Elena menyeka air mata yang membanjiri wajahnya. Dia menarik napas dalam, lalu membuka pintu dengan kasar. Hatinya terluka dan penuh am4rah. Elena melenggang masuk ke kamar, mengejutkan sepasang kekasih yang baru saja selesai bercinta di sana.
“Elena?” Josh spontan melepas pelukannya dari Bianca. Dia turun dari ranjang, meraih celana panjang yang teronggok di lantai, lantas mengenakannya.
“Beraninya kalian melakukan ini di belakangku!” Elena murka.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Josh.
“Josh!” pekik Bianca. Wanita itu melilitkan selimut ke tubuhnya, lalu menghampiri Josh. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.
Elena muak melihat kelakuan sahabatnya. Dia menatap kecewa pada Bianca, menggeleng lemah, lalu berkata, “Aku memercayaimu, tapi lihat yang kau lakukan di belakangku! Kau bercinta dengan pacarku!” Suara Elena bergetar, menunjuk Bianca dengan penuh kekecewaan.
“Elena dengarkan aku! Ini tidak seperti yang terlihat.” Josh coba menyentuh Elena, tetapi wanita itu segera menepisnya.
“Jangan sentuh aku!” Elena mengangkat kedua tangannya, seolah jijik pada Josh. “Aku sudah mendengar semuanya, Josh. Kau hanya memanfaatkanku untuk pekerjaanmu. Dan kau!” Elena menunjuk Bianca, sangat emosional. “Kupikir kau adalah sahabatku, tapi ternyata kau adalah ular berbisa yang menggigitku dari belakang! Kalian berdua pengkhianat!”
“Jangan bicara sembarangan tentangku!” sambar Bianca seraya mengayunkan tangan. Dia hendak menampar Elena, namun dengan cepat Elena menangkap tangannya.
“Kau sudah menghancurkan persahabatan kita, Bianca. Jadi, mulai sekarang kau bukan lagi sahabatku.” Elena meremas pergelangan tangan Bianca hingga wanita itu meringis kesakitan.
Elena kemudian mengempas tangan Bianca dengan kasar. Dia berpaling pada Josh. “Dan kau… bukan lagi kekasihku!”
Usai mengatakan itu, Elena segera berbalik dan melangkah pergi.
“Elena!” Josh berusaha mengejar, tetapi Bianca menahannya.
Elena tidak peduli lagi. Dia terus mengayunkan kaki meninggalkan Josh dan Bianca. Tangisnya pecah begitu dia keluar dari tempat terkutuk itu.
Masalah datang bertubi-tubi, menghancurkan Elena dengan begitu kejam. Dia tidak tahu lagi harus ke mana. Otaknya tidak dapat berpikir. Elena benar-benar kalut, dan di sanalah dia berakhir. Di sebuah klub malam, berharap alkohol dapat menghilangkan semua masalah yang menimpanya. Di antara dentum musik dan minuman keras, Elena mulai kehilangan akal sehat. Dia sudah mabuk, tapi tidak ada keinginan untuk berhenti.
“Sendirian saja?” Seorang pria datang dan duduk di samping Elena.
Elena tidak menanggapinya. Dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Sampai ketika pria itu dengan kurang ajar menyentuh pahanya.
“Singkirkan tanganmu dariku!” Elana menepis kasar tangan pria itu.
Namun, pria itu justru memutar badan, duduk menghadap Elena. “Kau terlihat sedang banyak masalah.” Dia menatap Elena dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setelan kerja yang dikenakan Elena dipadu dengan rambut cokelat yang berantakan justru terlihat begitu seksi, hingga memancing niat jahat pria tersebut. “Kau sangat cantik dan seksi. Bagaimana kalau kau menghabiskan satu malam denganku?” ajaknya dengan tatapan lapar.
“Pergilah!” Elena menepis tangan pria itu saat berusaha menyentuhnya.
Merasa tertolak, pria itu pun mengambil tindakan lebih berani. Dia berdiri, lalu menarik tubuh Elena dalam pelukannya. “Tidak ada yang bisa menolakku, Nona. Tidak satu pun wanita di klub ini, ataupun dirimu!”
Elena berusaha melepaskan diri dari pria itu. Namun, dia tak memiliki cukup tenaga.
“Lepaskan dia!” perintah itu terdengar tegas.
Suara bariton itu datang dari arah belakang, menyelinap di antara dentum musik yang mengentak. Dia adalah Sean Blackwood, pria yang sangat berpengaruh di kota, seksi, dan berbahaya.
“Dia wanitaku. Jangan ikut campur!” kata pria yang membawa Elena.
Sean Blackwood menarik Elena dari pria itu, lalu berkata dengan tegas, “Aku tidak suka kebohongan.” Dia mencengkeram kerah pria itu, menatapnya tajam. “Kau tahu siapa aku?”
Setelah melihat wajah Sean dari dekat, pria itu meneguk ludah. Tubuhnya gemetar. “Maafkan aku, Tuan Blackwood.”
“Pergi dari hadapanku atau aku akan mematahkan lehemu,” desis Sean, penuh ancaman.
Begitu Sean melepaskannya, pria itu tergopoh-gopoh pergi.
Sean mengalihkan atensinya pada Elena, membawa wanita itu ke tempat yang lebih tenang.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Dia memandang Elena, menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian wajah wanita itu.
Elena membuka mata, tersenyum, menatap sayu pada Sean selama beberapa waktu. “Hei, aku ingat dirimu.” Elena menyentuh wajah Sean. “Kau pria di rumah sakit itu, bukan? Kenapa kau ada di sini? Apa kau mengikutiku?” Jemari Elena menari-nari di rahang Sean.
“Hentikan!” Sean menangkap tangan Elena.
Namun, hal itu justru membuat Elena semakin menjadi-jadi. Elena berusaha berdiri dengan kaki sendiri, tetapi dia kehilangan keseimbangan. Dia jatuh dalam pelukan Sean, dan berpegangan pada bahu pria itu.
“Kenapa kau mengikutiku? Apa kau menyukaiku, Tuan?” racau Elena, kembali menggoda Sean.
“Aku bilang hentikan!” Sean menarik tangan Elena menjauh.
Sayangnya, Elena sudah kehilangan akal sehat. Wanita itu terlalu mabuk dan tidak malu untuk menggoda Sean dengan lebih agresif. Dia mengalungkan kedua tangannya di leher Sean, lalu menariknya lebih dekat. Aroma alkohol dari mulut Elena membuat Sean tersulut.
Elena mencium bibir Sean, lalu berbisik di telinga pria itu, “Kau mau tidur denganku?”
“Kau mabuk. Aku akan mengantarmu pulang.” Sean berusaha menekan sesuatu yang mendesak di dalam dirinya.
Elena menggeleng. “Aku tidak ingin pulang. Aku harus mendapatkan uang yang banyak. Kau mau membeli ginjalku? Aku punya dua. Kau bisa membelinya satu. Tenang saja, aku tidak akan mati,” ucap Elena semakin ngawur.
“Aku tidak tertarik dengan ginjalmu. Ayo. Kau tidak seharusnya berada di sini.” Sean menarik tangan Elena, tetapi wanita itu justru menangis.
Elena memeluk Sean, lalu mengadu seperti anak kecil. “Pacarku selingkuh. Dia bercinta dengan sahabatku. Aku membenci mereka.” Elena mengangkat wajah, menatap Sean dengan air mata yang meleleh dari kedua matanya. “Tapi aku butuh uang itu. Kau pasti punya banyak uang. Tuan, aku bisa menjadi simpananmu asalkan kau memberiku uang itu.” Elena terlalu mabuk untuk tahu dengan siapa dia sedang berurusan.
Sean membasahi bibir, berusaha tetap berada di bawah kendali. “Kau tidak akan mau melakukan itu,” ujarnya.
“Aku mau,” sahut Elena. Wanita itu meremas rambut Sean, lalu menciumnya dengan tiba-tiba. Satu tangannya yang lain bermain-main di d**a Sean, menari-nari, dan terus bergerak turun hingga ke pangkal paha.
“Jangan coba-coba melakukan itu!” Sean menahan tangan Elena sambil menghindari ciuman.
“Aku mau menjadi simpananmu.” Elena mencium leher Sean. Embusan napasnya yang hangat membuat pria itu memejamkan mata. Godaan ini terlalu berat, lebih-lebih saat Elena berbisik, “Aku masih perawan.”
Dada Sean berdesir hebat. Bisikan itu mempermainkan gairahnya. Dia menggeram dengan mata terpejam, berusaha mengendalikan monster di dalam diri yang memberontak.
“Kau bisa memilikiku, Tuan. Aku akan melayanimu dengan baik.” Elena menggigit bibir, lalu berlutut dengan perlahan di hadapan Sean. Tangannya menjelajah tubuh gagah Sean yang terbalut setelan jas mahal.
Tepat sebelum Elena mencapai area pribadinya, Sean menahan dan menarik wanita itu berdiri. Sean menatap mata Elena yang kosong. “Kau mau pulang?”
“Aku tidak mau pulang.” Elena menggeleng putus asa.
“Kalau begitu, aku akan membawamu pulang.” Sean menyeringai penuh maksud.