Bab 7. Kamu Istri Saya

1015 Words
Siang harinya saat pulang dari rumah sakit, Arina sudah membawa makan siang untuknya dan Yudhi. Yudhi menyambut kedatangan Arina dengan senyuman manis. Dia ambil makanan dari tangan perempuan itu dan menyajikannya di meja. Arina duduk di ruang tengah, dari wajahnya dia terlihat lelah. Yudhi menghampiri perempuan itu, duduk di sebelahnya. Dia letakkan tangannya di bahu Arina, mulai memijat pundak istrinya itu. "Capek, Rin?" tanya Yudhi masih memijat pundak Arina. Arina menganggukkan kepala. "Ya udah makan dulu, udah saya siapin di meja, terus tidur siang biar badannya lebih seger." Arina bangkit dari duduknya, menuju meja makan bersama Yudhi. "Makasih ya, Mas." Lalu keduanya makan dalam diam. Arina sedang tidak ingin banyak bicara dengan Yudhi, yang dia inginkan hanya merebahkan diri di kasur dan segera tidur. Selesai makan siang, Arina pamit ke kamar, sebelum tidur dia sempatkan untuk salat zuhur lebih dulu baru kemudian berbaring di kasur dan terlelap hingga sore hari. Setelah azan asar berkumandang, Yudhi mengetuk pintu kamar Arina. "Bangun, Rin, udah asar, salat dulu gih." Pria itu hanya membangunkan sekali saja. Tidak ada niatan untuknya sampai masuk kamar dan melihat sendiri apakah istrinya sudah bangun apa belum. Setengah jam kemudian Arina keluar dari kamar. Dia berjalan menuju dapur untuk minum lalu kembali ke ruang tengah di mana ada Yudhi sedang menonton TV. Tidak banyak yang dilakukan pria itu selama tinggal di sana karena memang Arina melarangnya melakukan banyak aktivitas selama proses recovery. Sehingga pria itu banyak menonton TV tetapi bukan untuk mencari hiburan melainkan menonton berita di TV. "Rin." Panggil Yudhi. "Ada apa, Mas?" "Gini, HP sama dompet saya kan hilang tuh, maaf ya kalau--" Belum selesai Yudhi bicara Arina sudah memotong ucapannya. "Enggak apa-apa kok Mas, aku punya uang kok, Mas jangan khawatir, kalau cuma buat makan kita berdua aku masih sanggup." Arina berkata sambil memperhatikan berita di TV. "Bukan itu, gini--" "Udah Mas pokoknya jangan khawatir soal uang, saya enggak akan minta ganti rugi kok." Lama-lama kesel juga Yudhi karena ucapannya terus dipotong oleh Arina. "Dengerin Mas dulu. Gini Mas bukan mau bilang itu, tapi boleh enggak pinjem uang kamu dulu, nanti Mas ganti." "Boleh, berapa?" tanya Arina tanpa sadar. "Sejuta boleh?" tanya Yudhi dengan hati-hati karena dia khawatir Arina akan marah. "Buat apa, Mas? Emang cukup sejuta?" "Ya enggak tahu sih, pokoknya pinjem dulu segitu. Kalau kurang apa boleh pinjem lagi?" Arina tidak mau ambil pusing soal uang yang dipinjam oleh Yudhi dan akan di gunakan apa oleh suaminya. Bahkan Arina seperti tidak tertarik dengan sosok suaminya, siapa dia, darimana dia berasal, padahal dia harus tahu itu karena tidak mau terjebak menikah dengan pria yang salah. Namun, sampai hari itu Arina melihat Yudhi biasa saja seperti kebanyakan orang dan tidak ada sesuatu yang spesial dia lihat dari pria itu. Arina merasa aman berada di dekat Yudhi, tetapi belum merasa nyaman. "Ok. Mau ambil uangnya kapan Mas?" "Nanti malam aja kita keluar, bisa?" "Ayo aja, nanti malam ya, habis magrib kita keluar. *** Selesai salat magrib, mereka sepakat keluar. Makan malam ini Arina pun ingin makan di luar. "Mana kunci mobil? Biar saya aja yang nyetir," pinta Yudhi pada Arina. "Biar aku aja yang nyetir Mas. Mas kan belum hafal jalan di daerah sini. Daripada nanti aku sibuk ngasih petunjuk jalan, bukannya lebih cepet kalau aku yang nyetir." Yudhi tidak memedulikan ucapan Arina, dia mengambil kunci mobil di tangan perempuan itu tanpa izin membuat Arina membulatkan matanya. "Jangan terlalu mandiri jadi perempuan, sesekali bergantung sama laki-laki enggak ada salahnya kok." Yudhi membuka pintu mobil lalu masuk duluan sementara Arina masih diam di tempatnya berdiri sekarang sampai Wisnu berteriak. "Ayo naik, katanya mau makan." Dengan perasaan kesal karena tidak suka dengan ucapan Yudhi dia pun masuk mobil. Wajahnya memancarkan perasaan kesal. "Jadi kita ke mana sekarang?" Arina sengaja mendiamkan Yudhi. "Kok diem aja? Mas ada salah ngomong?" Arina menoleh sekilas pada Yudhi. "Emang salah kalau aku terlalu mandiri? Apa itu yang bikin dia lebih memilih perempuan lain daripada aku karena aku keliatan terlalu mandiri?" Entah kenapa ucapan Yudhi seolah menyenggol luka hati Arina tanpa dia sadari. 'Wah, aku salah ngomong deh,' batin Yudhi. Dia merasa bersalah pada Arina. "Maaf, Rin, Mas enggak ada maksud bikin kamu mengingat masa lalu." Yudhi meminta maaf dengan tulus. Arina menunduk karena sadar terlalu terbawa emosi mendengar ucapan Yudhi. "Maafin saya juga ya, Mas." Arina pun merasa bersalah. "Sama-sama salah kok. Sekarang kita ke mana?" Malam itu Arina menjadi penunjuk jalan untuk Yudhi yang menyetir. Mereka menuju tempat makan dulu baru kemudian menuju ATM untuk mengambil uang. Uang yang akan digunakan Yudhi untuk membelikan beberapa barang untuk Arina pada akhir pekan nanti. *** Pada hari Sabtu, Arina hanya bekerja sebentar saja. Jam sepuluh dia sudah ada di rumah. Saat dia masuk ke rumah, Arina lihat Yudhi sudah berpakaian rapi seperti hendak pergi keluar. "Mau ke mana Mas?" "Mau jalan. Ikut yuk." Yudhi mengajak Arina jalan hari itu. "Ke mana dulu?" "Ya jalan-jalan aja, lagi pengen lihat ada apa aja di sini." "Saya simpen tas di kamar dulu, ya." Arina meletakkan tas di kamar. Dia tidak mengganti pakaian, tetap memakai pakaian yang sama. Yudhi sudah memegang kunci mobil dari tempat Arina meletakkannya tadi. Tujuan pertama mereka adalah toko pakaian, di sana Arina dipaksa Yudhi mengambil satu pakaian. Perempuan itu bingung, tetapi tetap memilih apa yang Yudhi perintahkan. Pakaian itu dibayar oleh Yudhi dengan uang yang dia pinjam dari Arina. Selesai dengan urusan pakaian, pria itu mendatangi toko emas. Dia memilih sebuah cincin yang modelnya sederhana dengan satu mata di tengah. Dia meminta ukuran yang cukup di jari manis tangan kiri Arina. "Rin, kayaknya uang yang tadi kurang deh buat beli ini, tolong bayarin dulu ya, pinjem lagi." Yudhi memohon pada Arina. Perempuan itu mengiyakan, tetapi dia penasaran untuk siapa Yudhi membeli cincin itu. Perempuan mana lagi yang akan dia dekati dengan meminjam uang dari Arina. Selesai membayar dan barang diterima mereka kembali ke mobil. Sebelum melajukan kendaraannya, Yudhi meraih tangan kiri Arina untuk dia pasangkan cincin yang tadi dia beli di jari manis Arina. "Maaf kalau saya tidak romantis, tapi ini adalah tanda kalau kamu adalah istri saya." Arina membulatkan kedua matanya, masih tidak percaya Yudhi mengatakan itu padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD