27. Together

1708 Words
Prisa berjalan dengan gontai menuju rumah nya sore ini setelah melalui hari yang rasanya sangat melelahkan. Yang ada di pikirannya sekarang ialah segera sampai rumah dan istirahat dengan nyaman. Badan dan pikirannya terasa sangat capek beberapa waktu belakangan ini. "Ouh, sepatu siapa ini? Manda kah??" Prisa yang hendak masuk rumah tercuri perhatiannya melihat sepatu asing di depan pintu rumah, dan itu seperti sepatu sekolah anak perempuan. Baru saja Prisa hendak menyentuh gagang pintu untuk masuk, pintu tersebut sudah terbuka yang membuatnya menjadi sangat kaget. "Mbak Prisa! Akhirnya mbak pulang!" "Manda? Kamu lagi disini??" ternyata tebakan Prisa benar, di depannya ada Manda yang masih mengenakan seragam sekolahnya. "Mbak, itu mbak. Mama nya mbak..." "Kenapa mama!?" Prisa langsung panik dan segera bergegas hendak masuk. "Tadi bilangnya napasnya terasa agak berat, tapi tante bilang dia nggak papa, eh tapi kayaknya napasnya jadi makin susah, gimana mbak? Bawa ke rumah sakit aja sekarang mbak," Manda juga langsung mengikuti Prisa yang menuju kamar mamanya sambil menjelaskan apa yang terjadi. "Ya ampun, ayo kita ke rumah sakit sekarang!" * Tanpa membuang waktu Prisa ditemani oleh Manda langsung membawa mamanya ke rumah sakit. Setelah ditangani di IGD dan pemberian beberapa tindakan, mama Prisa diminta untuk kembali menginap di rumah sakit. Manda yang duduk di salah satu kursi lorong kamar rumah sakit tersenyum melihat Prisa yang baru saja kembali dari bagian administrasi, walaupun dia merasa sedang pusing dan lelah, ia tetap tersenyum membalas Manda lalu ikut duduk di samping gadis remaja itu. "Udah selesai mbak?" "Untuk sementara sih udah," Prisa menjawab pertanyaan Manda dengan senyum hambar, "oh iya, mbak lupa nanya, kok tadi kamu ada di rumah mbak?" "Kebetulan tadi aku pulang sekolahnya lebih cepat dari biasanya. Mau balik ke rumah malas, yaudah aku iseng aja ke rumahnya mbak. Soalnya aku inget, Tante Sarah pasti juga sendirian di rumah soalnya mbak kerja dan Kak Nania sekarang lagi sibuk, sama kayak Kak Gama." Manda coba menjelaskan bagaimana tadi ia bisa ada di rumah Prisa. "Terus tadi gimana mama nya mbak? Udah sesak napas sejak awal kamu datang?" Manda menggeleng, "awalnya biasa aja, kita ngobrol nonton sama makan bareng, aku kan datangnya siang. Nah pas udah mau sore tante kelihatan mulai berat gitu napasnya dari sebelumnya, kelihatan jelas mbak, pas aku tanya dia bilang ga papa dan udah biasa, yaudah aku biarin. Tapi waktu pas mbak mau sampai rumah itu kelihatan banget kalau itu udah ga wajar. Aku agak panik sebenernya, tapi pas banget aku denger mbak pulang." Prisa langsung tersenyum sambil mengusap sekilas rambut Manda, "makasih banget ya Manda." "Iya mbak, nggak papa kok." "Ya ampun, mbak sampai lupa ngasih tahu Nania, pasti dia bingung di rumah nggak ada orang." Prisa baru saja ingat dan mengambil handphone yang ada di dalam tas yang ia sandang dan langsung membalas pesan dari Nania yang nyatanya udah coba menghubunginya berulang kali sejak tadi. "Oh iya Manda, hari udah mau gelap, kamu nggak mau pulang?" Prisa bertanya karena sejak tadi Manda selalu setia menemaninya. "Oh iya mbak, eh tapi nanti deh, kasihan mbak disini sendirian. Seenggak nya sampai nanti Kak Nania nyusulin kesini." "Udah, nggap papa. Mbak udah biasa kok, bahkan para dokter, perawat sama petugas lain disini rasanya udah pada kenal sama mbak saking seringnya disini." Prisa menolak sambil terkekeh. "Eum..., yaudah deh mbak kalau gitu, aku pulang." "Mbak pesenin ojol mau? Eh salah taksi online deh." "Ojol motor aja mbak, aku udah biasa kok." "Seriusan? Mbak takut kamu kenapa-napa, nanti papa atau mas kamu marah." "Enggak lah, jangan lebay deh mbak." "Yaudah mbak pesen ya," Prisa kembali melihat ke arah handphonenya untuk membuka aplikasi ojek online. Namun layarnya sudah menunjukkan sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. "Bentar ya Manda, ada telfon." "Oke mbak." Walau agak ragu, Prisa mengangkat panggilan itu, "halo?" "Halo, maaf mengganggu, apa ini dengan Prisa?" terdengar suara seorang pria dari seberang. "Benar, saya Prisa. Ada yang bisa saya bantu?" "Saya Dehan, maaf sekali mengganggu kamu tapi saya dapat nomor kamu dari HRD kantor karena panik Manda masih belum pulang dan tidak ada kabar sampai sekarang. Apa kamu tahu dia ada dimana? Apa dia ke rumah kamu? Tadi saya sudah tanya Gama, tapi dia juga tidak tahu." Prisa terkejut dan langsung menggangguk, "eh iya pak, saya tahu. Dia sedang bersama dengan saya." "Benarkah? Syukurlah..." suara Dehan terdengar sangat lega, "dia ada di rumah kamu?" "Enggak pak, kita lagi di rumah sakit. Baru aja saja Manda hendak pulang," Prisa menjawab sambil melihat ke arah Manda yang menunjukkan wajah penasaran karena namanya disebut-sebut. "Kenapa di rumah sakit? Manda baik-baik saja kan?" "Baik kok, pak. Yang sakit mama saya." "Begitu ternyata, apa di rumah sakit di tempat mama kamu dirawat sebelumnya?" "Iya pak." "Baiklah, bilang Manda tunggu saja disana. Saya yang akan jemput." "Baik pak." "Terima kasih." "Sama-sama pak." Dan panggilan itu pun berakhir. "Siapa, mbak? Mas Dehan ya??" Manda bertanya penasaran. "Iya, kamu nggak bilang siapapun ya kalau kamu ke rumah mbak??" Manda tersenyum kecil, "enggak mbak. Soalnya kan aku pergi dari sekolah dadakan, lagian aku juga nggak bawa handphone." "Mas kamu kedengerannya tadi khawatir banget, nyariin kemana-mana sampai akhirnya nanyain nomor mbak ke HRD kantor. Pasti mas kamu tadi panik banget adik kesayangannya hilang." Manda menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "yaudah aku pulang sekarang deh mbak." "Jangan, Pak Dehan bilang tadi kamu disuruh tunggu, dia yang bakal kesini jemput kamu. Lagian emang juga udah mau malam, mbak juga khawatir kamu pulang sendiri." "Oke deh." * "Besok-besok kalau mau kemana-mana itu bilang, mas sampai panik dan papa tadi juga ikutan panik." omel Dehan setelah berhasil menjemput adiknya itu dan sudah di perjalanan pulang, langit sekarang benar-benar sudah gelap. "Ya maaf, tadi mendadak sekolah selesainya siang. Ya aku ngide aja ke rumah nya Mbak Prisa dari pada sendirian di rumah, bosen. Mas kan juga tahu aku ke sekolah ga bawa handphone." "Emang ngapain ke rumah Prisa? Kan Nania nya juga nggak ada? Dia masih di sekolah kan?" "Ya ketemu sama mamanya Mbak Prisa lah, Tante Sarah. Kita ngobrol, nonton sama makan bareng. Asik aja gitu nemenin Tante Sarah yang juga sendirian di rumah. Sayang banget tadi mendadak sakitnya Tante Sarah kambuh lagi, pas Mbak Prisa sampai rumah kita langsung deh ke rumah sakit. Nggak inget sama sekali buat ngabarin, maaf ya mas." "Iya deh." "Eum, mas...," setelah beberapa saat diam, Manda kembali bersuara namun dengan nada ragu. "Iya, kenapa?" "Mas kan pernah bilang, aku bisa pakai tabunganku kalau lagi butuh dan buat hal yang berguna." Dehan mengangguk santai, "iya, lalu?" "Boleh nggak aku pakai sekarang?" Dehan langsung menoleh, "eh? Buat apa? Kamu butuh apa memang? Biar pakai uang mas aja, uang kamu untuk nanti-nanti aja." "Eum, itu mas. Aku sebenernya mau bantuin Mbak Prisa, kasihan soalnya." "Ada apa?" Manda diam sejenak sebelum menjawab, "aku bukan maksud nguping, tapi ya aku nggak sengaja denger jadinya penasaran." Dehan tertawa, "itu tetep nguping namanya cantiiikk. Emang denger apa sih?" "Tadi waktu Mbak Prisa bicarain tentang keadaan mamanya di rumah sakit, aku nguping. Ternyata mamanya Mbak Prisa itu selain sakit masalah paru-paru juga udah komplikasi sama penyakit lain, tapi aku nggak ngerti banget soalnya pakai istilah-istilah asing gitu." "Terus?" "Yang aku tangkap dan paham itu cuma masalah biaya. Biayanya banyak banget, mana sebelumnya Mbak Prisa juga udah habis banyak, kata Mbak Prisa asuransi mamanya ada masalah yang udah coba urus tapi nggak kunjung selesai, jadinya biaya yang harus ditanggung banyak banget. Untuk waktu deket aja Mbak Prisa harus keluarin biaya dua belas juta, terus yang lainnya juga ada. Nah nanti katanya harus operasi juga dan itu uangnya butuh bisa sampai ratusan juta gitu. Mbak Prisa kayaknya masih tangguhin dulu tindakan lanjutannya karena belum cukup dana." "Sebanyak itu??" Dehan juga tampaknya ikut kaget dengan cerita sang adik mengenai Prisa. "Mbak Prisa sekarang pasti lagi pusing banget karena saat ini ia cuma cari uang sendirian buat keluarganya. Waktu itu Kak Nania juga sempat curhat tentang kakaknya yang ga ngizinin dia untuk kerja sampingan sambil sekolah karena takut Kak Nania kecapek an dan gak fokus belajar. Padahal Mbak Prisanya juga pasti capek banget, biaya persiapan kuliah Kak Nania juga pasti lumayan kan?" Dehan mengangguk, "wah, bagaimana bisa dia menanggungnya sendirian?" "Bener kan? Makanya aku mau bantu mas, seenggaknya buat biaya tindakan terdekat aja dulu yang dua belas juta sama tambahan lainnya. Boleh nggak mas aku ambil dari tabungan aku?" tanya Manda lagi meminta izin. "Kamu bener-bener mau bantu? Kenapa kamu kelihatan peduli sekali? Mereka kan bukan siapa-siapa nya kamu." "Gimana ya mas? Aku ngerasa harus aja gitu bantuin selagi aku bisa, soalnya aku sekarang ngerasa deket banget sama mereka. Mereka baik banget, bahkan selama disana Tante Sarah kayak nganggap aku anaknya juga, ga dibedain dari Mbak Prisa ataupun Kak Nania. Kak Gama pun kalau disana juga dianggap sama. Waktu Tante Sarah sakit aku juga ngerasa sedih dan khawatir kalau nanti terjadi apa-apa sama Tante Sarah." Dehan tersenyum kecil mendengar alasan sang adik, "kamu sekarang ngerasa kayak punya ibu?" Manda menarik sudut bibirnya kecil, "aku nggak pernah tahu sosok seorang ibu itu gimana karena ga pernah rasain. Selama ini aku juga nggak pernah coba nyari sosok ibu karena aku memang nggak kenal perasaan memiliki sosok ibu dan aku baik-baik aja. Tapi yang aku rasa sekarang, aku sayang sama Tante Sarah dan aku nggak mau terjadi sesuatu sama dia, mas." Dehan terdiam mendengar jawaban sang adik, pikirannya kini terisi oleh berbagai hal, termasuk perasaan sedih yang tidak bisa dijelaskan. "Kamu juga sayang sama, mas?" Dehan bertanya seraya melirik ke arah sang adik yang duduk di sampingnya. Manda langsung tertawa, "ya sayang lah. Siapa lagi coba yang paling panik kalau aku pulang telat terus ga ngasih kabar? Sampai bela-belaan nyari nomor Mbak Prisa ke HRD kantor segala." Dehan ikut tertawa, "yaudah, kita bantu Tante Sarah sama-sama ya." Mata Manda langsung terbuka lebar dengan senyum merekah, "maksud mas?? Mas juga mau ikutan bantu??" Dehan mengangguk, "tabungan kamu masih sedikit banget, kasihan banget sih kalau dikorek." "Ih, nggak ngehargain banget. Itu kan murni dari uang saku aku loh maassss!!! Mas ngarepin apa dari tabungan anak SMP??" Dehan terbahak, "iya deh iya, by the way sebelum pulang mau jajan dulu nggak?" "Mas Dehan yang traktir?" "Iya lah, masa satpam sekolah kamu sih?" "Garing banget sih candaan orang tua. Yaudah deh seblak bakso super pedes boleh banget kayaknya." "Dasar bocah abege. Oke siap, kita beli ayam geprek." "LAH KOK MALAH AYAM GEPREK!?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD