"Walah, kok serem banget mamanya Pak Deni? Beda banget sama anaknya," Hana yang malam ini iseng mampir ke rumah Prisa kaget mendengarkan cerita Prisa mengenai masalahnya dengan Deni, atau lebih tepatnya mengenai mama dari pria itu. Setelah beberapa hari barulah Prisa mau membicarakannya dengan Hana.
"Sampai kedengaran sama tetangga yang lagi di luar loh Han, aku baru aja pindah kesini dan gimana jadinya kalau mereka langsung berpikiran yang enggak-enggak tentang aku? Kemarin aja aku ke warung habis itu mereka pada bisik-bisik. Sumpah Han, aku udah capek banget sama masalah yang begini-begini." Prisa memijat kepalanya dengan wajah menunjukkan kalau ia memang stres.
"Terus, kamu sama Pak Deni gimana?"
"Aku mutusin buat nggak cari perkara lagi dengan dekat sama dia. Beberapa kali dia coba bicara tapi aku berusaha terus ngehindar."
"Tapi Pris, kamu rela lepasin Pak Deni? Kamu nggak sayang? Nggak mau coba perjuangin?"
"Awalnya aku berpikir buat coba pertahanin, perjuangin dan sempat mikir ini semua bakalan bisa berubah."
"Lalu?"
Prisa menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, "tapi setelah denger pembelaan Pak Deni ke mamanya waktu itu bikin aku langsung mutusin kalau ini memang nggak bisa diperjuangin."
Hana mengerutkan dahinya, "memangnya Pak Deni bilang apa?"
"Dia bilang wajar keluarganya seperti itu karena mereka udah ngelakuin banyak hal demi pencapaian dia sekarang. Aku ngerasa ga bakal bisa perjuangin ini, rasanya hanya akan berjuang sendirian. Aku udah kenal Pak Deni sejak dulu, dia juga sangat dekat dan tipe bergantung pada keluarga sepenuhnya. Dia nggak salah, aku aja yang ga bisa." Prisa menjelaskan sambil memaksakan sebuah senyum.
"Kamu sedih ya pasti?"
"Ya gimana, aku juga udah mulai nyaman dan sayang sama dia. Kamu tahu kan seberapa baiknya dia terlepas dari semua masalah itu?"
Hana menepuk pelan bahu Prisa sambil hatinya juga ikut sedih mendengar cerita Prisa, "tapi aku pikir ya emang lebih baik kamu berhenti dari sekarang. Karena kalau dari cerita kamu, kayaknya keluarganya bakalan toxic banget. Kamu tahu nggak sih jenis ibu-ibu yang nganggap anak laki-lakinya itu adalah milik dia yang bahkan kalau udah menikah pun nanti dia masih merasa ada kuasa atas anaknya? Nah kayaknya mama nya Pak Deni termasuk jenis ini."
Prisa menyeka sekilas air matanya yang tanpa sadar mulai mengalir, "itu yang bikin aku takut banget. Aku udah capek dari ayahku masih hidup sampai sekarang terus dihina dan dan direndahin sama keluarganya hanya karena keterbatasan ekonomi. Aku bingung kenapa semuanya harus dinilai dengan harta? Melihat sikap mama dari Pak Deni bikin aku ngerasa semakin trauma."
"Iya, aku tahu Pris. Kamu pasti ingin berubah dan lepas dari lingkaran permasalahan seperti ini. Tapi yang menyebalkannya adalah, mamanya Pak Deni ini nuduh kamu manfaatin anaknya. Padahal logikanya, kalau kamu emang pengen manfaatin orang, kenapa harus Pak Deni yang nggak kaya kaya amat? Kalau emang mau manfaatin ya harusnya yang kaya melintir dong biar puas? Ya nggak sih?" Hana tampaknya juga kesal.
Ucapan Hana membuat Prisa terkekeh, "bener juga. Kayaknya mamanya Pak Deni takut banget anaknya diambil orang karena dia udah susah payah bikin anaknya yang dari keluarga biasa aja jadi berhasil dan ya lumayan kaya."
"Emang gitu Pris, lebih susah berurusan dengan orang yang baru jadi orang kaya dibanding orang yang dari urat nadinya bener-bener kaya," Hana tertawa sambil coba menghibur sahabatnya itu.
Prisa ikut tertawa sambil menghapus sisa air matanya. Ya walaupun ia masih merasa sangat sedih tapi setidaknya Hana sedikit bisa menghibur.
"Yang aku pikirin sekarang gimana caranya balikin semua yang Pak Deni kasih ke aku sebelumnya. Kepalaku sekarang rasanya benar-benar akan pecah mikirin ini." Prisa berbagi cerita masalahnya yang lain pada Hana.
"Kamu serius mau balikin? Namanya udah di kasih ya harusnya ikhlasin aja ga sih?"
Prisa langsung menggeleng, "mamanya minta balikin waktu itu, ya walaupun dia bilang kalau aku mampu aja. Tapi hidupku rasanya sangat tidak tenang."
"Tapi Pris, kamu kayaknya nggak harus ambil pikir itu deh. Kamu ngelepasin Pak Deni aja itu udah jauh lebih dari cukup. Lagian sekarang kamu butuh uang buat ngelanjutin pengobatan mama kamu, biarin aja lah yang masalah itu."
Prisa sudah bergerak meremas kepalanya dengan kedua tangannya karena saking pusingnya, "gini banget hidupku Han, gimana sih rasanya hidup tenang barang sebentar aja? Baru aja kemarin rasanya aku rada bisa sedikit bernapas karena ada Pak Deni, ternyata semua itu harus dibalas lagi sama hal kayak gini. Capek banget rasanya."
Hana menatap Prisa dengan tatapan tak tega karena masalah Prisa rasanya sangat berat, "sabar Pris, ini pasti ada jalan keluarnya."
***
"Mbak, ini aku perlu ngebut apa enggak nih?" tanya Nania yang baru saja menggas motornya untuk mengantarkan Prisa ke kantor. Kebetulan hari ini ia dapat jadwal untuk ujian siang, jadi dia inisiatif pagi ini untuk mengantarkan sang kakak.
Prisa yang duduk di bangku belakang melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, "ga usah, santai aja. Belom telat, lagian juga kantor mbak nggak jauh."
"Tapi bukannya suka macet di lampu merah depan?"
"Iya sih rada macet, tapi ga bakalan telat kok. Santai aja bawanya, jangan kayak pembalap gini. Jangan bilang tiap hari ke sekolah kamu selalu ngebut?" Prisa agak mengencangkan suaranya agar terdengar oleh sang adik yang memakai helm.
"Kalau nggak ngebut nggak asik mbak."
"Kamu begini terus motornya mbak tarik lagi ya!"
"Hehe, jangan. Becanda kok, aku mah bawa motor paling lambat se kecamatan."
"Ish, dasar."
"Mbak, nanti aku pulang sekolah langsung ke tempat bimbel, agak telat mungkin pulangnya."
"Iya, tapi usahain jangan telat banget."
"Oke."
"Nania?"
"Iya, kenapa?" tanya Nania sambil melirik kakaknya dari spion motor.
"Kabarnya udah mulai mau daftar kuliah jalur prestasi ya?"
"Iya, mungkin minggu depan."
"Kamu ikut??"
"Iya lah mbak."
Prisa tidak langsung menjawab, dia diam sejenak sambil tampak seperti memikirkan sesuatu.
"Kalau nggak lulus?" Prisa bersuara lagi namun dengan nada ragu.
"Ya daftar yang pakai cara ujian lah. Lagian aku sebenernya lebih prefer ke yang ujian, soalnya yang jalur prestasi sering untung-untungan. Aku ga yakin dengan keberuntunganku. Makanya aku belajar keras dari jauh hari."
Prisa mengangguk mendengar jawaban Nania, "kalau kuliah nya tahun besok? Kamu mau nggak?"
"Hah?? Apa mbak?? Suara mbak kecil banget!" tanya Nania lagi karena tidak mendengar jelas pertanyaan Prisa.
"Mbak nanya, kamu nanti pulang mau beli sarapan dulu nggak??" Prisa mengulang pertanyaan namun dengan pertanyaan yang berbeda karena mendadak ia takut menanyakan hal sebelumnya pada Nania.
"Oh itu, iya mbak. Tadi mama bilang mau bubur ayam yang di pengkolan kita lewat tadi. Kasian mama udah pengen itu dari masih di rumah sakit."
"Oke, tolong beliin aja."
Setelah beberapa saat melewati perjalanan, akhirnya Nania dan Prisa sudah sampai di dekat gedung kantor.
"Nania awaaassss!!!" Prisa terpekik karena Nania menepi secara mendadak sehingga nyaris bersenggolan dengan sebuah mobil yang membuat mereka menjadi oleng.
"Mbak nggak papa mbak?" Nania yang juga kaget tetap berusaha menyeimbangkan badan dan berhasil berhenti dengan selamat di tepi jalan, ia langsung memastikan keadaan Prisa yang tadi langsung memegangi pundaknya dengan erat.
Prisa menghembuskan napas berat sambil mengusap dadanya yang masih kaget, "kamu itu ya udah berapa kali mbak bilang hati-hati sejak tadi, hampir aja kan!?"
"Iya orang namanya juga ga sengaja. Eh orang mobilnya bakal marah nggak ya mbak??" Nania mulai deg degan melihat ke arah mobil yang kini berhenti di depan mereka.
Prisa memilih turun dari motor dan hendak menyusul mobil itu untuk minta maaf, dari sisi mobil nyatanya seseorang juga sudah keluar.
"Ouh? Pak Dehan??" Prisa terkejut melihat siapa yang kini juga berjalan ke arahnya.
"Ya ampun Prisa, kamu ternyata. Apa kalian tidak apa-apa??" Dehan bertanya sambil melihat ke arah Nania yang masih diam di motornya.
"Nggak apa-apa pak, saya minta maaf. Itu tadi kita yang salah, saya minta maaf ya pak. Apa bapak tidak apa-apa?"
"Kita baik-baik saja. Eum itu yang bawa motor siapa?" Dehan bertanya penasaran.
"Ah, itu adik saya pak." Prisa memberi tahu lalu menoleh ke arah Nania untuk menyuruhnya segera mendekat dan minta maaf. Nania pun menurut dengan turun dari motornya untuk mendekat.
"Saya minta maaf pak, tadi itu saya yang salah," Nania meminta maaf setelah di beri tatapan perintah oleh sang kakak.
"Iya tidak apa, lain kali lebih hati-hati saja. Bapak yang bawa mobil tadi juga agak kaget," Dehan menunjuk ke arah mobil memberi tahu kalau bukan dirinya lah yang sebelumnya membawa mobil.
"Iya pak, maaf."
"Oh, jadi apakah ini yang namanya Nania?" Dehan bertanya pada Prisa.
"Iya pak, ini adik saya Nania."
Dehan langsung tersenyum, "Manda sering cerita tentang kamu, temannya Gama kan?"
Nania melirik sang kakak terlebih dahulu sebelum menjawab ucapan Dehan, "iya pak, saya temannya Gama."
"Terima kasih ya udah mau main sama Manda, dia selalu senang sekali kalau habis ketemu kalian." Dehan malah berterima kasih dengan wajah senang.
"Iya pak, kita juga seneng kalau gitu. Manda orangnya baik sama ceria sekali."
"Oh iya, kamu mau masuk kan? Yaudah kita sekalian saja." Dehan mendadak saja mengajak Prisa untuk jalan masuk ke kantor bersama.
"Eh iya pak, boleh."
"Kalau gitu aku pulang dulu ya mbak, pak." Nania pun juga pamit untuk pulang.
"Iya, kamu hati-hati ya."
*
Prisa dan Dehan pun kini berjalan beriringan masuk ke kantor, ya walaupun jujur saja Prisa jadi sedikit gugup. Bagaimana bisa ia berjalan beriringan dengan salah satu pimpinan kantor pagi ini? Bahkan rasanya ia menjadi sangat canggung saat orang lain melihat ke arah mereka. Tentu ada banyak yang melihat, siapa saja pasti akan menyapa Dehan di kantor ini.
"Bapak ke kantor ga bawa mobil sendiri?" tanya Prisa memulai obrolan agar tidak semakin canggung.
"Hari ini kebetulan tidak. Kamu sendiri tumben di antar Nania? Dia tidak ke sekolah?"
"Kebetulan hari ini dia ke sekolah nya siang, jadi dia nganterin saya dulu."
"Hm, begitu ternyata. Mengenai Nania, sebenarnya Manda sering sekali membicarakannya."
"Oh ya? Bicarain apa pak?"
"Manda bilang kalau Nania itu keren walaupun awalnya kelihatan kasar tapi ternyata baik. Dia juga suka ceritain tentang Gama yang suka nyari perhatian Nania tapi selalu gagal."
Prisa tertawa, "Manda sering cerita hal seperti itu ke bapak?"
"Tentu, apa lagi memangnya yang akan kami bicarakan kalau bukan hal seperti itu?"
"Kalau dilihat-lihat sih Manda memang suka banget merhatiin masalah Nania Gama, pak."
Dehan mengangguk sambil terkekeh pelan, "saya senang sekali Manda kenal dan dekat dengan kalian."
"Kita juga seneng banget pak. Tapi apa beneran ga apa-apa Manda sering main ke tempat saya pak? Sebenernya rumah saya agak kecil dan di tempat yang ga begitu bagus." tanya Prisa ingin memastikan. Karena sebenarnya ia ragu tiap kali Manda datang dengan Gama mengatakan kalau ia dibolehkan untuk pergi ke rumahnya.
"Ya tidak masalah asal Manda merasa senang dan baik-baik saja. Lagian Manda jarang sekali bisa dekat dengan orang lain."
"Beneran pak? Maaf, tapi saya lihatnya Manda itu anaknya ceria dan santai aja dekat dengan orang lain."
"Ya karena dia menyukai kalian. Di lingkungan tempat tinggal saja dia hanya mau dekat dengan Gama dan di sekolah ia juga tidak begitu banyak teman. Dia terbiasa dan nyaman hanya dengan beberapa orang saja. Makanya di awal saya kaget saat di shelter dia mau bicara sama kamu, biasanya dia hanya diam saja." Dehan menjelaskan.
Prisa agak kaget namun lanjut tersenyum, "saya jadi merasa spesial karena bisa dekat sama Manda, pak."
Dehan ikut tersenyum melihat ke arah Prisa yang berjalan di sampingnya, "sepertinya memang spesial. Sekali lagi terima kasih ya."