Raia merebahkan dirinya di atas tempat tidur dan melirik Giska. "Tumben si Kiki mau tidur sendiri. Biasanya kan dia kalo kemana-mana maunya ditemenin. Secara, dia itu kan penakut." Komentar Raia dengan dahi berkerut.
Giska mengedikkan bahunya tak acuh dan mulai mengeluarkan satu persatu isi ranselnya. Terutamanya perlengkapan mandinya.
"Mungkin dia gak mau sekamar sama kita karena takut disangka lesbian kali." Jawabnya dengan nada datar yang membuat Raia memandangnya tak percaya. Temannya itu seketika mengambil bantal dan melemparkannya ke arah dimana Giska tengah duduk.
"Sialan! Kalo ngomong itu jangan asal!" ucap Raia tak suka. Tapi kemudian gadis itu bergidik ngeri. "Apa jangan-jangan selama ini, waktu gue jalan berdua sama loe trus gandeng-gandeng loe, gue juga dipandang begitu sama orang-orang? Trus hal itu kedengeran sama si Kiki trus dia sengaja jaga jarak dari kita?" Tanyanya dengan sorot ngeri. "Ey, amit-amit jabang bayi. Gue normal, gue masih suka cowok kali. Kalo loe yang lesbi trus suka sama gue sih, gue gak tahu. Kan sampe sekarang loe gak pernah pacaran sama sekali." Ucap Raia dengan nada mengejek yang membuat Giska kesal. Giska meraih sesuatu dari dalam tasnya dan melemparkannya begitu saja pada Raia. Raia terbahak dengan respon Giska itu, saking senangnya gadis itu tertawa di atas tempat tidurnya.
"Sialan loe! Cuma karena gue gak pernah pacaran bukan berarti gue lesbong ya!" pekik Giska, kini giliran dia yang kesal.
"Loe gak denger waktu professor Lira ngasih seminar? Katanya, cewek sama cewek itu gak boleh terlalu dekat," ucapnya seraya melempar kembali barang yang Giska lemparkan yakni sebuah tangtop berwarna putih. "soalnya kalo sesama jenis bersama-sama dalam waktu yang lama, bisa-bisa menimbulkan rasa yang mendalam." Lanjutnya seraya bangkit dari tempat tidurnya dan menarik kopernya sebelum duduk di samping Giska dan berbisik. 'takutnya, dari suka lama-lama jadi perhatian, dari perhatian timbul percikan-percikan yang..." Raia mendesah di telinga Giska yang membuat Giska kesal dan mendorong sahabatnya itu ke lantai.
Giska seketika berdiri dari duduknya dan memandang Raia tajam. "Kalo begini caranya, gue mendingan tidur sendirian aja." Ucap Giska seraya meraih tali ranselnya. Raia mengedikkan bahu, bersikap seolah ia tak peduli. Giska mengambil perlengkapan mandi yang tadi ia keluarkan dan berkata, "Awas aja kalo loe nyelinap ke kamar gue malem-malem dan numpang tidur karena loe lihat penampakan." Ucapnya yang seketika membuat Raia membelalakkan matanya karena takut.
"Ka, jangan gitu dong. Gue ralat ucapan tadi. Gue yakin loe normal kok. Loe gak akan suka sama cewek, apalagi cewek kayak gue." ucapnya dengan nada memelas seraya memeluk betis Giska. Raia itu tak ada bedanya dengan Kiki, sama-sama penakut.
"Gak usah repot, Ya. Gue gak mau ada tuduhan yang enggak-enggak antara kita berdua. Jadi lebih baik kita jaga jarak aja." Ucap Giska seraya menyeret kakinya yang masih dipeluk Raia.
"Giska!" teriak Raia lantang dalam upayanya mencegah Giska pergi.
"Apa?!" Giska balas berteriak sambil terus berusaha melepas kakinya dari pelukan Raia. Disaat bersamaan, pintu kamar terbuka dan Sandy berdiri di ambangnya dengan dahi berkerut dalam dan mata memandang Giska dan Raia bergantian.
"Kalian kenapa?" Tanyanya heran.
Giska mengedikkan bahu sementara Raia memandang kakaknya dengan wajah memelas. "Giska mau ninggalin aku Mas." Ucapnya secara tak langsung meminta bantuan sang kakak untuk menghadang Giska pergi dari kamarnya.
"Kamu mau balik, Ka?" Tanya Sandy pada Giska. Giska dengan ekspresi datarnya menggelengkan kepala.
"Aku Cuma mau pindah kamar." Jawabnya datar.
"Dia mau pindah kamar, Ya. Kamu kenapa sih? Kan Kiki juga pisah kamar sama kalian?" Sandy masih memandang adiknya kebingungan.
Giska terkekeh seketika. Dia memandang Raia yang masih memelas kepadanya dan Sandy bergantian. "Dia takut kalo ntar malam tidur sendiri, dia lihat penampakan." Ucap Giska yang membuat Raia kembali bergidik ngeri.
Sandy hanya menggelengkan kepala. "Ngawur kalian ini. Mas kira ada apa." Ucapnya lalu kemudian berlalu meninggalkan Raia dan Giska pergi. "Mama sama Papa udah datang. Mang Tatang juga bilang kalau makanan udah siap. Buruan turun." Ucap Sandy dari arah tangga.
Giska seketika melepaskan tasnya dan berlari cepat meninggalkan Raia untuk mengejar Sandy, di belakangnya Raia langsung berlari mengejar karena takut ditinggalkan sendiri.
Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan. Disana, di atas meja sudah terhidang beragam macam makanan yang mengeluarkan aroma gurih dan membuat siapapun yang menciumnya mendadak keroncongan.
Orangtua Raia, kakak, kakak iparnya dan juga dua keponakannya berikut Kiki sudah berada disana.
"Widih, makan siangnya mantep nih. Abis makan, langsung cus tidur kayaknya." Ucap Giska seraya melihat hidangan yang ada di meja. Ibu Raia terkekeh mendengarnya.
Mereka duduk mengelilingi meja makan dimana ayah Raia dan kakak ipar Raia masing-masing duduk di kepala meja. Ibu Raia duduk di samping kanan ayah Raia, disusul Raia dan Giska dan keponakan tertua Raia lalu kemudian kakak ipar Raia, kaka Raia, anak keduanya, Kiki dan Sandi berada di sisi kiri ayahnya.
Sepanjang makan, mereka tidak berhenti berbincang. Para laki-laki sudah berencana akan menghabiskan waktu mereka dengan berjalan-jalan ke perkebunan atau memancing bersama, sementara para wanita lebih memilih untuk tinggal di villa saja dan berenang di bagian belakang.
Saat tak ada suara dari Giska, orang-orang yang ada di sekeliling meja—kecuali Sandy—langsung menatapnya dengan curiga. Sadar kalau meja hening saat dia sendiri tengah asyik makan, Giska langsung mengangkat kepala.
"Kenapa?" Tanyanya pada Raia.
"Loe, gak niat ngelakuin hal yang aneh-aneh lagi kan?" Tanya Raia dengan mata menyipit dalam.
Giska mengerutkan dahinya dan memandang sahabatnya itu dengan heran. "Maksudnya?" Tanya Giska bingung.
"Loe gak berencana bikin kita panik kayak waktu itu kan?" tanya Raia lagi dengan nada menuduh.
"Emang gue ngelakuin apa?" Tanya Giska dengan senyum jahil di wajahnya.
"Emang gue ngelakuin apa?" Raia menirukan pertanyaan Giska dengan gaya berlebihan. "Loe lupa kalo loe balik kesini dalam keadaan hampir pingsan dua tahun lalu?" tuduh Raia lagi yang dijawab Giska dengan kedikan bahunya.
"Pingsan?" Sandy memandang adiknya dan juga Raia bergantian. "Pingsan kenapa?"
"Ini, bocah satu. Waktu kita dan temen-temen sekolah liburan kesini, dia tiba-tiba aja ngilang sendirian."
"Gue gak ngilang, Ya. Gue ngasih tahu loe kalo gue mau eksplor, masa iya liburan Cuma diem-diem aja di villa, lah gue mah ogah."
"Iya, loe bilang mau eksplor tapi gak tahu arah tujuan. Untung loe bisa balik kesini selamat, meskipun badan lecet-lecet. Kalo enggak, loe mungkin tinggal nama di batu nisan sekarang." Ucap Raia ketus yang dijawab Giska dengan kedikan bahu.
"Tuhan masih sayang sama gue, itu sebabnya gue panjang umur sampai saat ini. Dia tahu kalo Cuma gue satu-satunya disini yang bisa bikin loe olahraga jantung." Ucapnya seraya terkekeh yang dihadiahi Raia dengan pukulan di puncak kepalanya.
"Ya! Sakit!" pekik Giska seraya melotot pada sahabatnya itu.
"Dikit doang, biar loe sadar." Lanjut Raia dan kembali melanjutkan makannya.
"Sialan, rambut gue bau tumis kangkung!" ucap Giska yang membuat seisi meja tertawa.
Sandy sebenarnya penasaran dengan cerita lengkapnya, terlebih tampaknya hanya dirinya satu-satunya orang yang tidak mengetahui kisah itu. Namun dia menahan diri untuk tidak membahasnya. Mungkin nanti, dia akan bertanya pada Raia tau pada Giska secara langsung.