BAB 9

2030 Words
“Gimana kondisimu, Ka?” tanya Mbak Zha saat kami memulai acara makan. Ya, malam ini aku, Tanaka dan Mbak Zha makan bersama, hitung-hitung pesta kecil untuk merayakan kembalinya Tanaka ke industri hiburan. “Luka bekas operasinya udah mengering? Obatnya diminum teratur, kan?” “Beres, Mbak.” Tanaka mengedipkan sebelah matanya. “Soal obat, ada Mia yang jadi alarm untuk mengingatkan. Tapi, sayang, Mia tidak mau mengambil tugas sekaligus membersihkan lukaku, katanya tidak sudi melihat d**a Tanaka Kawindra, padahal setelah selesai operasi aku shirtless.” Aku mencebik dan mencibir pelan, “Dasar pengadu.” Mbak Zha menoleh padaku. “Kerjamu bagus, Kim.” Terharu, nggak disangka bakal dapat pujian dari Mbak Zha. “Terima kasih, Mbak. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” “Dan itu lebih bagus lagi. Oh iya, mulai besok kamu yang akan menggantikan posisi saya sebagai manajer Tanaka. Karena selain saya sendiri yang tahu tentang penyakitnya, kamu orang nomor dua tahu setelah yang lain.” Hah ... nambah kerjaan lagi? Ya Tuhan ... “Eee ... gimana, ya, Mbak. Saya kuliah, terus jadi asisten rumah tangga, terus nemenin Tanaka terapi, terus kalau Tanaka mau kemana-mana saya harus ikut, atau minimal memantau. Terus ... pokoknya masih banyak lagi tugas yang saya emban dan apa Mbak nggak kasihan sama saya? Mana saya masih muda lagi.” “Bukankah di kontrak sudah tertulis, ‘bisa melakukan apa saja dan mematuhi apa saja yang menjadi perintah pihak pertama’.” Mbak Zha mengutip kalimat yang baru saja dikatakannya, seolah sedang mengingatkanku. “Kamu tidak lupa ‘kan, Kim?” Tanpa sadar aku menelan ludah dan menjawab, “I-iya, Mbak.” “Kalau begitu, seharusnya tidak ada penolakan, kan?” Makan malam yang seharusnya berlangsung tentram berubah jadi tekanan untukku. Ya Tuhan, semakin berkurang jam istirahan dan aku nggak bisa sebebas sebelumnya lagi main sama Alka. Pasti si Jamet bakalan marah nanti. “Ya, Mbak, saya akan berusaha sebaik mungkin.” “Bagus!” ujar Mbak Zha. “Sekarang, nikmati semua makanannya, Kim. Jangan sungkan.” Tepat di seberangku, Tanaka tersenyum penuh kemenangan dan bibirnya bergerak merangkai kata tanpa suara, “Gadis baik, semoga nasibmu makin beruntung bekerja bersama dengan pria penuh pesona ini.” Huek! Nasi yang baru saja kutelan berlomba-lomba ingin dikeluarkan sekarang. *** Alka mengantarku sampai depan gedung apartemen. Setelah turun dan menyerahkan helm, aku menatap Alka dengan raut sedih. “Met, gue nggak bisa sering main sama lo lagi.” “Lho, kenapa, Kim?” tanya Alka kaget. “Lo mau meninggal? Atau terlilit hutang sama rentenir dan berencana kabur karena nggak sanggup bayar?” “Ka,” panggilku pelan, penuh senyuman. “Lo ganteng tapi mulut lo busuk. Kalo nggak digosok pake sikat kawat gue jamin busuknya nggak akan mau ilang.” “Kim gue serius! Lo kalau ada masalah apa-apa ngomong aja sama gue. Bokap gue pengacara, nyokap gue konsultan pajak. Lo pilih aja satu dari dua itu untuk dimintai bantuan.” “Met, makasih tapi gue nggak butuh. Orang nggak ada hubungannya, kok, ngapain gue disuruh milih.” “Jadi, lo kenapa? Tadi katanya nggak bisa main seperti biasa. Pasti ada sebabnya, kan?” “Sebabnya itu karena pekerjaan gue. Tadinya cuma jadi asisten rumah tangga, eh, sekarang nyambi juga jadi manajer. Padat banget jadwal gue padahal bukan orang penting.” “Serius, Kim, gue penasaran siapa majikan lo. Kok segini jahatnya, sih? Ini bukan lagi kerja rodi, tapi romusha.” “Ya, kan?” Aku meminta dukungan pada Alka. “Tapi, Met, gajinya emang mencengangkan. Kerjaan nambah, nominal gaji pun nambah. Gimana gue nggak ngeluh sambil bersyukur coba.” “Dasar cewek matre mata duitan!” “Ya matre ‘kan emang mata duitan. Sejak kapan coba artinya berubah?” Alka mendengkus dan membuang muka, aku langsung memasang wajah semelas mungkin dan menggoyang-goyang lengan Alka. “Met, maklumin, ya. Plis jangan marah sama gue.” “Nggak asik lo!” “Ih, Jameeet.” Seseorang berdehem, membuat percakapanku dan Alka terinterupsi. Saat menoleh, aku menemukan Tanaka, lengkap dengan topi dan maskernya. “Masih lama urusannya? Kalau sudah selesai, saya ada perlu sama Mia.” “Mia?” ulang Alka kemudian bergantian menatapku. “Itu lo, Kim.” “I-iya, Met.” Ngapain juga si om pake acara keluar? Emang dia mau ngungkapin identitasnya ke orang terdekatku? “Ka, bicaranya lanjut nanti malam aja. Takutnya majikan gue nyari-nyari di atas.” “Tunggu sebentar, orang aneh ini siapa?” Alka menunjuk tepat pada Tanaka. “Kenapa dia tau nama lo?” “Anu, itu ...” “Saya majikan Mia.” Mampus dia sendiri yang ngomong, bukan aku! “Kamu pacarnya atau–” Alka menyisihku ke samping dan maju dua langkah, mengulurkan tangan. “Gue Alka Wijaya, sahabat sehidup semati Kimia. Lo kalau mau nyebutin nama harus lepas topi sama masker. Gue mau lihat muka lo dan mastiin apakah lo orang baik-baik.” Tanaka mendengkus, menatap sekeliling sebentar kemudian kembali lagi menatap Alka. “Oke. Kalau begitu, apa tidak keberatan saya undang kamu ke penthouse saya? Biar kita berkenalan secara jantan di sana.” “Om, ngap–” “Diam!” Tanaka dan Alka ngomong barengan dan aku dibuat terperanjat kaget. “Kok kompak ngebentak? Kaget tau!” “Kalian terlalu banyak bicara. Sekarang mari ikut saya.” Tanaka langsung memimpin di depan, bersamaan dengan Alka membuntut di belakang dan aku yang paling akhir. Eh, sumpah, ya, aku nggak ngerti apa yang mau dilakukan cowok-cowok ini di sana nanti. *** “Nggak mau tau, ya, Kim, gue nggak setuju lo tinggal berduaan sama orang kayak dia!” Lagi-lagi, dengan beraninya Alka menunjuk-nunjuk Tanaka. “Dia aktor dan dia laki-laki. Kalau lo tahu betapa ganasnya seorang fans, gue jamin lo bakal mengundurkan diri sekarang juga.” “Ka, ini tidak semudah yang lo katakan. Gue nggak bisa berhenti sekarang.” “Katakan alasannya kenapa nggak bisa!” Nada suara Alka naik satu oktaf dan seumur pertemanan kami, dia nggak pernah seperti ini. “Gue kira majikan yang lo bilang itu hanya orang sibuk yang kehidupannya biasa saja. Tapi, makin ke sini gue paham kenapa waktu kita menipis dan tugas lo makin banyak. Ternyata, yang lo urus itu bukan hanya rumah, tapi orang beserta semua hal yang bersangkutan sama dia.” Tanaka hanya memandangi kami dengan tangan dimasukkan ke saku celana, seolah sangat menikmati sekali drama yang terjadi di hadapannya. “Pokoknya gue nggak mau tau, lo harus kemasi barang-barang lo sekarang dan kita pergi dari sini.” Alka mendorong pelan bahuku kemudian mendekati Tanaka dengan tatapan permusuhan. “Mulai hari ini Kimi berhenti bekerja di sini. Gue harap lo dengan suka rela mengiyakannya.” “Semuanya tidak semudah yang kamu katakan. Saya dan Mia terlibat perjanjian hitam di atas putih, dan tenggat waktu yang tertera di sana bukan hari ini.” “Semua bisa diputuskan sebelah pihak, kan? Kalaupun harus mengganti rugi, katakan saja nominalnya dan gue akan bayar itu semua.” “Alka!” Aku berteriak untuk menghentikan. “Udah, lo nggak akan bisa ganti. Mending sekarang pulang, nanti gue hubungi lagi.” “Kim, gue ng–” Aku langsung menarik paksa Alka menuju pintu. Si jamet ini kalau urusan keras kepala, dia nomor satunya, tapi sayang itu sama sekali nggak guna di situasi sekarang. “Gue mau lo pulang, Ka. Nanti gue jelasin semuanya tanpa terlewat satu pun.” “Kenapa nggak sekarang aja? Lo pernah bilang ‘kan kalau lo nggak suka Tanaka? Tapi, sekarang apa? Atau ucapan lo yang dulu hanya bohong belaka?!” Tanganku langsung bergerak memukul kepala Alka. Tidak kencang tapi tidak juga lembut. “Pulang sekarang atau hubungan kita berakhir sekarang!” “Kim, lo–” “Pulang, Ka. Pulang.” Alka ngembuskan napas kasar dan menjawab, “Oke. Malam nanti gue tunggu penjelasan dari lo, Kim.” Setelah mengatakan itu, Alka langsung memasuki lift tanpa mau menatapku lagi. Met, aku tau kamu begitu perhatian dan menyayangiku, tapi, saat ini nggak ada yang bisa kulakukan selain tetap bekerja di sini. Karena biaya ganti ruginya sama sekali nggak akan sanggup kita ganti meskipun harus melibatkan harta orang tua. Salah aku juga yang begitu buta dengan nominal gaji sampai mengabaikan biaya pemutusan kontrak sepihak yang di luar nalar. Ya, tapi, nggak bisa dibilang sepenuhnya salah karena aku nggak tau kalau majikanku itu ternyata Tanaka. Ah, tauk! Pusing kepalaku mikirin semuanya! *** “Sahabatmu ternyata begitu posesif, Mia.” Kontan saja mataku langsung mendelik. Ini baru tiga jam lho aku nenangin diri, kok dia mancing-mancing lagi? “Om jangan bahas ini, oke. Masalahnya udah kelar dari tadi.” “Berapa lama kalian berhubungan? Apa dia tau kalau ciuman pertamamu kuambil?” Sabar, Kimi, sabar. Kalau kamu mengabaikan ucapan Tanaka dan memilih fokus dengan pekerjaan yang ada di depanmu ini, aku yakin rezekimu dan rezeki orang tuamu bakal mengalir lancar bak air terjun. “Melihat tempramennya yang seperti itu, sepertinya tidak kamu beritahu, ya, kan? Susah juga hubungan kalian. Apa jangan-jangan terjebak friendzone? Mia, aku kira hubungan seperti itu hanya ada di film atau drama saja. Aku tidak menyangka akan menemukannya di dunia nyata.” “Sekali lagi kamu ngomong, cabe yang kuiris ini akan tergilas di mulutmu, Om. Aku nggak bercanda!” “Oh, ya? Alih-alih menggunakan cabe, kenapa tidak menggunakan bibirmu saja? Biar kamu bisa balas dendam atas ciuman pertama yang kuambil tanpa izin dulu.” Sumpah aku kesal banget sampai rasanya ubun-ubunku mau pecah. Tanaka sekarang sengaja mempermainkan emosiku. Apalagi saat melihatku marah-marah, wajahnya terlihat berbinar-binar bahagia. “Ayo, Mia, aku menunggu.” “Ini peringatan terakhir. Kalau Om tetap batu, jangan salahkan kalau aku benar-benar membawa cabe ini ke wajahmu.” “Justru aku menanti itu.” Cengiran Tanaka terlihat menyebalkan. “Mia, lakukanlah.” Aku menarik napas kemudian mengembuskannya. Berulang tiga kali dan aku langsung menghampiri, sesuai dengan kemauan Tanaka. sengaja kusembunyikan satu cabe di masing-masing tangan kanan dan kiri, supaya puas menggesekan di wajah Tanaka. “Come to, Daddy, Honey.” Menjijikan sekali. Aku mempercepat langkahku mendekati Tanaka, malangnya karena tidak memperhatikan, kakiku tersandung sesuatu dan kedua cabe hilang begitu saja saat aku panik mencari pegangan. “Hati-hati.” Gilanya Tanaka meraih pinggangku. “Matamu di mana, Mia? Kakiku diam tapi kamu sendiri yang menendangnya.” Sial, ini hanya akal-akalan Tanaka saja! “Om, kamu ...” Aku kehilangan kata-kata akibat terlalu marah, dadaku sampai kembang kempis karena itu. “Kamu sialan!” “Terima kasih pujiannya,” bisik Tanaka pelan di kupingku, kemudian dia menjauhkan wajahnya beberapa senti. “Semua bantuan harus ada balasan. Jadi, apa balasan untukku setelah menyelamatkanmu dari terjatuh.” “Lepas, nggak!” “Itu bukan jawaban, Mia.” Tanaka menyeringai. “Ah, sepertinya aku tau yang aku mau.” Saat melihat tatapannya tertuju di bibirku, aku segera berontak tapi nggak bisa. “Lepas, Om! Aku bukan tipemu jadi jangan coba-coba mempermainkanku.” “Sssttt.” Wajah Tanaka semakin mendekat, aku menahan napas dan mengatupkan bibirku semakin erat. “Tidak ada salahnya mencoba hal yang tidak kita sukai, Mia.” Saat aku memutuskan untuk ikut memejamkan mata, tidak ada yang terjadi detik berikutnya, selain sesuatu yang lembut menyapu hidungku. “Apa yang sedang kamu pikirkan, gadis sialan?” Tepat di saat aku membuka mata kembali, bibir Tanaka mengecup ringan puncak hidungku. “Ini padahal biasa saja, Mia. Tapi anehnya aku menyukainya.” Aku tadi mungkin begitu panik sampai tidak memikirkan apa pun. Tapi, otakku sepertinya sudah melonggar sekarang dan aku mendapatkan sebuah ide untuk balas dendam pada Tanaka. “Ini juga rasanya akan biasa saja, Om. Semoga kamu menyukainya.” Aku memundurkan kepalaku sesaat dan selanjutnya maju menyundul dengan keras hidung Tanaka. Bodo amat dengan rasa sakit, yang penting balas dendam. “Rasain, manusia berotak m***m!” *** Bukan main, kepalaku bahkan sampai diperban. Begitu juga dengan pangkal hidung Tanaka. Saat kami pergi ke studio, Mbak Zha sampai marah-marah selama dua puluh lima menit pada kami. Ini adalah pemotretan pertama, tapi aku dan Tanaka sudah mengacaukannya. “Sist, tenang nanti tensinya naik.” Laki-laki kemayu yang dipanggil Belinda menengahi kami. “Semuanya bisa eke tanganin. Jejak birunya nggak begitu besar, semuanya aman terkendali.” “Ya sudah, saya serahkan semuanya sama kamu, Bel.” Mbak Zha memijit pelipisnya lalu berganti menatapku. “Kim, karena ini hari pertama, saya harap selanjutnya tidak ada lagi kejadian seperti ini.” “Siap, Mbak,” jawabku penuh ketegasan. “Dan Tanaka, saya tidak mau lagi mendengar tindakan kekanakan yang kalian perbuat.” “Aku tergantung, Mia. Kalau dia memulai, maka dengan senang hati aku meladeninya.” Aku menatap tajam pada Tanaka. “Mari yey-yey ikut eke. Gabriella manja udah selesai, giliran si handsome yang di make over.” Aku dan Tanaka mengikuti Belinda memasuki ruang rias, sedangkan Mbak Zha memilih mendekati fotografer dan berbicara sesuatu. *** Setelah pemotretan usai, aku tertatih-tatih membawa beberapa pakaian menuju van. Sedangkan Tanaka sialan itu berbicara santai dengan Gabriella. Bodo amat aku nggak peduli, yang penting sekarang aku harus istirahat dan mengademkan diri di dalam van. “Bang AC-nya naikin,” kataku setelah meletakkan pakaian Tanaka. “Aku mau merem sebentar. Kalau bisa jangan diganggu.” Bang Irfan hanya bergumam dan aku tidak berbicara lagi. Ah, rasanya nyaman sekali. Aku baru bisa menikmati dudukku sekarang, tadi saat pemotretan berlangsung aku malah disuruh mengambil ini itu, bahkan sampai hal remeh seperti minuman untuk Tanaka dan Gabriella. Nasib jadi kacung gini amat, sih? “Bang Mia ad–oh sudah di sini rupanya.” Aku hanya membuka sedikit mataku kemudian memejamkannya lagi. “Hm. Kenapa?” “Tidak apa-apa. Sekarang jalan, Bang,” perintah Tanaka pada Bang Irfan. Mengenai Mbak Zha, dia sudah pulang lebih awal karena ada yang mesti diurus lagi. “Kamu oke?” “Apanya?” tanyaku malas-malasan. “Tadi, mereka memperlakukanmu semena-mena.” Kelopak mataku otomatis terbuka. “Darimana kamu tau, Om?” “Mia, meskipun aku sibuk di depan kamera bukan berarti aku mengabaikan sekeliling.” “Oh,” jawabku sekenanya. “Lain kali, tolak saja dan katakan dengan lantang kalau kamu itu manajer Tanaka Kawindra yang baru. Jangan biarkan mereka memerintah untuk melakukan sesuatu yang memang bukan tugasmu.” Seratus untuk perhatian Tanaka terhadap orang terdekatnya. “Aku ngerti, terima kasih, Om.” Dan selanjutnya, aku memejamkan mata kembali. “Istirahatlah,” ujar Tanaka. Berikut aku tau tangannya mampir di puncak kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Sudah jadi kebiasaannya sekarang. “Kerja bagus, gadis sialan.” Masih saja ada kata sialan. Ugh! Aku benci mendengar itu! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD