Bab 1

1039 Words
"Apalagi ini ya tuhan?" pikir Alisha. Alisha terperanjat, mencoba memastikan apakah dia tidak salah dengar. Namun, tatapan serius di wajah Eyang Kakung menyadarkannya kalau apa yang ia dengar tadi memang benar. "Alisha, kamu sudah cukup dewasa. Usiamu sudah matang. Eyang rasa, sudah saatnya kamu memperkenalkan kekasihmu ke keluarga besar," ujar Eyang Kakung dengan tenang, meskipun nada bicaranya tegas dan tak terbantahkan. "Hah?" Alisha berusaha agar suaranya tetap terdengar sopan meski hatinya tak bisa menutupi keterkejutannya. "Kung, kok tiba-tiba begitu?" “Apa yang tiba-tiba? Kamu tahu ini sudah waktunya untuk berpikir serius soal pernikahan,” suara Eyang Kakung terdengar tegas, sorot matanya tajam seolah tak mengizinkan adanya penolakan. “Tapi... tapi Kung, ini terlalu mendadak,” ucap Alisha dengan nada tertahan. Dia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. “Aku bahkan belum punya rencana untuk menikah sekarang.” “Terlalu mendadak?” Eyang Kakung memotong dengan nada sedikit keras. “Tidak, Akung rasa justru sudah cukup waktumu terbuang sia-sia, bukan? Sekaranglah saatnya kamu memikirkan masa depanmu. Kalau kau memang punya kekasih, kenalkan dia kepada kami.” Alisha menelan ludahnya dengan susah payah. Tenggorokannya tercekat. “Maaf, Kung, Alisha belum memiliki kekasih,” bohongnya, dengan nada rendah. Kenyataannya, Alisha memang sedang menjalin hubungan. Bukan karena dia ingin menyembunyikan kekasihnya, tetapi itu permintaan lelaki itu sendiri. Lelaki yang merasa belum cukup pantas untuk melamarnya. Seolah status Alisha sebagai CEO di anak cabang Admojo Group di usia 27 tahun ini membuatnya mundur dan minder, meski sebenarnya keluarga besar Alisha sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Bahkan, Alisha sendiri tak pernah memikirkan hal seperti itu. “Benar kau tak menjalin hubungan dengan siapapun?” Eyang Kakung menatap tajam, menunggu jawaban. “Jangan berbohong, Sha. Sampai kapan kau akan terus menyembunyikannya?” Kata-kata kakeknya terasa seperti pukulan keras, membuat Alisha semakin terpojok. Dia tersenyum kecil, namun senyum itu jelas hambar dan penuh kepahitan. Diam adalah satu-satunya pilihan yang dia miliki saat ini. Dia tak ingin kebohongannya semakin kentara. “Kami semua hanya ingin melihatmu bahagia, Alisha,” desah Eyang Putri lembut, mencoba melembutkan suasana. Alisha tetap terdiam, hanya mampu meremas kedua tangannya yang saling bertaut. Dalam hatinya, dia ingin sekali memperkenalkan kekasihnya. Namun dia terlalu sering mengalah demi lelaki itu, yang sampai sekarang masih merasa belum siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. “Kak, jawab dong! Jangan malah bengong!” Arkana, adik laki-lakinya, menyikut pelan lengan Alisha sambil tersenyum usil, mencoba mencairkan suasana. “Bisa tidak kamu diam saja? Jangan malah bikin suasana semakin rusuh,” geram Alisha, menatap Arkana dengan kesal. “Kami hanya ingin melihatmu memiliki pendamping yang bisa menenangkan hati kami, Sha,” ujar Eyang Kakung dengan suara lebih lembut, tapi tetap penuh keyakinan. “Kalau kamu sudah punya pasangan hidup, kami yakin kamu akan lebih bahagia. Dan kami juga bisa merasa tenang meninggalkan perusahaan ini di tanganmu.” Alisha tak tahu harus menjawab apa. Tekanan dari keluarga begitu kuat, dan hatinya semakin bimbang. Dia tak ingin mengecewakan keluarganya, tapi di sisi lain, dia juga tak bisa memaksa seseorang untuk melangkah jika dia belum siap. Sesak itu kembali menghimpit dadanya, membuat dia hanya bisa tertunduk dalam keheningan. Eyang Kakung menghela napas berat, lalu bersandar di kursi. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, kali ini dengan nada lebih dingin tapi tetap penuh wibawa. “Alisha, kami hanya ingin memastikan kamu tidak menunda-nunda lagi. Kalau kamu punya kekasih, perkenalkan dia dalam waktu dekat. Kalau tidak…” Alisha mengangkat kepalanya, menatap kakeknya dengan tatapan tajam. “Kalau tidak apa, Kung?” tantangnya, meskipun dadanya mulai berdegup kencang. “Kamu akan menikah dalam waktu dekat,” ujar Eyang Kakung dengan tegas. “Dan sebagai gantinya, satu anak perusahaan dari Admojo Group akan diserahkan penuh untuk kamu kendalikan.” Pernyataan itu membuat semua orang di ruangan terdiam, termasuk Eyang Putri dan Arkana bahkan kedua orang tua Alisha tak berani ikut bersuara. Hanya Alisha yang tampak terperangah. Dia menatap kakeknya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Kung… Jadi maksud Kung, semua kerja keras Ica selama ini belum cukup?” Alisha berusaha menahan emosinya, tapi nada suaranya mulai meninggi. “Apa Kung berpikir kalau aku tidak menikah, aku tidak pantas mendapat kepercayaan itu?” “Bukan begitu, Alisha,” Eyang Putri mencoba menengahi, suaranya lembut. “Tapi—” “Lalu apa, Yang?” potong Alisha, matanya mulai berkaca-kaca. “Apa semua yang aku lakukan untuk perusahaan ini belum cukup membuktikan diri? Aku sudah mengorbankan waktu, tenaga, bahkan hidupku, hanya untuk memastikan semuanya berjalan baik. Dan sekarang Kung bilang aku harus menikah dulu untuk mendapatkan pengakuan?” Eyang Kakung tetap diam, wajahnya tak menunjukkan emosi apa-apa. Dia hanya menatap cucunya, membiarkan Alisha mengeluarkan semua unek-uneknya. “Apa selama ini aku hanya dipandang sebagai perempuan yang tak bisa sukses tanpa seorang suami? Apa kerja kerasku hanya diakui kalau aku punya pasangan hidup?” Alisha melanjutkan dengan nada penuh luka. “Aku pikir keluarga ini menghargai kemampuan dan dedikasiku, tapi rupanya aku salah.” “Cukup, Alisha.” Suara Eyang Kakung memotong tajam, meskipun tak meninggikan nada. “Ini bukan tentang itu. Ini tentang memastikan masa depanmu. Kami tahu kamu mampu, kami tahu kamu bekerja keras. Tapi kami juga tahu, seorang pemimpin besar memerlukan pasangan yang bisa mendukung dan menenangkan di balik layar. Itu yang kami inginkan untukmu.” “Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini?” suara Alisha melemah, menggambarkan betapa lelahnya dia menghadapi semua tekanan ini. “Kenapa harus mengaitkan pernikahan dengan kesuksesan? Apa aku tidak bisa membuktikan diri tanpa itu?” Eyang Putri menggenggam tangan Alisha, berusaha menenangkan. “Sayang, kami hanya ingin kamu bahagia. Itu saja. Kalau kamu sudah punya pasangan, kenalkan dia. Kalau tidak, izinkan kami membantu mencarikan yang terbaik untukmu.” Alisha menarik tangannya perlahan, berdiri dari kursi dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Aku akan buktikan bahwa aku bisa mengelola perusahaan ini dengan atau tanpa pernikahan, Kung. Tapi jangan harap aku menyerah pada ultimatum seperti ini.” Tanpa menunggu jawaban, Alisha melangkah keluar dari ruangan. Pikirannya kalut, dadanya terasa sesak. Di satu sisi, dia ingin mempertahankan pendiriannya. Tapi di sisi lain, dia tahu keluarga besar ini tidak mudah dilawan. Sambil menahan air mata, Alisha berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap bertahan. Apa kerja kerasku selama ini benar-benar tidak berarti apa-apa? gumamnya dalam hati, merasa perih sekaligus geram.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD