29. Realize

1215 Words
"Ma, kok snack nya ga di makan? Ga enak? Tadi mama kata suster makan siangnya juga ga abis, kenapa? Apa mama pengen aku beliin sesuatu?" tanya Prisa yang menemani mamanya sore ini. "Pris, mama pulang aja lah." "Eh? Kok mendadak minta pulang?" "Ya males aja, lagian toh di rumah sakit mama juga tiduran gini aja, nggak ada pengobatan yang gimana-gimana." ujar mama Prisa mulai bosan sudah beberapa hari ini menginap di rumah sakit. Prisa agak bingung karena alasan mamanya masih dirawat karena ia belum ada biaya untuk tindakan lebih lanjut. Sedangkan kalau dibawa pulang Prisa masih khawatir jika keadaan mamanya drop lagi. "Prisa? Mama pulang aja ya," ulang mama lagi karena si sulung itu hanya diam. "Mama disini aja dulu, biar selalu cek rutin untuk mastiin kondisi mama sampai stabil lagi. Lagian kalau di rumah mama sering kesepian, disini ada banyak temen ngobrol mama kalau aku lagi kerja dan Nania sekolah," Prisa coba memberi pengertian. "Iya sih, hanya saja ngelihat orang sakit terus mama jadi bawaannya sakit juga. Kadang mama ikutan kaget loh kalau ibu sebelah mendadak dikerubungi dokter sama suster waktu sakitnya kambuh," cerita sang mama yang mau tak mau juga mengikuti perkembangan pasien lain yang satu kamar dengannya. Prisa diam-diam menghela napas melihat suasana kamar yang sore ini agak ramai, "mama mau pindah kamar? Ke kamar yang bisa bikin mama lebih nyaman dan privasi?" Dengan cepat mama menggeleng, "bukan gitu maksud mama, mama seneng kok rame-rame, cuma ya kalau bisa mama pulang aja." Prisa tersenyum kecil sambil mengusap pelan tangan mamanya tersebut, "mama sabar sebentar dulu aja ya. Oh iya, mama masih ngerasa sakit nggak dadanya?" Mama menyentuh dadanya sekilas lalu mengangguk, "ya masih, cuma kayaknya mama udah terbiasa." Prisa hanya bisa kembali diam, beberapa hari ini ia mulai pusing memikirkan keadaan mamanya, dokter juga seolah terus mendesak agar segera melakukan tindakan lanjutan agar kondisi mamanya bisa benar-benar lebih stabil dan tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. "Mama mau aku beliin sesuatu nggak? Kayaknya mama udah bosen sama makanan rumah sakit." "Nggak kok, mama lagi nggak mau apa-apa. Kamu daripada sibuk mikirin mama, mending kamu duduk istirahat, kamu kan baru pulang kerja, pasti capek kan?" Prisa tersenyum kecil lalu mengangguk, "aku jalan-jalan keluar bentar boleh? Mama nggak apa-apa aku tinggal?" "Nggak apa-apa sayang, mama rencananya juga mau tidur. Sejak tadi mama nggak bisa tidur, baru ngantuk sekarang." * Baru saja Prisa keluar dari kamar inap mamanya, ia disambut oleh kehadiran Nania yang tampaknya baru saja datang. "Kamu udah pulang?" tanya Prisa agak kaget. "Iya, nih baru sampai." "Bukannya biasanya hari ini kamu pulangnya agak telat karena bimbel?" "Aku nggak lanjut bimbel lagi." "Hah? Maksudnya?" Prisa terkejut. "Kan aku udah bilang kalau aku nggak akan lanjut kuliah, ngapain juga aku harus capek-capek bimbel?" jawab Nania santai. "Nania! Kapan mbak izinin kamu untuk ga lanjut kuliah?" "Mbak, udahlah. Btw mbak mau kemana??" Prisa memutar bola matanya malas, lagian ia sedang tidak ingin berdebat, lagian jika ingin berdebat dengan Nania, butuh energi lebih karena ia sangat keras kepala, "mbak cuma mau nyari angin segar." "Mau pakai motor?" Nania langsung bergerak mengeluarkan kunci motor dari sakunya. Prisa menggeleng, "enggak, mbak cuma mau ke taman aja." "Oh oke, aku tempat mama ya mbak." * Setelah sampai di taman, Prisa duduk di sebuah kursi sendirian menatap kosong ke arah air mancur kecil yang ada di tengah taman rumah sakit. Entah sudah berapa lama ia hanya duduk melamun seperti itu, sesekali helaan napas berat terdengar dari arahnya. Hari demi hari entah kenapa Prisa merasa pundaknya semakin berat dan sulit untuk menegakkannya. Ia merasa sangat lelah, bahkan saat bangun tidur sekalipun. Tidurnya terasa tidak nyenyak karena pikiran sehari-hari kadang sampai terbawa ke alam mimpi. "Aku sampai lupa bagaimana rasanya hari dimana aku hanya memikirkan diriku sendiri. Bagaimana rasanya kalau dalam satu hari masalah terberatnya hanyalah menentukan menu makan malam saja? Asikkan makan nasi padang pakai rendang atau ayam bakar?" Prisa bicara sendiri disusul dengan tawa hambar. Biarkan sejenak ia berlaku seperti apa yang ia inginkan, kadang di waktu tertentu ia hanya ingin bercanda dengan dirinya sendiri. Setelah beberapa saat berhasil menyibukkan dirinya dengan pemikiran sederhana, tanpa bisa dikendalikan ia kembali terseret pada realita masalahnya saat ini. Tawaran Pak Dehan tempo hari kini hadir lagi di benak Prisa. Berhari-hari Prisa terus memikirkan bantuan dari Dehan, banyak sekali pertimbangan yang membuatnya sampai detik ini belum membuat keputusan. Selain itu ia juga teringat ucapan Bu Lia. Kalau dipikir-pikir memang benar, dengan keadaannya yang sekarang, semua orang akan melihat kalau ia adalah beban dan terkesan akan memanfaatkan siapapun disekitarnya. Dan dirinya sama sekali tidak bisa mengubah hal itu. Prisa bahkan selama ini sudah merasakan itu, disaat dirinya sama sekali tidak ingin memberatkan atau memanfaatkan orang lain, ia tetap saja dipandang rendah dan dikatakan hal yang tidak-tidak yang tentu menyakitkan hati. Baik atau memang buruk sekalipun, itu tidak akan mengubah pandangan orang lain yang memang hanya ingin berkata sesuai apa yang mereka mau. Lamunan yang berisi dengan segala pemikiran rumit Prisa terbuyarkan oleh kehadiran seseorang yang kini ikut duduk di sampingnya. "Jangan langsung mengusir." Prisa melirik Deni hanya dengan diam. Entahlah, dia terlalu lelah untuk ribut dengan siapapun. "Maaf tentang persitegengan kita terakhir yang kakak tahu kamu pasti merasa sakit hati dengan ucapan kakak." Deni lanjut bicara karena tidak melihat tanda-tanda pengusiran dari Prisa. Prisa tidak menjawab, entah mendengar atau tidak, gadis bercelana panjang hitam dengan blouse hijau lumut dan rambut kuncir itu hanya diam saja, bahkan tidak ada ekspresi berarti di wajahnya. "Ayo kita baikan lagi." ujar Deni lagi berharap Prisa merespon. "Bahkan setelah semua yang terjadi? Berbaikan?" "Tentu, harusnya itu tidak merusak hubungan baik kita. Kakak akan tetap bantu kamu dan selalu ada disaat kamu butuh." "Bagaimana kalau aku tidak mau?" "Pris.., ayolah. Kakak mengaku salah dan minta maaf. Tentang orang tua, kakak udah coba bicara dan kakak akan perjuangin kamu dengan cara lebih baik sampai kamu bisa diterima keluarga kakak." "Dan bagaimana kalau ucapan mama kakak benar?" "Pris?" "Bagaimana kalau aku emang cuma mau manfaatin kakak?" "Prisa, udahlah. Jangan bahas itu lagi." "Bagaimana kalau ucapan Kak Deni juga bener kalau aku baru sadar ada banyak pria lain yang lebih bisa aku manfaatin dibanding kakak?" Prisa terus bertanya sambil kini menoleh melihat Deni dengan tatapan yang bagi Deni terlihat sedikit mengerikan, tidak seperti Prisa yang biasanya. "Pris, kakak tadi udah minta maaf tentang semua itu. Tolong lupain semua ucapan buruk dan gila itu? Kakak tahu itu semua sangat konyol." Prisa terkekeh, "enteng banget ya ngomong lupain. Kenapa orang bisa bicara semudah itu? Tahu nggak sih setiap kalimat yang satu orang sampaikan itu bisa berefek besar ke seseorang yang lain. Hidup aku rasanya udah berantakan hanya karena ucapan-ucapan orang loh kak. Mulut orang itu bisa lebih tajam dari pisau yang dengan mudah menyayat hati dan ngancurin mental seseorang." Deni kehilangan kata-kata tidak bisa lagi menjawab Prisa. "Ayo kita perbaikin lagi." "Nggak ada waktu lagi, aku udah capek. Ini udah bukan Prisa yang dulu lagi." Deni kaget dan bingung dengan jawaban Prisa, "apa maksud kamu?" "Kamu nggak cukup kaya untuk aku manfaatin kak, aku nggak butuh kamu lagi." "Prisa!? Sadar Pris, kamu ngomong apa?" Deni kaget dan coba segera menyadarkan Prisa. Gadis ini sudah terdengar seperti bukan dirinya lagi. Sudah pasti ada yang salah dengannya. "Iya, aku baru aja sadar. Harusnya aku sadar sejak dulu." "Prisa??" "Tolong jangan ganggu aku lagi, aku udah ga butuh kamu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD