BAB 7

2110 Words
“Mia, kenapa nasi goreng pagi ini asin sekali?” keluh Tanaka. “Telurnya pun sama. Ada apa? Kamu memasak sambil mengantuk atau kebablasan memasuki garam?” Aku mengabaikan Tanaka dengan fokus membuat teh untuknya. Setelah selesai, aku meletakkan di depan Tanaka kemudian melepas apron dan mengembalikan ke tempat semula. “Mau ke mana?” Tanaka bertanya saat melihat aku berlalu begitu saja dari hadapannya. “Apa tidak ikut sarapan? Kamu ada kuliah pagi ini, kan?” Nggak kupedulikan. Aku melongos dari dapur menuju kamar untuk mengambil tas sekalian menyapukan bedak tipis dan pelembab bibir agar nggak terlihat pucat. Alka sudah kukirimi pesan untuk menjemput di depan gedung apartemen, semoga saja jamet satu itu sekarang dalam perjalanan menuju kemari agar aku nggak terlalu lama menunggu. Saat melewati pintu, ternyata aku sudah dihadang Tanaka. Posisinya bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. “Berangkat sekarang?” Pertanyaannya kuanggap angin lalu dan dengan santai aku melewati, tapi, tentu saja tidak mudah karena Tanaka mencekal lenganku. “Mia tolong katakan sesuatu!” Alih-alih menurut, aku malah membuang pandangan ke arah lain dan nggak ingin membuat pergerakan yang berarti. Baik itu berlalu atau pun untuk melepaskan diri. “Hanya kamu! Hanya kamu, Mia, yang memperlakukanku seperti ini!” Tanaka terlihat frustasi sendiri. “Gadis sialan, jangan membuatku makin emosi!” Ponsel di saku celanaku terasa bergetar, dan aku yakin itu adalah Alka. “Lepas, Om, aku mau pergi. Temanku udah nunggu di bawah.” “Tidak sebelum kamu menjelaskan semuanya.” Daripada aku terlambat kuliah, mending yang sehat mengalah sekarang. “Aku marah karena kamu menyentuh dan mencuri ciuman pertamaku tanpa izin! Nggak ada sopan santunnya jadi pria! Nggak ada akhlak! Nggak ada otak!” “Hanya gara-gara itu?” Ekspresi Tanaka menunjukkan kekagetan luar biasa. “Dan juga ... ciuman pertama? Mia, kamu tidak bercanda, kan?” “Aku tidak pernah seserius ini!” seruku emosi. “Oke sepertinya aku salah mengira. Biasanya gadis seusiamu begitu bersemangat, begitu banyak ingin tahunya dan begitu penasaran untuk mencoba hal-hal baru. Salah satunya ...” Tanaka berdehem. “Itu.” “Heh, berengsek! Aku bukan seperti gadis-gadis yang ada di pikiranmu itu!” Lupakan tentang sopan santun! Lupakan fakta mengenai Tanaka itu majikanku, yang menggajiku! Yang paling penting sekarang, aku ingin memarahinya karena sudah melakukan tindakan di luar batas dan parahnya aku sama sekali tidak menyukai hal itu. “Aku nggak mau tau, kamu harus minta maaf!” “Maaf, Mia.” Bukan lega, aku malah semakin bertambah kesal. Seolah-olah Tanaka menganggap enteng hal itu dan menggampangkan semuanya begitu saja. “Lupakan! Aku sedang marah padamu!” Dengan kaki menghentak, aku mengibas tangan Tanaka kemudian meninggalkannya. Saat di langkah kelima, aku berhenti sejenak kemudian kembali menghampiri Tanaka yang masih setia di tempatnya tadi. “Aku lupa sesuatu, Om,” beritahuku datar. “Ini hadiah untuk bibir ganjen tadi malam.” Satu tamparan mendarat mulus di pipi Tanaka. Begitu mendengar desis kesakitannya, kepuasan langsung memenuhi d**a dan pikiranku. Dengan langkah yang terasa ringan kali ini, aku benar-benar pergi dari penthouse. *** Di saat dosen sibuk menjelaskan di depan sana, aku malah melamun sambil memain-mainkan pulpen di tangan. Otakku berulang kali memutar adegan tadi malam, anehnya, semakin aku mengingat itu, semakin aku merasa kesal padahal sudah balas dendam pada Tanaka. “Ka,” panggilku pelan. “Hm, apa? Tumben nggak manggil jamet?” tanya Alka heran. “Ada yang lebih penting dari pertanyaan itu.” Aku menoleh dan lebih mencondongkan muka ke kuping Alka. “Lo pernah ciuman?” “Anjir pertanyaan macam apa itu?!” Ada kengerian dalam ekspresi Alka. “Jangan bilang ... lo udah nggak suci lagi.” “Tuduhan macam apa itu, Njing?!” Kupukulkan binder ke kepala Alka. “Kelakuan gila kayak gini gue juga tau batasan!” “Sori-sori. Aelah, Kim, pelanin ngomong lo, napa. Nanti yang lain denger.” “Bodo amat! Lo jadi temen nggak becus! Orang nanya apa, lo jawab apa. Parahnya sampai nuduh yang enggak-enggak lagi!” “Yang mulia Kimia,” mohon Tanaka. “Hamba bersalah. Tolong dimaafkan.” “Nggak sudi! Najis!” Tidak hanya sampai itu, aku kembali memukul kepala Alka dengan binder. “Mati aja sana!” *** Mbak Zha mengirimi pesan padaku bahwa gaji sudah di transefer plus bonus yang nggak pernah kuucapkan tapi ternyata Mbak Zha peka dan sukarela memberikannya. Semua kemarahan dari pagi sampai sore lenyap begitu saja. Aku yang tadinya menjauhi Alka, kini merangkulnya dengan senang hati saat menuju parkiran kampus. “Udah kerasukannya?” tanya Alka malas, begitu pula tanganku yang merangkul bahunya, disingkirkan dengan ogah-ogahan. “Kimi, gue nggak ngerti kenapa lo jadi kayak cewek beneran tadi pagi.” “Emang selama ini aku cewek jadi-jadian. Begitu?” Ini si Jamet pengen gue gampar bolak-balik apa? “Mulut lo perlu di laundry, Ka! Udah kotor banget soalnya.” “Kalo gitu kita barengan aja. Mulut lo juga sama kotornya, bahkan lebih kotor dari mulut gue.” Ketika tiba, Alka langsung mengambil helm dan menyerahkannya padaku, kemudian mengenakan helmnya sendiri. “Mau langsung pulang atau gimana?” “Gue lagi seneng, Ka. Pokoknya apa yang lo mau, tinggal bilang aja, nanti gue kabulin.” “Bener, nih?” “Serius, Met!” “Bioskop aja gimana? Traktir makan pulangnya.” “Oke. Tapi, sebelum itu gue mau ke atm dulu, sekalian transfer uang buat keluarga di kampung dan lunasin hutang sama Mbak Lena.” Alka langsung membungkukkan penuh hormat. “Kemana pun yang mulia Kimia ingin pergi, hamba siap mengantar.” “Bagus, Babu! Sekarang kita berangkat!” Aku langsung tergelak kencang begitu melihat wajah protes Alka. *** Ah, gila! Hari ini aku sangat puas sekali bersenang-senang dan perut terasa penuh sampai rasanya nggak bisa bergerak. Terakhir saat diantar pulang oleh Alka, aku berjalan antara sadar dan nggak sadar menaiki lift menuju penthouse. Setelah membuka pintu dengan kartu akses, ruangan tanpa penerangan menyembut indra penglihatanku. Eh, tumben? Tanaka di mana? Kenapa lampu sampai nggak dihidupakan? Apa dia keluar? Pelan-pelan aku meraba dinding. Bermodalkan insting, aku mencari tombol saklar untuk menyalakan lampu. Tapi, sebelumnya kupingku tiba-tiba peka dan mendengar bunyi sesuatu beradu dengan sesuatu. “Om?” panggilku ragu. “Kamu di sini? Lampunya kenapa nggak dinyalakan?” “Ah, f**k, Mia!” Heh kenapa suara Tanaka jadi seperti itu? “Jangan dihidupkan!” Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, antara takut sekaligus penasaran. “Me-memangnya kenapa? Aku ... aku ‘kan kesulitan jalan kalau kayak gini.” “Pokoknya jangan!” “Kamu ngapain, sih, Om? Kok kayak capek bang–” Ah, aku menemukan saklar lampu! Mohon maaf, Tanaka, aku nggak bisa menepati janji. “Sori terpak–––astagfirullah, Om, kamu udah gila dan nggak ada otak!” Aku refleks berbalik dengan telapak tangan menutup mata. Rasanya darahku seperti dihisap dan tubuhku mendadak lemas nggak bisa digerakkan. Aku nggak mau mempercayai ini, tapi ... nggak bisa. Ibu, anakmu mau pingsan aja sekarang terus bangunnya nanti lupa ingatan. “Aku bilang jangan dihidupkan, ... Mia.” “Telat,” cicitku mirip kucing terjepit. “La–lagian kenapa hobinya main di ruang tamu, sih? Aku ... aku–” Nggak tau lagi mau ngomong apa. Mataku panas dan bibirku bergetar. “Kamu ... kamu sialan, Om!” Gimana perasaan kalian setelah bersenang-senang seharian dan pulangnya malah nemuin pasangan yang ... yang berhubungan badan? Walau pun pakaian keduanya belum tanggal, tapi tetap saja bagian itu terbuka dan bagian itu lagi masuk di itu-nya si cewek dan itu-nya mereka nggak sengaja kulihat walau pun nggak jelas karena aku memang refleks langsung berbalik. “Ini ... ini gimana, Om. Aku mau ... mau meninggal aja sekarang!” “Sebentar.” Suara Tanaka terdengar serak. “Mia, jangan berbalik selagi kami pergi ke kamar. Aku akan memberi tanda kalau sudah di sana dan kamu boleh main petak umpet seperti biasa.” Ya Tuhan, apa salah hamba sehingga hamba dapat karma seperti ini? “Membersihkannya nanti saja setelah semuanya selesai.” Bunuh aja aku! Bunuh aja aku, Tanaka! *** Sampai sekarang aku terguncang dan nggak bisa tidur semalaman. Mendadak juga suhu di sekitar terasa panas tapi badanku menggigil padahal sudah ditutupi selimut. Sepertinya ... aku sakit setelah menyaksikan tindakan bejad seseorang. Huhu ... mau berhenti kerja aja sekarang. Aku nggak mau lagi lihat muka Tanaka, seumur hidup kalau bisa. “Mia.” Terdengar panggilan dari luar disusul dengan ketukan pintu. “Sudah bangun? Ini pukul delapan pagi dan aku tidak menemukan sarapan di meja makan.” Tuhan, boleh aku meminta yang sakit Tanaka aja? Dia baru selesai operasi, beri aja pendarahan di bekas operasinya. Kenapa harus aku yang nggak punya salah apa-apa ini? “Kamu baik-baik saja, kan?” Aku memejamkan mata dan mengeratkan selimut. Jangankan membuka mulut, menelan ludah saja rasanya susah payah sekali. “Mia aku masuk pakai kunci cadangan.” Selanjutnya aku mendengar langkah kaki berderap menjauh dan nggak lama kemudian kembali. “Aku buka sekarang.” Bunyi kunci diputar berikut dengan pintu yang dibuka. Aku nggak punya keinginan untuk menoleh, apalagi membalikkan badan. Biar saja Tanaka menduga-duganya sendiri. “Mia.” Suara Tanaka semakin mendekat, bahkan aku merasa selimutku disibak. “Semuanya oke?” “Oke. Aku cuma masih ngantuk, Om.” Tanpa kuduga, tangan Tanaka menyelinap dan menyentuh dahiku. “Astaga, kamu sakit, Mia!” “Aku nggak pa-pa.” Tanaka berdecak kemudian mengubah paksa posisiku jadi telentang. “Lihat, wajahmu sampai memerah seperti ini dan masih bilang tidak apa-apa?” Mau tidak mau aku mendengkus. “Ini semuanya juga gara-gara kamu.” “Bicaranya nanti saja. Aku terpaksa membuatkan sarapan untukmu, dan kamu harus menggantinya lain kali.” Lalu, Tanaka merapikan selimut yang menutupi tubuhku. “Setelah sarapan nanti baru aku bantu bilas badanmu. Untuk obat nanti ditanyakan sama Mbak Zha.” “Om, aku ... aku nggak bermaksud menolak kebaikanmu, tapi ... tiduran gini aja nggak pa-pa. Nanti akan sembuh sendiri.” Mata Tanaka menyipit curiga. “Jangan bilang kamu takut padaku?” Aku menelan ludah dan nggak bisa mengeluarkan sepatah-kata pun karena yang Tanaka bilang adalah kebenarannya. “Astaga, Mia, Aku tidak sejahat itu! Dan lagi ... kamu bukan seleraku, tubuhmu sama sekali tidak menarik.” “Aku sakit tapi kamu masih saja ngomong yang jahat-jahat.” Tanaka terkekeh geli. “Ya sudah, aku akan ke dapur.” “Emang kamu bisa masak, Om?” “Jangan meragukan kemampuanku, gadis sialan. Aku ini aktor dengan banyak kelebihan, termasuk kelebihan di dapur.” “Oh ya? Jangan lupakan kelakuan bejadmu yang berlebihan juga.” “Gadis sialan!” Tanaka menyentil keningku. “Aku akan membuatkan bubur sekarang. Sambil menunggu kamu tidur saja.” *** Aku benci mengakui, tapi, Tanaka mengurusku dengan baik. Mulai membilas badanku dengan kain basah, ini untuk bagian wajah, leher, lengan dan kaki. Menyuapi makan, memberi obat, bahkan membantu mengantarku ke toilet. Saat aku terbangun dari tidur dengan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya, aku menemukan Tanaka sedang selonjoran di sebelahku dengan laptop di pangkuannya. “Lagi ngapain, Om?” Aku bertanya serak dan mencoba mengintip objek yang berhasil membuat raut Tanaka terlihat serius dan fokus. “Gabriella Maisa?” Keningku langsung mengerut mengetahui itu adalah top model Indonesia yang mempunyai segudang prestasi. “Pacarmu, Om?” “Bukan. Aku lagi mengamati dan menilainya saja. Mia, ngomong-ngomong badannya seleraku. Bagaimana pendapatmu kalau aku menjadikannya sebagai permen? Kira-kira dia akan menerima atau tidak?” Bodo amat aku nggak mau lagi ngerti Tanaka. Dia terlalu parah minusnya sampai-sampai aku berpikir bahwa dia nggak pantas jadi idola banyak orang. “Mia?” “Kepalaku pusing! Kamu jangan banyak tanya atau banyak ngomong, Om, salah-salah aku pengen nampar orang.” Tanaka menutup laptop dan meletakkannya di atas nakas. “Jangan sampai tanganmu mendarat untuk kedua kalinya di wajahku. Seumur hidup, Mia, aku tidak pernah ditampar perempuan dan kamu orang pertama yang berani seperti itu padaku.” “Ya mau gimana lagi kelakuanmu benar-benar nggak tertolong. Om, kalau cuma bossy dan pemarah, aku nggak pa-pa. Tapi ini ... menjurus ke hal yang berbau m***m, siapa yang tahan?” “Kamu cukup tutup mata dan telinga maka semuanya akan beres.” Heh, gampang sekali ngomongnya? “Sepertinya aku nggak bisa kerja di tempatmu lagi, Om. Terlalu banyak yang kulihat di sini dan itu nggak terlalu bagus untuk kewarasanku.” “Tidak bisa!” Raut wajah Tanaka berubah. “Kontrakmu satu tahun, bukan satu bulan. Kamu mau ganti rugi sepuluh kali lipat?” “Nggak pa-papa! Walau pun seumur hidup dihabiskan untuk bayar hutang, aku nggak keberatan asalkan bisa terbebas dari kehidupan bobrok seorang Tanaka Kawindra. Oke sekarang aku hanya memergoki, gimana kalau suatu saat aku yang dipaksa jadi salah satu korbanmu? Permenmu yang tidak ada lebihnya seperti mainan?!” “Mulutmu itu terlalu sialan, Mia! Sudah berkali-kali kukatakan, aku tidak berselera dengan tubuhmu!” Kami saling adu urat dan adu tinggi nada suara. Lupakan fakta kalau aku baru saja sakit, yang penting aku sedang mengeluarkan uneg-unegku yang luar biasa banyak pada Tanaka. “Kalau tidak berselera kenapa menciumku?! Orang kalau nggak suka sama sesuatu, mau gimana pun caranya nggak akan mau mendekat, apalagi melakukan tindakan yang terlalu intim!” Tanaka mengerang keras sambil mengacak-acak rambutnya. “Oke, itu yang menjadi masalah besar. Malam itu kamu terlalu cerewet, Mia, jadi itu satu-satunya cara untuk membungkammu.” “Enggak! Aku udah mau pergi saat itu tapi kamu malah menarikku dan melakukan pelecehan terhadapku!” “Ya Tuhan gadis ini ...” Bahkan, Tanaka sampai memijat pangkal hidungnya. “Ya sudah, aku minta maaf untuk semuanya. Aku janji tidak akan begitu lagi di depanmu. Aku juga minta maaf untuk ciuman pertama. Semuanya akan kuganti. Katakan saja, apa yang kamu inginkan.” “Aku tidak semurah itu!” Aku membuang pandangan dengan tangan bersidekap di d**a. “Anggap saja ini seperti kompensasi, oke? Katakan saja semuanya, asal kamu jangan berhenti sebelum tanggal yang sudah ditetapkan di kontrak.” Kemarahanku sedikit mereda, apalagi mengetahui Tanaka nggak mau kehilanganku sebagai asistennya. Berada di atas awan nggak, sih, saat tau musuhmu dengan mudahnya menundukkan kepala dan memohon di depanmu? “Gaji dua kali lipat? Atau, ditambah bonus? Apa, Mia, cepat katakan.” Aku langsung berdehem. “Oke, dua itu syarat yang pertama.” “Ada lagi yang keduanya?” tanya Tanaka nggak percaya. “Kalau nggak mau, yaudah aku tinggal berhenti berkerja di sini.” “Oke, oke. Katakan sekarang!” “Hapus semua nomor permenmu, temui mereka satu persatu dan katakan kalau kamu tidak butuh mereka lagi.” “Mia ...” mohon Tanaka dengan wajah memelas. “Apa saja selain itu.” “Syarat itu atau aku yang berhenti.” Tanaka menghela napas panjang dan mengangguk lemah. “Aku menyerah,” ujar Tanaka, mengangkat kedua tangannya. “Kamu menang, Mia.” Yes! Kimia Avantika dilawan. Buru-buru aku menumpu badan dengan kedua lutut dan mendaratkan telapak tangan di dahi Tanaka, seolah sedang membubuhkan cap. “Semua yang kita katakan tadi sudah disahkan, Tuan Tanaka Kawindra. Mohon untuk menepati janjinya. Kalau sampai ingkar, Anda akan mendapat hukuman untuk itu semua.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD