Namun cowok itu tak pernah mengeluh apapun, ia selalu menerimanya.
Namun tidak untuk kali ini.
"Tunggu, Jen!"
Jun tak dapat menahan keterkejutannya itu.
"Jadi maksud lo ... tunggu, ini gak masuk akal! Maksud lo ... Bayu juga reinkarnasi?"
Tidak! Jun tampaknya belum siap terkejut untuk hal ini.
Sayangnya Jena tak main-main. Gadis itu tak pernah main-main dengan ucapannya, dan Jun tahu akan hal itu.
"Iya. Bayu itu juga reinkarnasi dari orang di masa lalu." Jena menatap Jun dengan tatapan mantap.
"Gak, gak masuk akal, Jen!" Jun menggelengkan kepalanya itu kemudian dengan cepat melangkah maju seraya terus menggelengkan kepalanya itu.
Cowok itu pergi meninggalkan Jena yang terbengong menatap kepergiannya. Langkah kaki Jun yang besar-besar itu dengan mudah membuat jarak antara mereka menjadi lebar.
"Jun, kok gue ditinggalin?!" teriak Jena yang kini sudah sadar dari bengongnya. Ia tak menyangka bahwa Jun akan meninggalkannya begitu saja. "Gue belum selesai ngomong!"
Kaki Jena kini tergerak dan melangkah menyusul cowok tinggi itu. Meskipun tentu saja sia-sia.
"Woy!"
"Jun!"
Tentu saja kaki pendek Jena tak dapat menyusul Jun semudah itu.
"Aish, jadi dia bener- bener ninggalin gue sendirian?!" gerutu gadis itu dengan cepat.
Ya, akhirnya Jena hanya bisa memandang punggung Jun yang menghilang di belokan gang.
Namun ...
Jena tak mau menyerah kali ini. Dan ia memutuskan untuk menyusul cowok itu.
"Tungguin gue, Jun!"
***
Bel istirahat berdering nyaring, dan seperti biasa hal itu merupakan surga bagi seluruh murid. Cepat-cepat mereka berbondong ke luar kelas demi mengentaskan rasa penat mereka.
Jena sudah bersiap-siap menghampiri meja Jun namun langkahnya kurang cepat. Pasalnya cowok itu sudah berdiri dan dengan santainya melenggang pergi ke luar kelas begitu saja.
"Lah, dia mau ke mana?" Jena mencebik bibirnya menatap punggung cowok itu yang ke luar kelas.
"Oh, Jun bilang tadi mau ada rapat sama Ekskul Dance." Rehan berdiri seraya meregangkan tubuhnya sendiri, seolah sedang melakukan pemanasan.
"Loh, kok gak bilang apa-apa?" Fina mengerut dahinya. Ia menyenggol lengan Jena dan menuntut kejelasan, namun gadis di sebelahnya itu hanya diam.
"Yah ..." Bibir Jena makin tercebik.
Hangus sudah kesempatan baginya untuk meyakinkan Jun kembali. Kejadiannya sama persis seperti hari itu ketika Jena mengatakan kepada Jun tentang reinkarnasi itu.
Lagi-lagi cowok itu tak langsung mempercayainya. Menyebalkan!
Bukankah Jun mengatakan bahwa akan selalu mempercayai segala ucapan Jena?
"Dasar cowok!" Jena meninju udara dan menghela napas kesal.
"Kita jadi pergi, Jen?"
Jena terkesiap dan membalik badannya. Karina tersenyum di depannya.
Jena sempat mengerut dahinya bingung, namun sedetik kemudian ia pun menjentik jarinya. Ia sudah ingat sekarang akan hal yang ia janjikan kepada Karina itu.
"Oh, jadi!" Jena berseru sembari tersenyum lebar.
"Nah, bagus tuh. Sekarang Jena ada temen buat ke ruang ekskul Teaternya." Fina terkekeh menatap kedua sahabatnya itu. Kemudian ia menyentuh kedua belah pipi Jena seraya mengucap, "Akhirnya ada yang mengikuti jejakmu, Nak."
Jena meringis sebentar sebelum menyingkirkan kedua tangan Fina yang bertengger di kedua belah pipinya itu. "Tangan lo bisa menghancurkan ke-glowing-an muka gue, Pin." Ia menggelengkan kepalanya. "Lo belum cuci tangan!"
Fina hanya bisa terkekeh kecil melihat sikap Jena yang sudah biasanya seperti itu. "Iye, iye." Ia tersenyum kemudian beralih menatap Karina. "Udah sana, gih."
"Lo gak ikut?" Karina mengerjapkan matanya menatap Fina.
Sedangkan Fina justru terkekeh dan menatap Jena yang ikut tergelak.
"Lo gak lagi ngeledek gue, 'kan, Rin?" tanyanya masih terkekeh. Sedangkan Karina justru mengerjap bingung. "Gue 'kan gak ikut ekskul Teater. Ngapain gue ikut?" tanyanya.
Karina pun akhirnya mengangguk. "Ah, iya."
Fina menatap Rehan yang sedari tadi hanya diam memperhatikan percakapan ketiga gadis itu. Kemudian ia kembali memandang Jena dan Karina bergantian. "Gue sama Rehan mau ke kantin aja."
"Oke, kalau begitu."
Jena tersenyum dan mengangguk. "Yuk," ajaknya.
Gadis itu menarik sebelah tangan Karina yang tengah melambaikan tangan pada Fina dan Rehan.
Benar, ia sudah memiliki janji pada Karina untuk mengajak gadis itu ke ruang Teater sekaligus pengenalan dengan anggota yang lainnya.
Tak perlu memusingkan Jun lagi.
Jika dipikir-pikir, setidaknya Jena harus memberikan waktu berpikir untuk Jun.
Ya, tak perlu tergesa-gesa.
***