*
*
“Cel, lo tau bin— ... maksud gue wanita hamil yang semalem di kamar gue nggak?”
Lexi nyamperin Celo ke depan setelah tak menemukan Gita didalam apartemennya. Ingin tak peduli, tapi setelah dua jam nungguin Gita pulang, ia lelah juga. Bukannya kehilangan, tapi ... lebih tepatnya khawatir. Secara ya, gadis polos yang o’on-nya kebangeten itu bisa aja di manfaatkan orang. Di jual ginjalnya mungkin, ato dikurung sama orang jahat yang butuh cebong dalam perutnya itu. ya ... itulah pemikiran Lexi.
Celo terkekeh kecil. “Heleh, akui bini juga nggak apa, Lex.”
“Cckk, nanya serius!” ucapnya dengan wajah galak. Ya, emang wajahnya selalu terlihat galak sih.
“Pagi tadi sih gue liat dia keluar. Pakai jaket lo, abis itu gue nggak liat dia lagi.” Terang Celo dengan mengedikkan kedua bahu.
Lexi mengacak rambut dengan hembusan nafas kasar. Untuk kali ini, ia benar-benar harus tau keberadaan istri dadakannya itu. Tak bicara lagi, Lexi melangkah keluar dari gedung. Kali ini tujuannya ke toko pakaian yang ada disebrang jalan.
“Mas, nyari istrinya?”
Pertanyaan yang membuat Lexi menoleh. Menatap pak satpam yang ada dipos depan gedung apartemennya. Dengan ekspresi seperti biasa yang selalu terlihat sadis, ia ngangguk.
“Liat dia?”
Pak satpam ngangguk. “Tadi pagi masuk toko pakaian itu, sama mini market sebelahnya. Lalu di bawa sama lelaki pakai jas. Naik mobil.” Tutur pak satpam yang mampu membuat Lexi melotot dengan rasa khawatir yang melingkupi hati.
‘Beneran kan, ikan hiu diculik.’ Batinnya.
“Mobilnya pergi kemana, pak?” tanyanya tak sabar.
“Kesana.” Menuding kearah selatan. “Tapi kan udah tadi pagi, mas. Kalo mau ngejar sekarang, ya ... ibarat orang beranak, bayinya udah keluar.”
“Cckk!” desis Lexi dengan menatap si satpam kesal, terlebih pak satpam itu tertawa kecil.
Memutuskan untuk kembali masuk kedalam apartemen. Walau sebenarnya uring-uringan sama hati. Antara mau nyari Gita atau ngebiarin wanita itu pergi saja. Toh, dia enggak rugi kan? Mereka kan nggak ada hubungan apapun. Iya, nikah siri, tapi kan di sini malah Lexi yang rugi. Udah dia numpang hidup, ngerepotin, bikin setres pula.
“Nggak jadi nyari bini?” tanya Celo saat berpapasan dilobby gedung.
Hanya melirik sinis tanpa berniat menjawab. Lexi tetap melangkah masuk, berdiri didepan lift dengan perasaan yang tak tenang.
Ting!
Pintu lift terbuka, segera ia melangkah masuk, memencet angka. Detik kemudian pintu tertutup, menyisakan dia yang penuh kebingungan. Mendongak, menatap keatas dengan pikiran penuh pilihan.
Ddrrt ... ddrtt ....
Ponsel disaku celana berdering, tertera nama Geon si penelfon. Cepat tangan Lexi menggeser tombol warna hijau, lalu menempelkan ponsel ke telinga.
“Apa?”
“Tawaran iklan kolor merk terbaru. Dua hari lagi. Ini pemotretannya malam, jam lapan.” Suara Geon disebrang sana.
Lexi membuang nafas kasar. “Berapa duit?”
“Tiga kali pemotretan seratus juta. Cuma satu jam per potret.”
“Ambil.”
“Tanda tangan kontraknya ntar malam, jam tujuh.” Tutur Geon yang emang jadi asisten Lexi dalam hal pekerjaan.
“Ya.”
Nggak nunggu ocehan Geon lagi, Lexi segera mematikan ponsel. Kembali menyimpannya ke saku celana. Lalu melangkah keluar saat pintu terbuka. Menyugar rambut beberapa kali, kembali membuang nafas kasar melalui mulut. Diam didepan pintu kamar, sebelum akhirnya memencet beberapa angka untuk masuk kedalam apartemennya.
Ddrtt ... ddrtt ....
Kurang dua angka, ponsel dalam saku celananya kembali berdering. Menandakan jika ada telpon masuk lagi. Keningnya berkerut saat melihat nomor baru yang tadi, bahkan sudah beberapa kali menelponnya.
“Kok ada sih, tukang kredit yang ngebet minta di kreditin?”
**
Berdiri di ruang tamu dengan kaki yang mondar-mandir ke kiri kanan. Satu tangan memegang ponsel yang ia tempelkan ke kuping, tangan yang satu berada dimulut. Menggigit kuku jari yang sering ia lakukan saat merasa bingung.
“Apa sih, mbak! Udah gue bilang, gue nggak mau ambil kredit! Sem—“
“Sayang, ini aku.” Memotong kata-kata Lexi sebelum suami keduanya kembali memutus panggilan.
“Ikan hiu,” ucap Lexi disebrang sana dengan sangat terkejut.
Gita mengusap air mata yang menetes ke pipi, senyum mengembang. Ada rasa bahagia karna bisa mendengar suara Lexi lagi. “Bukan, aku Gita.” Elaknya dengan tangan yang sibuk mengusap mata.
“Eh, hiu, lo dimana? Lo pergi sama siapa? Lo baik-baik aja kan?” brondongan pertanyaan Lexi kembali membuat air mata Gita menetes. Merasa begitu bahagia karna ada yang peduli.
“Aela, malah mewek lagi. Ini lo dimana? Katanya lo pergi sama orang, naik mobil? Lo pergi sama siapa? Nggak dijual kan?” kembali beberapa pertanyaan itu membuat hati Gita merasa bahagia.
“Sayang ... hiks ... aku butuh bantuan kamu.”
Kembali terdengar helaan nafas disebrang sana. “Elo diculik?”
“Aku ... aku tadi dipaksa pulang sama mas Iklan.” Tutur Gita dengan air mata yang masih saja membasahi pipi. “Aku mau pergi, aku mau tinggal sama kamu aja. Aku nggak mau disini. Aku takut ....”
Diam, Lexi tak menanggapi, hanya ada helaan nafas saja yang tentu Gita tak tau apa artinya.
“Sayang, kamu ... kamu nggak mau ya ....” kembali ia menangis, mengambil nafas sebanyak-banyaknya. “Aku tadi ... aku tadi mau di perkosa sama mas Iklan ....” Gita mengelap ingus yang kini mulai keluar. “Aku ... aku takut.”
“Rumah suami lo dimana?”
Setelah mendapat jawaban dari Gita, Lexi langsung mematikan telpon. Nggak jadi masuk ke apartemennya, memilih balik mencet lift. Lalu mencari kontak Geon, kemudian menempelkan ponsel itu ke telinga.
“Ha—“
“Batalin pemotretannya.”
Seenak jidat dia mematikan telpon tanpa peduli apa tanggapan Geon. Terserah temannya itu mau ngomel atau apa, kali ini, pikirannya tertuju pada Gita.
Bayangan wanita bunting yang semalam nangis, mendekap tangannya. Bahkan dia bisa merasakan seperti apa rasa hati yang terlihat memang hancur oleh pengkhianatan suaminya. Lalu senyum manis wanita itu dengan lambaian tangan untuk mengantar kepergiaannya tadi pagi.
Cepat Lexi berlari menuju basemen untuk mengambil motor. Langsung memutar gas setelah helm terpasang di kepala. Alamat rumah yang tadi disebutkan Gita, bisa dengan mudah tercatat dikepala, karna memang notabe, IQ Lexi berada diatas rata-rata. Hanya ... memang dia ... bobrok.
Gita memeluk ponsel dengan tangis haru. Ada banyak kelegaan karna Lexi bersedia menjemputnya. Keputusannya untuk meninggalkan Iklan dan memilih berpisah sudah bulat. Dalam hidupnya, ia tak pernah menerima pengkhianatan. Walau itu hanya berdua, tak mendua sekalipun, ia tak bisa. Terlebih ... dengan mata sendiri ia melihat Iklan yang tengah berciuman mesra dengan Putri. Lalu rumah baru yang sengaja Iklan beli untuk di tempati sekretaris barunya itu. Kurang bukti apa lagi? Belum lagi ada banyak kondomm yang ia temukan didasboard mobil. Ah, semua terlalu nyata.
Gita beranjak dari ruang tamu, masuk ke kamar untuk mengambil beberapa helai pakaian serta surat-surat penting miliknya. Termasuk rumah besar ini, rumah yang Iklan hadiahkan sebagai kado ulang tahun pernikahan mereka yang pertama dulu.
“Terima kasih, Git. Terima kasih karna kamu telah menerimaku, mau menemaniku walau aku dalam keadaan cacat begini. Aku mencintaimu, aku mencintaimu segenap jiwa ragaku.”
Air mata menetes lagi membasahi kedua pipi, bayangan wajah suami saat mengatakan keseriusannya itu kembali terlintas. Menepuk dadaa beberapa kali untuk menghilangkan rasa sesak yang kini membuatnya kesulitan bernafas.
Gita terlonjak saat mendengar suara mobil yang berhenti didepan rumah. Segera berdiri, berlari keluar kamar, membuka gorden ruang tamu. Mobil warna hitam milik suami sudah berhenti tepat didepan rumah. Detik kemudian, Iklan keluar dari sana dengan menarik dasi agar tak mencekik leher.
“Kenapa dia sudah pulang? Bukannya meeting dua kali?” gumam Gita.
Kembali Gita masuk ke kamar, menyembunyikan tas ransel yang sudah ia siapkan. Mengusap sisa air matanya, menarik nafas dalam, lalu membuangnya pelan. Berharap Iklan tak akan melakukan tindakan yang tak ia inginkan seperti tadi.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok Iklan yang kini melangkah masuk kedalam kamar. tatapannya bertemu dengan Gita yang kini beranjak dari duduknya. “Kenapa sudah pulang? Bukankah kamu ada meeting, mas?” tanya Gita dengan rasa was-was.
Iklan tersenyum, melepas jasnya, menyampirkan ke kursi yang ada didepan meja rias. Lalu melangkah mendekati Gita yang berdiri menggenggam ponsel.
“Meetingku udah selesai. Nggak tau, hari ini aku kepikiran kamu terus.” Tangannya terulur, hendak membelai wajah Gita.
Cepat Gita melangkah mundur, membuat tangan itu tak jadi menyentuh kulit wajahnya. Merasa tak aman berada didalam kamar, Gita melangkah keluar. Mendudukkan p****t disofa ruang tamu, memasang kuping untuk mendengarkan suara motor Lexi yang sangat ia tunggu-tunggu.
Kening Iklan berkerut. “Suami pulang kok malah bengong. Kamu nggak buatin aku minum? Atau nyiapin aku makan? Aku pulang karna pengen makan di rumah lho,” berjalan menuju kulkas, ngambil sebotol air dingin, lalu meneguknya.
Gita sedikit menoleh. Bahkan dia sendiri nggak ada selera makan. “Masakan mbok Sum tadi pagi masih ada, mas. Kamu kan bisa makan itu. atau ... kamu bisa delivery seperti biasa yang kamu nginep di rumah baru itu.” ketus Gita menjawab.
Iklan terkekeh. “Sayang, aku ini nggak pernah nginep sana lho.”
Gita mendengus kesal, mengelus perutnya yang memang perih karna lapar. “Terserah, mas.”
“Nginep itu kalo malam. Aku kan kalo malam selalu kelonin kamu. Main ke rumah baru itu Cuma siang doang. Itu juga nggak lama. Cuma beberapa jam aja. Banyakan waktuku buat kamu, Git. Kamu itu yang utama buat aku. Udah ah, jan ngambekan kek anak kecil gitu. Aku nggak suka.” Iklan menaruh sepiring makanan yang ia ambil sendiri, lalu menarik kursi, duduk dimeja makan yang letaknya tak jauh dari ruang tamu.
Gita merem dalam, menahan omelan yang pengen ia keluarkan. Debat sama Iklan, nggak akan menang.
“Git, besok malam temani aku ke acara nikahan teman bisnisku ya.” Seru Iklan disela ngunyah.
“Kalo lagi makan jangan sambil ngomong, mas. Nanti kemu keselek bisa langsung mati lho. Nggak pake sekarat dulu.” Celetuk Gita dengan keras.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” buru-buru Iklan menuangkan air putih kedalam gelas kosong, lalu meneguknya. “Dosa kamu! Udah doain suami cepet mati.”
Gita menoleh, menatap ruang makan yang terhalang dinding. “Siapa yang doain sih! Aku Cuma ngeluarin unek-unek aja.”
Gita segera beranjak dari duduk saat mendengar suara motor gede yang berhenti. Memang suaranya terdengar agak jauh, karna pasti ada diluar gerbang. Segera berjalan menuju jendela, menyingkap gorden tipis yang menutupi kaca. Tersenyum saat melihat motor ninja warna putih, lengkap dengan si pengendara yang memakai helm senada.
Gita beranjak dari jendela, masuk kedalam. Memilih tak menatap Iklan saat melewati meja makan. Langsung masuk ke kamar. menatap ponsel dan mengetik pesan.
[sayang, tunggu bentar disitu. Aku bentar lagi keluar] send sayang.
Setelah pesan centang dua biru, Gita ngambil jaket milik Lexi yang tadi pagi ia pakai, menyimpan ponselnya disaku jaket. Bingung saat menatap tas ransel yang harus ia bawa.
‘Ini kan aku mau kabur. Kalo ijin, udah pasti nggak dibolehin. Mending nggak usah bawa barang banyak aja.’ Batinnya.
Kembali memasukkan tas itu, lalu mengambil dompet yang ada beberapa lembar uang dan kartu atm miliknya. Dengan berbagai pertimbangan tentang jawaban yang ia siapkan jika suami bertanya, Gita melangkah keluar kamar. celikukan mencari keberadaan Iklan, tapi tak ada. Hanya ada piring yang tertinggal diatas meja makan.
‘Mungkin mas Iklan ada didapur. Kesempatan untuk segera pergi.’ Pikir Gita.
Melangkah dengan sangat hari-hati melewati meja makan, lalu ....
“Kamu ... siapanya istri saya?”
Matanya melotot saat melihat Lexi yang kini duduk diruang tamu bersama suaminya. Tak sengaja, mata Lexi juga menatapnya yang baru saja muncul dari dalam. Membuat Iklan menoleh, menatap Gita yang berdiri dengan penuh keterkejutan.
“Gue suami Gita. Gue kesini mau jemput bini gue.”