Jejak Malam yang Membara.

1183 Words
Dalam mobil, suasana hangat namun canggung. Satu malam penuh gairah baru saja mereka lalui—batas antara nafsu dan perasaan mulai kabur. Jafran menatap tangan Zumena, yang kini memejamkan mata sebentar, seolah malu sekaligus menikmati detik-detik yang baru saja terjadi. “Kita … sudah sampai,” ucapnya akhirnya, nada rendah tapi lembut. Zumena menunduk, menatap kaca samping. “Ya … terima kasih sudah mengantarku,” katanya ringan, suaranya halus tapi ada nada menahan sesuatu. Jafran menahan dorongan untuk meraih tangannya. Ia tahu ada batas yang tidak bisa ia langgar malam ini. Zumena memberikannya ruang dengan cara halus, sopan, namun tegas. Jafran menatap Zumena dari samping. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata tersangkut di tenggorokannya. “Sudah larut, aku rasa aku harus masuk sekarang. Pulanglah,” ujar Zumena, suara seimbang antara sopan dan tegas. Jafran tersenyum tipis, menahan sedikit rasa kecewa yang muncul. “Tentu. Aku mengerti.” Mereka terdiam sebentar. Ada getaran halus di udara, sisa malam yang belum sepenuhnya hilang. Jafran menatap mata Zumena, mencari sekadar sapaan hangat atau sinyal bahwa ia diterima. Tapi Zumena tetap tenang, menjaga jarak dengan kesadaran penuh. Jafran menatap wanita itu sebentar sebelum membuka pintu. “Istirahatlah malam ini.” Zumena tersenyum tipis, sedikit menundukkan kepala. “Terima kasih, Jafran. Untuk malam ini … dan semuanya.” Nada suaranya membawa rasa syukur sekaligus sedikit penyesalan, seolah ada hal yang ingin ia ucapkan tapi tak berani. Jafran menunggu sebentar, memastikan ia meninggalkan wanita itu dengan aman. Ia menyalakan mesin mobil dan mundur perlahan dari parkiran. Dalam diam, pikirannya terus memutar malam yang baru saja mereka lalui—senyum tipis Zumena, tatapannya yang membekas. Meski tidak lagi melihatnya, bayangan itu terasa tetap ada, memenuhi seluruh ruang dalam mobil. *** Di kantor keesokan paginya, Jafran mencoba fokus, tapi pikirannya melayang. Setiap pesan yang masuk ia periksa, berharap ada balasan dari Zumena, namun ponselnya tetap sepi. Dengan napas panjang, ia mengetik satu pesan: “Selamat pagi, Mena. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja setelah kemarin malam.” Pesan itu terkirim, tapi beberapa jam berlalu tanpa balasan. Jafran menatap keluar jendela, merasa aneh. Zumena selalu menunjukkan sikap hangat dan tegas malam sebelumnya, tapi sekarang memilih menghindar. Meski penasaran dan sedikit kecewa, Jafran tetap tenang. Nalurinya mengatakan bahwa Zumena punya alasan sendiri. Ia tahu wanita ini misterius, anggun, dan penuh rahasia. Rasa ingin tahunya semakin membara, tapi ia bersabar. Ia harus menembus dinding itu perlahan. Sementara itu di apartement Zumena, Pagi itu, Zumena terbangun dengan cahaya matahari yang menyelinap lembut melalui tirai apartemennya. Udara pagi terasa segar, menyejukkan kulit yang masih hangat setelah malam yang penuh gairah. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi pikirannya tidak bisa berhenti dari kenangan semalam—detik-detik ketika batas-batas antara hasrat dan perasaan kabur, ketika Jafran ada begitu dekat, begitu nyata. Ia menatap langit-langit apartemen sebentar, menarik napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur. Setiap gerakan terasa lambat, seolah tubuhnya masih menempel pada sisa-sisa malam sebelumnya. Ia berjalan ke jendela, menatap ke jalanan di bawah, di mana kehidupan kota mulai bergerak. Orang-orang tergesa-gesa, mobil lalu-lalang, suara klakson dan langkah kaki berpadu. Zumena merasa seakan seluruh dunia berjalan normal, sementara hatinya masih terperangkap dalam kenangan yang baru saja terjadi. Ponselnya tergeletak di meja samping tempat tidur. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengambilnya. Sebuah pesan dari Jafran muncul: “Selamat pagi, Mena. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja setelah kemarin malam.” Zumena menatap layar itu beberapa detik. Ada perasaan lega—Jafran peduli, dan itu membuat hatinya sedikit hangat. Tapi di balik itu, rasa bersalah datang menghantui. Mengapa ia membiarkan pria itu begitu dekat? Mengapa ia membiarkan dirinya ikut larut, padahal ia seharusnya menjaga jarak? Rahasia yang ia sembunyikan, hidup yang ia lindungi, semuanya bisa tersingkap terlalu dini. Dengan napas berat, ia menurunkan ponselnya ke meja. Hatinya bergejolak, antara keinginan untuk membalas dengan hangat dan ketakutan akan konsekuensi dari membuka diri terlalu cepat. Ia tetap diam, memilih untuk tidak membalas. Pesan itu tetap tersimpan di layar, menunggu—seolah sebuah ujian kesabaran yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri. Zumena lalu berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh rambutnya, membawa aroma kota yang basah setelah hujan semalam. Ia menutup mata sejenak, membiarkan kenangan malam kemarin mengalir—gairah, tatapan Jafran, sentuhan yang masih terasa hangat di kulitnya. Tubuhnya masih merasakan sisa panas itu, tapi ada juga rasa aman—rasa aman karena ia tahu, meski ia menjaga jarak, Jafran bukan pria sembarangan. Ia menghormati batas yang Zumena tetapkan, dan itu memberinya sedikit ketenangan. Namun, di balik rasa aman itu, ada ketegangan yang tak bisa ia padamkan. Zumena sadar bahwa malam itu telah membuka sesuatu dalam dirinya—perasaan yang ingin ia sembunyikan, tapi tak mungkin lagi diabaikan. Ada gairah yang membara, rasa penasaran yang mulai tumbuh, dan sesuatu yang lebih dalam: ketertarikan yang bukan sekadar fisik. Ia menatap lampu-lampu kota yang berkilau, merenungkan bagaimana dunia luar berjalan normal, sementara hatinya bergejolak. Zumena tahu bahwa ia harus tetap tegas. Menjaga jarak bukan hanya soal melindungi perasaannya, tapi juga soal menjaga rahasia yang selama ini ia sembunyikan—rahasia yang, jika terbuka, bisa mengubah segalanya. Sejenak, ia membayangkan Jafran di mobil tadi malam, tatapannya, sentuhannya, dan cara pria itu mampu membuatnya merasa begitu hidup sekaligus begitu rapuh. Zumena menelan napas, mengingatkan dirinya sendiri: tidak ada yang boleh terlalu dekat, tidak ada yang boleh terlalu cepat. Ia harus sabar, menjaga diri, dan menjaga rahasia itu tetap tersembunyi. Pagi itu, Zumena sadar satu hal: perasaan ini, gairah ini, dan ketertarikan yang membara tidak akan hilang begitu saja. Ia harus siap menghadapi dilema antara apa yang ia rasakan dan apa yang seharusnya ia lakukan. Ia harus bersikap tegas, namun juga tidak menutup diri sepenuhnya. Dengan perlahan, ia bangkit dari kursi balkon, memasuki apartemen, dan memulai rutinitas paginya. Setiap gerakan terasa tenang, terkendali, namun pikirannya tetap melayang pada Jafran—pada malam yang baru saja terjadi, pada pesan yang diterimanya, dan pada rasa penasaran yang terus menggelayut. Zumena tahu, malam kemarin hanyalah awal. Dan meski ia ingin menahan diri, meski ia ingin menjaga rahasia, ada bagian dalam dirinya yang tak bisa diabaikan: keinginan untuk melihat, merasakan, dan memahami Jafran lebih jauh. Tapi itu harus menunggu, waktu yang tepat, saat ia yakin bahwa dirinya siap untuk membuka pintu hati sepenuhnya—tanpa rasa takut, tanpa penyesalan. Dalam hati, Zumena berbisik pelan: "Aku harus kuat … tapi aku tidak bisa menyangkal apa yang kurasakan." *** Hari demi hari, Zumena tetap hadir di pikiran Jatran—tanpa memaksa, tanpa mengganggu. Ia hanya ingin memastikan Zumena tahu bahwa ia ada, dan siap menunggu, tak peduli berapa lama. Setiap malam, bayangan senyum tipis dan tatapan mata Zumena kembali menghantui pikirannya. Ia tersenyum tipis, berbisik pada diri sendiri: "Aku tidak akan menyerah, Mena. Entah bagaimana, aku akan menemukan jalan untuk dekat denganmu." Malam itu, ia menatap langit kota dari kantornya, membiarkan pikirannya melayang pada perempuan yang membuat hatinya terbakar—bukan hanya oleh gairah semalam, tapi juga oleh rasa ingin tahu, kekaguman, dan rasa ingin melindungi. Zumena mungkin menahan diri, tapi Jafran tahu satu hal: malam kemarin hanyalah permulaan. Dan ia siap menunggu, bersabar, serta menemukan cara untuk menembus dinding rahasia itu, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya mereka benar-benar bisa saling percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD