Giska keluar dari kamarnya. Sejenak ia melirik ransel dimana ia menyembunyikan ponsel lamanya. Sudah dua hari ini Anda tidak menghubunginya. Kemana pria itu? bukankah pria itu sudah kembali, tapi kenapa sampai saat ini pria itu tidak mengajaknya untuk bertemu. Apakah pria itu sudah tidak berminat lagi untuk bertemu dengannya? Atau pria itu masih sibuk dengan urusan kepindahannya?
Banyak pertanyaan di benak Giska. Ia sebenarnya ingin menanyakan tentang kecurigaannya pada Raia, namun ia tahu kalau Raia tidak akan memberikannya jawaban apa-apa. Karena sejak awal, perjanjian mereka adalah Giska harus mencari tahu siapa pemilik nomor itu dengan caranya sendiri.
Makan malam berlangsung di bagian belakang villa di area yang dekat dengan kolam renang. Sandy dan kakak iparnya bergantian membakar daging sementara para wanita mempersiapkan bahan makanan. Setelah semua matang, mereka berkumpul di meja makan. Hadir pula Mang Tatang, istri dan dua anaknya yang masing-masing berusia sepuluh dan lima tahun.
Pukul delapan malam, ibu Raia membawa kue tart dari dalam villa yang sudah dipasangi dua buah lilin angka usia ayah Raia. Setelah menyanyikan lagu, sebelum lilin ditutup oleh yang berulang tahun, keponakan Raia sudah lebih dulu mematikan lilin dengan cara meniupnya. Dan supaya tiga anak lainnya tidak iri, maka ibu Raia menyalakan lilin sampai tiga kali lagi dan mereka masing-masing meniupnya sekali.
Pukul sembilan, acara dibubarkan dan orangtua Raia memilih untuk kembali masuk ke dalam villa karena merasa sudah cukup lelah. Kakak dan kakak ipar Raia pun turut serta masuk ke dalam rumah untuk menidurkan anak-anak mereka dan Mang Tatang beserta istri dan anaknya pamit untuk pulang ke rumah mereka yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari arah villa.
Tinggalah Raia, Giska, Sandy dan Kiki yang masih terduduk di halaman belakang villa. Menghadap pada sisa api yang masih menyala sisa barbeque-an mereka.
"Besok, enaknya kita ngapain ya?" Celetuk Raia tiba-tiba. Ia memandang kedua sahabatnya dan juga kakaknya bergantian. Namun ketiga orang itu tidak menjawab dan malah asyik dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. "Woy! Ditanyain juga kok malah mingkem." Keluh Raia kesal.
"Abang ikut Papa aja." Jawab Sandy dengan nada datarnya.
"Gak asik." Komentar Raia ketus. "Loe?" Tanya Raia pada Giska.
"Gimana besok aja. Lihat cuaca." Jawab Giska sama tak acuhnya. Raia memandangnya dan kemudian menggelengkan kepala karena kesal. Ia tidak perlu bertanya pada Kiki, karena jelas Kiki bukan orang yang suka berkelana seperti Giska. Dia tipe orang yang akan ikut saja apapun yang besok akan terjadi.
"Gue balik duluan ke kamar ya." Ucap Giska dan tanpa menunggu persetujuan siapapun ia melangkah masuk ke dalam villa. Pikirannya saat itu tertuju pada satu benda di kamarnya. Yaitu ponsel lamanya.
Selama ini Giska memang tidak pernah menghubungi si pemilik nomor lebih dulu. Pikirnya dulu, mengingat Anda berada di luar negeri, ia tidak mau mengganggu kesibukan atau jam istirahat pria itu. Namun karena sekarang ia tahu Anda sudah berada di Indonesia, Giska menduga kalau tidak apa jika dia menghubungi pria itu lebih dulu.
Giska mengeluarkan ponsel dari ranselnya dan dengan headset kabel di tangannya, dia membawa ponsel itu ke balkon.
Satu nada sambung, tidak terangkat. Dua kali, masih belum di angkat. Dan di deringan ketiga, saat Giska merasa putus asa, terdengar sapaan dikejauhan sana.
"Hai." Sapa pria itu begitu saja. Kekesalan Giska seolah sirna begitu saja.
"Hai juga." Jawab Giska lirih. Dan sekarang, dia sendiri bingung harus membicarakan apa pada pria itu. "Kamu udah di Indo?" Tanyanya berbasa-basi.
"Hmm.." jawab pria itu dengan singkat. Mendengar nada suara pria itu, hati Giska tiba-tiba terasa tercubit. Entah kenapa, Giska tiba-tiba merasakan emosi yang tidak bisa ia artikan apa.
"Aku ganggu waktu kamu, ya?" Tanya Giska begitu saja.
"Enggak." Jawab pria itu cepat. "Kamu gak ganggu aku kok, tenang aja." Jawab Anda lagi dan Giska menghembuskan napas panjang entah karena apa. "Kamu lagi apa?" Tanya Anda lagi.
"Lagi liburan." Jawab Giska apa adanya.
"Liburan? Dimana? Sama siapa aja? Cewek atau cowok?" Pertanyaan Anda yang bertubi-tubi membuat hati Giska terasa menghangat seketika.
"Liburan ke tempat temen. Sama temen." Jawab Giska lagi.
"Temennya cewek apa cowok?" Anda mengulangi pertanyaannya.
"Dua-duanya." Jawab Giska ambigu.
"Banyakan?" Tanya Anda lagi.
"Enggak juga." Jawab Giska lagi.
"Kamu pergi sama cowok ya? Kamu suka sama cowoknya?" mendengar pertanyaan Anda, Giska terkekeh.
"Kalo iya, kenapa?" Tantang Giska lagi.
"Gak bisa gitu dong, Na. Kamu kan cewek aku. Kalo kamu jalan sama cowok lain, itu namanya kamu selingkuh." ucap Anda yang membuat Giska terkekeh sendiri.
"Ketemu aja belum. Gimana kalo nanti kita ketemu kamu gak suka sama aku?" tanya Giska ingin tahu.
"Mmmm... itu urusan nanti. Kalo kamu jelek, aku modalin kamu oplas deh." Jawab Anda seenaknya yang membuat Giska tertawa terbahak mendengarnya.
"Kalo kamu yang jelek?" Giska balik bertanya.
"Yang jelas, aku bakal lebih ganteng dari cowok yang sekarang lagi liburan sama kamu." ucap Anda dengan bangganya.
"Buktinya?" tantang Giska lagi.
"Buktinya kamu milih ngehubungin aku daripada sama cowok itu." jawabnya seenaknya. "Kamu kangen sama aku kan?" tanya pria itu lagi dengan nada jahil. Seketika Giska menggigit bibirnya. "Ayo ngaku aja." Todong pria itu lagi.
"Kamu kemana aja sih? Bukannya udah beberapa hari balik ke Indo, tapi kenapa gak ada kabarnya?" tanya Giska dengan kesal.
"Maaf. Bukannya aku lupa sama kamu. Tapi tiap kali waktu aku luang, aku takut ganggu kamu karena itu udah cukup malam." ucap Anda dengan nada menyesal. Giska tak banyak berkata lagi. Suara pintu terbuka di belakangnya membuatnya menoleh. Raia memandangnya dan bertanya tanpa suara siapa yang sedang Giska telepon. Dan saat Giska menjawab dengan kode, sahabatnya itu hanya menganggukkan kepala dan berlalu masuk ke kamar mandi begitu saja.
"Aku janji kita bakal ketemu dalam waktu dekat." Ucap Anda lagi yang hanya Giska jawab dengan anggukkan. "Sekarang udah malam, kamu istirahat gih." Ucap Anda dan tanpa banyak basa-basi, mereka pun mengakhiri sambungan telepon.
Keesokan paginya.
Giska dan Raia terbangun dengan tubuh yang terasa lebih segar setelah tidur yang teramat nyenyak sepanjang malam. Antusiasme mereka pagi itu lebih tinggi dari biasanya. Raia sudah berencana kalau ia akan ikut kemanapun ayahnya akan pergi. Entah itu hanya sekedar jalan-jalan di area perkebunan atau memancing ke tempat terdekat, ia akan ikut. Sementara Giska, dia sudah memiliki rencananya tersendiri tanpa berniat memberitahu Raia.
Mereka kemudian turun untuk sarapan, dan saat melihat ekspresi di wajah ayahnya, Raia tahu ada yang salah.
"Kenapa?" Tanyanya memandang kedua orangtuanya bergantian. Bukannya menjawab, ibu Raia malah memanggil mereka untuk segera sarapan. "Papa mau batalin liburan lagi ya?" Tanya Raia kecewa pada ayahnya. Pertanyaan itu dijawab dengan raut menyesal oleh sang ayah.
"Maafin Papa. Tapi ini mendesak. Papa harus balik ke Jakarta sekarang juga." Ucap Ayah Raia dengan nada lirih membujuk.
"Kok gitu sih?" Raia merajuk. "Kita baru juga semalam disini, masa sekarang harus balik lagi." Keluhnya tak suka.
"Kamu disini aja." Ucap ibunya menimpali seraya meletakkan makanan di atas meja makan. "Yang balik ke Jakarta Cuma Mama, Papa sama kakak-kakak kamu." jelas ibunya. kakak-kakak yang dimaksud disini adalah kakak perempuan Raia dan kakak iparnya.
"Salah satu rekan bisnis Papa ada yang meninggal semalam. Karena itu sekarang kita balik ke Jakarta sebagai bentuk belasungkawa." Jelas ayah Raia yang membuat Raia hanya bisa terdiam dan tak lagi mengeluhkan kepergian ayahnya. "Abang kamu bilang kalau dia akan disini sama kalian. Jadi kalian nikmati saja masa liburan kalian disini dan pulang besok atau kapanpun kalian mau." Ucap ayahnya lagi dan Raia serta Giska hanya menganggukkan kepala, bersamaan dengan Kiki, Sandy dan kakak serta kakak ipar Raia muncul.
Setelah sarapan, mereka mengantarkan orangtua Raia dan kakak-kakaknya menuju mobil. Ayah Raia kembali menenangkan putri bungsunya yang merajuk dan setelah mengiming-imingi Raia dengan uang jajan yang besar, barulah Raia menunjukkan senyum lebarnya.
Setelah mobil meninggalkan area villa mereka kembali ke dalam dan mulai merencanakan liburan mereka.
"Jadi, sekarang kita mau kemana?" tanya Raia pada kedua sahabatnya. Kiki menjawab sambil mengedikkan bahu sementara Giska justru menghilang entah kemana. Dan kakaknya, pria itu juga tidak bisa memberikannya jawaban karena jelas pria itu tidak tahu harus pergi kemana. "Loe! Darimana aja?!" Tanya Raia kesal saat melihat Giska yang berjalan dari arah dapur.
"Ngobrol di belakang, sama Mang Tatang." Jawabnya dengan polosnya. Raia memandang sahabatnya itu sambil memicingkan mata.
"Ngobrolin apa?" Tanyanya curiga.
"Bukan apa-apa. Gue cuma nanya-nanya aja." Jawab Giska dengan cengiran lebarnya.
"Jangan bilang kalo loe mau pergi dan bikin masalah lagi ya." Tuduh Raia yang membuat Giska mencebik.
"Enggak, Ya. Sumpah. Gue gak mau bikin masalah."
"Trus?"
"Trus gue nanya sama Mang Tatang. Apa dia tahu tempat wisata yang gak jauh dari sini. Ya kali aja bisa kita datangi PP (pulang-pergi) gitu."
"Trus?"
"Ya, Mang Tatang bilang ada. Malah anak-anak disini katanya lagi suka pergi kesana. Makanya gue tanya-tanya dimana, trus kalo gue mau kesana, ada gak yang bisa anterin gue. gitu." Jawab Giska apa adanya.
"Trus, loe mau ninggalin kita disini dan pergi sendirian, gitu?" tanya Raia dengan nada merajuk.
Giska memicingkan mata. "Jangan lebay. Gue tahu kalo loe gak suka pergi ke tempat-tempat beginian. Loe kan sukanya nge-mall." Sindir Giska yang membuat Raia nyengir lebar.
"Memangnya lokasinya dimana?" Tanya Sandy ingin tahu. "Bukan air terjun yang kemarin dibahas itu?" tanyanya lagi.
Giska menggelengkan kepala. "Bukan." Jawabnya. Dia kemudian menyebutkan lokasinya pada Sandy dan Sandy menganggukkan kepala sekalipun ia tidak benar-benar tahu dimana lokasi itu berada.
"Kamu mau kesana?" Tanya Sandy ingin tahu. Giska menganggukkan kepala.
"Mang Tatang lagi cari orang buat nganter." Jawabnya lagi.
"Abang anta raja." Jawab Sandy tiba-tiba yang membuat Raia, Giska dan Kiki memandangnya dengan tatapan tak percaya.
"Beneran?" Tanya Giska ragu. Sandy kembali menganggukkan kepala.
"Lagipula Abang gak ada kerjaan. Di villa juga kalo cuma diem doang kan malah bete." Jawabnya dengan santai.
Giska seketika bersorak senang. Ia memandang Raia dengan tatapan mengejek dan kemudian berlari menuju tangga, berniat untuk membawa perlengkapannya.
Di bawah, Raia memandang kakaknya. "Abang beneran mau pergi sama Giska?" Tanya Raia tak percaya. Sandy menganggukkan kepala. "Trus, aku sama Kiki gimana?" Tanyanya dengan panik.
"Gimana-gimana maksudnya? Kalian kalo mau ikut ya tinggal ikut. Kalo enggak, ya disini aja. Kan ada mang Tatang." Ucap Sandy seraya berjalan juga menuju tangga mengekori Giska yang sudah menghilang masuk ke dalam kamarnya.