Sebuah Rasa

1001 Words
1.       “Oiya tadi kamu mau pizza kan? Biar aku pesan dulu ya,” ujar Michael, lalu ia mengambil hp di saku celananya. “Extra Cheese kan?” tanya Michael kepadaku. “Iya, pokoknya yang banyak.” Jawabku. Secara tiba – tiba, aku mengingat tentang keributan Chris dan Michael tepat sebelum aku kecelakaan. Aku mengingat jika Chris mengatakan bahwa Michael mendekati aku lebih dalam karena ia tau bahwa Chris menyukai aku. Tanganku mengeluarkan keringat dingin, aku berusaha untuk tidak marah dan melupakan perkataan tersebut tapi entah kenapa aku ingin sekali mengungkapkan kekesalanku. Ketika Michael selesai memesan pizza, ia duduk di sampingku, “Michael, aku mau tanya sesuatu deh sama kamu.” “Tanya apa?” “Aku mau tau apa benar yang dikatakan Chris sebelum aku kecelakaan kemarin itu, kata Chris kamu cuma dekat sama aku gara – gara kamu mau balas dendam dengan dia?” tanyaku kepada Michael. Chris yang sibuk dengan hpnya langsung menoleh ke arah kami. “Kamu gak usah mikirin itu, lagian itu kan dulu. Yang penting perasaan aku ke kamu sekarang jelas,” jawab Michael. “Aku gak nanya soal sekarang, aku mau tau perasaan kamu yang dulu sama aku gimana,” balasku. Aku mengepalkan tanganku dan berusaha untuk menahan emosi. Jantungku mulai berdebar. “Oke, aku akui kalau aku salah. Awalnya aku benar suka sama kamu Michelle, tapi setelah aku melihat Chris mengantarkan kamu ke kampus, aku jadi tau kalau kamulah perempuan yang disukai sama dia. Dari situ aku mendekati kamu dan aku terobsesi untuk balas dendam dengan Chris. Tapi lama kelamaan aku jatuh cinta beneran sama kamu,” jelas Michael. Aku menyandarkan kepala di sofa, aku menatap ke atas sambil menahan air mata yang hendak menetes, “seharusnya aku tau ini dari awal.” Michael menyentuh lenganku tapi aku langsung mengelak, “kamu gak bisa kayak gini dong, itu kan udah dulu. Sekarang aku beneran tulus sama kamu,” balas Michael. “Wajar gak sih aku marah? Wajar gak kalau aku merasa seperti dipermainkan sama kamu?” tanyaku dengan nada tinggi. “Gak salah, tapi kamu jangan semarah ini dong sama aku, aku ngerti aku salah. Tapi itu dulu, sekarang aku cinta banget sama kamu,” kata Michael berusaha untuk meyakinkan aku. Michael memegang tanganku, “kamu jangan emosi gini ya, kamu harus inget kalau ada calon anak kita yang harus kita rawat,” Aku bangkit dari sofa, “aku gak peduli dengan siapapun sekarang, aku lebih baik pergi dari sini.” Aku berjalan cepat menuju kamar untuk mengemas pakaianku, aku butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikiran dan hatiku. “Michelle, tolong jangan kayak gini dong. Kamu baru aja keluar dari rumah sakit,” larang Michael. Ia mengejarku sampai ke kamar, lalu ia menarik tanganku. “Apa lagi?” tanyaku kepada Michael. “Kasih aku kesempatan sekali lagi untuk aku memperbaiki ini semua,” Mohon Michael. Aku tidak mau menjawab permohonannya sekarang, karena saat ini pikiranku sedang kacau. Aku tidak mau menyesali keputusanku. “Aku butuh waktu untuk sendiri dulu,” kataku. Michael melepas genggaman tangannya di lenganku, “oke, aku kasih waktu kamu sampai kamu benar – benar siap. Aku minta maaf udah bikin kamu kecewa berkali – kali, aku cinta sama kamu.” “Dan kamu gak perlu keluar dari rumah ini, aku aja yang keluar dari rumah ini sampai kamu buat keputusan.” Lanjut Michael. Aku duduk di pinggir tempat tidur, untuk mengistirahatkan kakiku sejenak, “kamu gak usah keluar dari rumah ini, ini rumah kamu sendiri.” Michael duduk di sampingku, “bukan, ini rumah kita bertiga,” jawab Michael, lalu ia mengelus perutku. Setelah itu Michael mengemaskan barang – barangnya dan pergi dari rumah. Sementara dia akan tinggal di apartmentnya yang tidak jauh dari lokasi hotel miliknya. Sedangkan Chris masih menungguku di bawah. “Dia memang benar cinta sama kamu Michelle,” ucap Chris ketika aku menuruni tangga. Aku menaikkan bahuku, “entahlah, sekarang susah untuk membedakan mana yang benar cinta dan mana yang palsu. Semua terlihat sama aja.” Chris berjalan mendekatiku dan membelai rambutku, “yang aku tau Michael mencintai kamu sama besarnya aku mencintai kamu. Mungkin bedanya di awal dia gak tulus.” Aku memiringkan kepala serta mengerutkan dahi, “loh, sekarang kok kamu malah ngebelain Michael? bukannya itu yang kamu mau kan? Aku berantem dengan Michael?’ tanyaku kepada Chris. Chris duduk di sofa, ia memangku kepalanya, “mungkin cinta aku sama kamu gak sempurna, tapi kamu yang ngebuat kita nunggu lama. Bukan Michael atau aku yang mempermainkan kamu, tapi kamu yang mempermainkan kami berdua terutama aku!” Murka Chris. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Chris marah kepadaku, yang ia katakan benar. Aku telah mempermainkan mereka berdua. Aku terlalu labil dan sulit mengambil keputusan sehingga aku merugikan orang yang aku sayangi yaitu mereka. “aku gak sengaja untuk nyakitin kalian,” belaku. “Gak sengaja, kamu udah nyakitin aku. Kamu kasih harapan dan cinta ke aku, tapi ujungnya sangat pahit. Iya aku akui kalau aku pergi ninggalin kamu gitu aja, tapi apa pernah kamu pikir betapa capeknya aku menunggu hal yang tidak pasti?” tanya Chris kepadaku. Ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapanku dengan tatapan yang penuh emosi, “jawab!” kata Chris dengan nada cukup tinggi. “Aku minta maaf, aku gak ada maksud buat nyakitin kalian,” balasku. “Selama ini aku udah sabar nunggu kamu untuk akhirnya jadi milik aku. Aku kasih apapun yang kamu mau. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk buat kamu bahagia, tapi gak ada hasilnya,” Ujar Chris. Chris duduk, lalu ia mengacak – acakkan rambutnya, “I just wanna say that I love you, kenapa susah banget buat kamu menentukan pilihan.” “Aku minta maaf,” Aku mencoba untuk memegang lengannya, tapi ia mengelak. “Maksud aku untuk pindah ke Huntington Beach adalah mau move on, tapi aku malah ketemu kamu di pesawat,” kata Chris. “Apa sebelumnya kamu tau kalau aku dan Michael bermaksud untuk pindah ke sini?” tanyaku kepada Chris. Ia menggelengkan kepalanya, “aku sama sekali gak tau apapun.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD