Prisa berjalan keluar dari ruangan penuh kandang hewan sambil mengeluarkan ponselnya. Ia melihat pesan masuk dengan dahi berkerut di tambah beberapa panggilan tak terjawab dari Deni yang membuatnya penasaran.
.
.
Dari: Kak Deni
Prisa
Maaf, kakak minta maaf banget
Kakak kayaknya nggak bisa bantu hari ini
Gimana kalau kakak minta bantuan orang lain buat jemput mama kamu ya?
.
.
Bukannya membalas pesan tersebut, Prisa lebih memilih untuk langsung menelfon Deni. Namun panggilan tak kunjung di jawab bahkan setelah beberapa kali Prisa mencoba menelfon lagi. Hingga entah sudah ke berapa kalinya barulah panggilan itu di angkat.
"Halo, Prisa?" terdengar jawaban dari seberang.
"Kak Deni lagi sibuk?"
"Eum.., ya tentang mama kamu, maaf banget ya kakak ga jadi bisa jemput ke rumah sakit buat di antarin pulang."
Prisa terdiam sejenak, "emang dadakan gini kak?" Prisa bertanya dengan nada kecewa yang tidak bisa ia sembunyikan.
Bagaimana tidak? Hari ini ia memutuskan tetap ke shelter di hari dimana mamanya diijinkan pulang dari rumah sakit. Itu karena Deni sudah berjanji kalau dia yang akan menolong sepenuhnya, tapi tiba-tiba saja dia mengabari tidak bisa.
"Pris, kakak minta maaf banget. Gimana kalau kakak suruh orang lain buat ke rumah sakit ya?"
Prisa mengusap sekilas pelipisnya, "nggak, nggak usah deh kak. Nanti aku kasih tahu Nania aja buat pesen gocar atau semacamnya."
"Kamu marah ya Prisa? Kakak bener-bener minta maaf. Serius, biar kakak suruh orang kesana aja ya." Deni terdengar sangat bersalah di seberang sana.
"Jangan kak, nanti jadi ribet. Aku ga marah kok, serius. Udah ya kak, aku kabari Nania dulu."
"Baiklah, nanti kabari lagi ya."
"Iya kak." Prisa menutup panggilan itu dan dengan cepat kini beralih untuk menelfon sang adik.
Tak butuh waktu lama, Nania langsung menjawab telfon dari Prisa.
"Halo mbak, Kak Deni nya udah jalan belum? Aku sama mama udah selesai beres-beres nih."
"Itu yang mau mbak sampain, Kak Deni mendadak gak bisa jemput."
"Lah? Kok gitu? Kenapa memang?"
"Ga tahu, mendadak ada urusan katanya. Kamu bisa kan pesen ojek mobil online dulu? Kamu masih pegang uang kan?"
"Eum, pegang sih, tapi ga tahu sih mbak bakalan cukup apa enggak. Tapi...,"
"Duh, oh atau e-wallet kamu mbak isiin dulu aja?" Prisa terpikirkan solusi.
"Itu mbak, tadi Gama sempet nanya dan nawarin sih buat anter. Apa aku iyain aja ya?" terdengar suara Nania yang ragu dari seberang sana.
"Serius? Ngerepotin dia nggak?"
"Kayaknya enggak sih mbak, motor dia masih belum di ambil sampe sekarang dari bengkel, pasti dia sekarang pakai mobil. Dia udah bilang emang mau kesini walaupun Kak Deni tetep nganter mama. Aku iyain aja kali ya mbak tawaran dia? Lagian dia pasti juga seneng banget kalau aku iyain."
Prisa menggaruk sekilas kepalanya yang tak gatal, "ya kalau emang gitu menurut mbak sih bagus. Dia kan emang maunya bantu kamu selalu."
Nania tertawa membalas ucapan sang kakak, "yaudah sih aku iyain aja. Terus tadi katanya dia kesini juga bareng Manda."
"Manda ngikut lagi?" Prisa agak kaget.
"Iya, ngekor mulu keliatannya sama Gama."
"Kalau cemburu bilang aja sayyyy."
"Enak aja cemburu, sembarangan. Yaudah kalau gitu, aku mau nelfon Gama dulu buat kasih tahu, lagian juga kayaknya dia udah deket karena udah jalan dari tadi."
Prisa mengangguk walaupun tak terlihat, "titip salam mbak sama Gama dan Manda, terus nanti kamu jangan marah mulu ke Gama, jangan lupa bilang terima kasih karena udah nolong, okey?"
"Iya iya, oke. Btw mbak pulang jam berapa hari ini?"
"Kayak biasa kok, rada sore. Kalian hati-hati ya."
"Okey."
**
"Oh, hey. Kalian masih disini ternyata," Prisa menyapa saat ia baru masuk rumah pulang dari shelter ia disambut oleh Nania, Gama dan Manda yang duduk di ruang tamu.
"Hai mbaaakkkk!" Gama dan Manda menyapa secara kompak, sedangkan Nania hanya diam saja duduk santai sambil memainkan handphone nya.
Prisa tersenyum dan ikut duduk, "mama mana? Udah di dalam?"
"Mama lagi di kamar, baik-baik aja kalau mbak mau nanya apa mama baik-baik aja." Nania menjawab karena ia seperti sudah tahu template pembicaraan sang kakak.
Mendengar itu Prisa tentu hanya terkekeh pelan dan beralih ke Gama, "makasih ya Gama udah bantuin mamanya mbak sama Nania buat pulang."
"Sama-sama mbak, aku sih seneng bantuin, lagian di rumah juga gabut."
"Aku juga gabut, makanya ikutan Kak Gama kesini," Manda melanjutkan memberi tahu alasannya juga bisa ikut datang.
"Mbak sih seneng Manda ikutan, jadi ramai."
"Oh iya, mbak dari shelter ya? Mbak pasti nggak ketemu Mas Dehan kan?"
Prisa menggeleng karena hari ini ia memang tidak melihat keberadaan Dehan di shelter, "enggak, memangnya kenapa Pak Dehan nggak ke shelter hari ini."
"Ada perlu sama papanya aku, nggak tahu sih apaan, tapi kayaknya lagi ngomong serius gitu di rumah, mungkin masalah kantor."
"Ooh gitu, ngomong-ngomong Manda ga apa-apa pergi ke tempat mbak sama papa atau mas nya Manda?" Prisa memastikan lagi.
"Ga apa-apa kok, lagian kan sama Kak Gama. Kemarin yang aku malam-malam sama Kak Gama ke rumah sakit juga udah aku ceritain ke Mas Dehan, dia nggak masalah kok."
"Syukurlah, kalau gitu kamu sering-sering aja main kesini bareng Gama dan Nania."
"Oke mbak, aku sama Kak Gama bakalan sering dateng."
"Iya mbak, kalau diijinin aku bakalan datang terus malah." Gama menyambung dengan semangat.
"Gua ga ijinin, mau apa lo?" Nania akhirnya angkat bicara karena merasa saat ini ia harus menegaskan sesuatu.
"Ih, galak banget sih adiknya mbak. Ini mereka udah pada dikasih minum belum?" Prisa memastikan.
"Udah kok."
"Kok gelasnya ga ada?" Prisa merasa heran.
"Kata Kak Nania kalau mau minum ambil sendiri ke belakang terus gelasnya harus langsung cuci." Manda menjelaskan dengan polos yang langsung membuat mata Prisa membelalak.
"Astaga Nania!?"
"Eh, nggak gitu, aku niatnya tadi becanda doang kok, mereka aja yang nurut." Nania langsung membuat pembelaan karena melihat raut marah sang kakak.
"Ga papa mbak, lagian asik juga kok, sekalian aku bantu cuciin piring kotor di belakang," Manda yang tadi memberi tahu ikut juga membenarkan pembelaan Nania.
Prisa bergerak mendekati Nania sambil diam-diam mencubit sang adik seraya berbisik, "kalau kamu lupa, mbak mau ingetin kalau Manda ini anak bungsu sekaligus perempuan satu-satunya di keluarga pemilik kantor tempat mbak bekerja! Jangan sembarangan."
"Aaah, aduh aduh sakiit, iyaa maaf!" Nania langsung mengaduh kesakitan sambil berusaha melepaskan cubitan Prisa di pinggangnya.
"Maaf banget ya Manda, kamu mau makan dulu nggak? Kalau nggak salah mbak ada makanan yg bisa diangetin di belakang." Prisa coba menawarkan sekaligus memperbaikinya sikap minus sang adik sebelumnya.
"Maaf banget mbak, aku sih mau banget, tapi kayaknya kita harus pulang sekarang. Manda udah disuruh balik sama papanya." Gama memberi tahu dengan wajah merasa agak sedih.
"Oalah, begitu ternyata. Yaudah besok kalau kalian kesini lagi mbak masakin sesuatu ya. Makasih banget loh buat hari ini."
**
Malam ini Prisa duduk sendirian di teras rumahnya sambil melamun. Tidak ada hal berarti yang ia pikirkan, ia memang hanya ingin seperti itu saja. Sudah lama rasanya ia tidak menghabiskan malam di rumah.
Gadis berkaos hitam dengan rambut yang dicepol asal itu beralih melihat handphonenya yang terletak di sampingnya, masih belum ada pesan dari seseorang yang ia tunggu. Siapa lagi kalau bukan Deni?
Sesuai permintaan Deni tadi, ia sudah mengabari perihal mamanya yang kini sudah sampai rumah dengan aman, namun pria itu belum menanggapi dengan apapun.
"Emang sibuk banget kayaknya." Prisa bicara sendiri dengan pelan dan memutuskan untuk berdiri hendak masuk lagi ke dalam rumah karena ia sudah mulai merasa dingin. Namun langkahnya tertahan saat melihat seseorang yang berjalan ke arah rumahnya.
"Kamu yang namanya Prisa!?"
Prisa tentu sangat kaget mendapati seseorang yang tidak ia kenal datang ke rumah tanpa basa-basi langsung bicara dengan nada meninggi padanya.
"Benar, saya Prisa. Kalau boleh saya tahu, ada apa ya bu?" Prisa coba bertanya baik-baik pada wanita yang tampak berusia lima puluhan tahun itu.
"Saya mamanya Deni, bisa tidak kamu untuk berhenti mendekati anak laki-laki saya!?"
Mata gadis itu langsung membelalak kaget, selain suara ibu tersebut yang keras sehingga mencuri perhatian tetangganya yang kebetulan juga sedang ada di luar, Prisa tentu juga terkejut kalau ini adalah orang tua dari Deni.
"Maaf bu, kalau boleh saya tahu ini ada masalah apa? Tentu kita bisa membicarakannya dengan baik-baik, ayo bu masuk dulu atau kita duduk sebentar untuk bicara. Saya juga akan bawakan minum sebentar."
"Udahlah, nggak usah basa-basi, nggak perlu. Saya cuma bilang sama kamu untuk berhenti dekat dengan anak saya. Saya tahu kalau kamu itu cuma manfaatin anak saya kan?" ibu tersebut tampaknya memang tidak ingin bicara secara baik-baik dengan Prisa.
Prisa langsung menggeleng, "ibu sepertinya salah paham, saya sama sekali nggak pernah ada niatan memanfaatkan anak ibu."
"Jangan membela diri. Kamu tahu? Saya sudah habis-habisan menyekolahkan Deni memberikan apapun yang terbaik untuk dia, segalanya saya berikan untuk dia. Lalu kamu pikir pada akhirnya saya akan membiarkan dia bersama wanita seperti kamu? Saya sudah tahu semua latar belakang kamu dan kamu sama sekali tidak pantas dengan anak saya."
Prisa terdiam, ia masih kaget dan bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi yang ia tahu pasti adalah saat ini ia sedang dimaki dan direndahkan. Ya, hal yang sering kali ia alami dari orang lain. Sungguh membuatnya tidak bisa bicara apa-apa.
"Orang seperti kamu hanya ingin kesenangan instan bukan? Tapi jangan harap kamu bisa melakukannya pada anak saya. Saya berusaha membuat anak saya berhasil bukan untuk kamu. Coba kamu jawab, apa saja hal yang sudah kamu manfaatkan dari anak saya?"
Dada Prisa sesak sekali mendengar ucapan demi ucapan tajam yang ia terima dari wanita di hadapannya, berapa seringpun ia dihina oleh orang lain, sama sekali tidak merubah perasaan sakit yang ia terima setiap kali ia mengalami itu.
Prisa menarik napas dalam sambil mengepalkan tangannya menahan emosi, "maaf kalau saya sudah mengganggu anak ibu."
"Tidak hanya maaf! Tinggalkan anak saya dan kembalikan semua yang telah kamu manfaatkan dari anak saya, itupun kalau kamu mampu."
"Tenang saja, jika memang itu mau ibu baiklah. Karena memang saya tidak punya andil apapun atas anak yang sudah ibu besarkan susah payah."
"Baguslah kalau kamu sadar." ibu itu langsung berbalik dan pergi begitu saja.
Prisa langsung memijat pelipisnya yang mulai berdenyut dan dadanya pun juga masih terasa sesak. Saat ia melihat ke sekitar ia juga masih mendapati beberapa tetangga yang masih memperhatikan bahkan diam-diam mereka terlihat berbisik satu sama lain. Prisa lebih memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.
"Mbak, ada apa tadi kok kedengerannya ada ribut-ribut?" Nania yang berniat untuk keluar berpapasan dengan Prisa yang baru saja menutup pintu dengan sangat rapat dan menguncinya.
Tidak ada jawaban dari Prisa, ia hanya diam berjalan masuk ke dalam kamar dan ia juga menutup rapat kamarnya.
"Mbak Pris..., kenapa? Nggak beres nih kalau begini..," Nania langsung menyadari kalau ada sesuatu yang tidak beres. Kakaknya jarang sekali seperti ini, bahkan di masalah yang berat saja ia pasti akan tetap menjawab walau hanya anggukan, tapi barusan ia tak memberi respon apapun.
"Serem nih, ada apa nih?? MAMAAAA!!!"