Bab 1. Izin
"Tolong izinkan aku menikah lagi dengan Yunita, ini semua demi Ibu, An!"
Wanita bernama Anika itu seketika membeku. Diam tanpa suara. Perkataan suaminya seketika menusuk relung hatinya. Sakit, teramat perih. Bagaimana bisa, suaminya meminta izin untuk menikah dengan kakak iparnya sendiri? Dan, yang lebih memuakkan lagi, alasan ibunya yang sakit menjadi tameng untuk membenarkan rencana itu.
"Kalau begitu ceraikan aku!"
"An, aku mohon jangan berpikir begitu! Tolong mengertilah kondisi Ibu.” Davin berusaha meraih tangan Anika, tetapi segera ditepis oleh wanita itu.
"Jangan gila, Mas! Siapa wanita yang mau di madu, apalagi madunya adalah kakak iparku sendiri. Kalau kamu ingin tetap menikahi Yunita karena perintah Ibu, kamu harus ceraikan aku!"
Davin akhirnya berhasil menggapai tangan Anika. Menggenggam dengan erat sambil menatap lekat wajah istrinya yang masih tidak mengerti posisinya yang serba sulit. Bagaimana tidak, di satu sisi, itu adalah amanah dari ibunya. Namun, di sisi lain, ia juga tidak mungkin mengabaikan penolakan Anika.
"Tapi aku tidak mungkin menceraikanmu, apalagi sekarang kamu sedang hamil, An. Aku mencintaimu, aku ingin pernikahan kita bisa terus selamanya."
"Cinta?! Kalau kamu memang cinta sama aku, harusnya kamu tidak punya pikiran buat menduakan aku, apalagi madunya adalah iparku sendiri, Mas! Kamu enggak usah pusing-pusing, sekarang kamu tinggal pilih, ikuti permintaan ibumu, tapi kita cerai atau kamu menolaknya dan kita akan tetap bersama!”
Pilihan berat ketika Davin diminta untuk memilih antara dua wanita yang paling berarti dalam hidupnya. Davin tak pernah menyangka jika ia akan dihadapkan dengan posisi sulit seperti itu.
"Tolong mengertilah, An! Kalau aku menolaknya, bagaimana dengan Ibu? Aku tidak ingin kondisinya jadi semakin memburuk." Sekali lagi Davin coba meyakinkan Anika.
"Kamu bilang tidak bisa memilih? Tapi kamu menyuruhku mengerti dan memaksaku untuk menerima keputusan Ibu. Saat kamu mengatakan itu, artinya kamu lebih memilih keinginan Ibu dibanding aku!" Anika terus menepis tangan Davin yang ingin memegang tangannya.
Anika berdiri dari posisi duduknya untuk pergi dari hadapan Davin, tetapi suaminya menahan lengan Anika agar terus melanjutkan pembicaraan.
"Anika ...."
"Bagaimana bisa kamu melakukan ini sama aku? Meminta izin untuk menikahi Kak Yunita dengan alasan Ibu yang menginginkannya!" teriak Anika.
Davin memegang kedua bahu Anika agar menatapnya, kedua bola mata yang sebelumnya bersinar kini malah meredupkan cahayanya. Warna semburat merah dan genangan air mata yang penuh juga ikut membuat Davin teriris.
"Dengar, Anika ... ini bukan sekedar alasan, tapi memang ini keinginan Ibu, bukan keinginanku. Kamu paling mengerti aku, pernikahan yang aku inginkan adalah bersamamu, bukan bersama Kak Yunita. Tolong mengertilah!”
"Aku tidak bisa menerima apa pun alasannya. Aku memang mengerti posisimu, tapi kamu yang tidak mengerti aku!" tandas Anika.
"Maaf, tapi aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Aku juga tidak ingin menceraikanmu, aku sangat mencintaimu, kamu tahu itu. Tolong izinkan aku, aku janji akan bersikap adil nantinya.”
Mendengar perkataan Davin, Anika sampai terkekeh keras. Titik luka yang ternyata menyakitkan di saat seseorang itu tertawa untuk menghibur dirinya. "Bersikap adil katamu? Rupanya kamu juga menginginkan pernikahan dengan kakak iparmu, ya?!" sindir Anika kesal setelah menghentikan suara tawanya.
"Bukan begitu, aku hanya coba meyakinkanmu saja kalau aku tidak akan mengabaikanmu, An. Percayalah padaku!"
Anika melepas tangan Davin dari bahunya, kemudian berbalik melangkahkan kakinya menuju ke arah kamar. Davin mengikuti Anika dengan mengekor di belakangnya.
Anika duduk di tepi ranjang, tatapan matanya jadi kosong setelah mendengar kalau suaminya tetap keras kepala menjalankan perintah ibunya dibanding memikirkan perasaannya.
"An, percaya sama aku, aku janji akan tetap mencintaimu dan menjaga perasaanku hanya untukmu," lanjut Davin.
Anika mengalihkan pandangannya menatap ke wajah sang suami yang terus meminta izin tanpa memikirkan perasaannya, dalam hati Anika meminta agar pembahasan ini cepat selesai dan Davin tidak menyakitinya lagi.
"Janji? Apa kamu lupa sudah pernah berjanji untuk tidak menyakitiku? Sekarang, kamu malah meminta sesuatu yang harus aku relakan, padahal kamu tahu itu sangat menyakitiku!”
"Anika, tolonglah—"
"Sudah akui saja kamu juga menginginkan pernikahan itu, kan?! Sekarang biarkan aku yang pergi agar kalian bisa hidup bahagia tanpa aku yang hanya jadi penghalang untuk hubungan kalian!" Sekali lagi Anika memotong pembicaraan Davin.
"Aku tidak mau kamu pergi! Aku tidak akan bisa bahagia tanpamu, alasan kita menikah adalah saling mencintai, bagaimana bisa aku hidup bahagia kalau kamu pergi?" Davin menunduk hampir pasrah mempertahankan Anika.
Anika menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. “Cinta, aku rasa cintamu itu hanya omong kosong sejak kamu lebih memprioritaskan dia dari istrimu sendiri!”
“Apa maksudmu? Kamu istri aku, kamu prioritas aku, An!”
Anika lagi-lagi tertawa. Kali ini, suara tawanya begitu meledek karena suaminya seolah melupakan kejadian itu. “Biar aku ingatkan lagi! Waktu aku menunggumu di rumah bersama Yudha sampai larut malam, kamu malah asyik merayakan ulang tahun Kak Yunita tanpa mengabariku! Aku sudah muak dengan kelakuanmu, Vin!" ungkap Anika begitu kesal.
Davin hampir menangis mendengar ungkapan istrinya yang selama ini dipendam dan baru sekarang dikeluarkan, dia sama sekali tidak bermaksud menyakiti Anika, semua terjadi begitu saja sampai dia lupa dan mengabaikan keluarganya.
"Anika, aku minta maaf untuk waktu itu, aku benar-benar lupa dan tidak melihat waktu, mungkin jika aku melihat waktu dan tidak lupa aku tidak akan pulang terlambat," jelas Davin.
"Lupa? Kamu memang selalu melupakan aku dan Yudha saat bersama dia sampai aku mengira kalau kalian itu suami-istri!"
Hati Davin berdenyut nyeri ketika Anika mengatakan hal yang sangat menyakiti hatinya, selama ini yang Davin cintai masih Anika, tapi dia tidak pernah menyangka kalau Anika akan mengatakan hal itu.
"Maafin aku, aku tidak–"
"Kamu bahkan tidak pernah menemaniku untuk mengecek kandungan, kamu seolah tidak peduli akan perkembangan anakmu!"
Davin diam sejenak merasa sakit hati Anika mengungkit kesalahannya. Dia tidak menyangka Anika akan menyimpan dendam dan mengingat setiap kesalahan demi kesalahannya.
"Anika, demi Ibu. Aku mohon kamu mengerti, kali ini aku benar-benar tidak akan mengecewakanmu. Aku janji, An!" Mungkin ini terakhir kalinya Davin membujuk Anika.
"Bahkan Ibu rela pura-pura mati demi mempersatukan kalian."
Bukan jawaban yang Anika dapatkan, melainkan satu tamparan keras membuat bunyi yang cukup nyaring. Davin menjadi panas ketika Anika menyinggung kematian, apalagi ibunya sedang sakit.
Anika kaget memegangi pipinya yang berdenyut nyeri, tapi rasa sakit hatinya lebih nyeri. Davin juga kaget dengan perbuatannya sendiri dan langsung merasa bersalah pada Anika.
"Anika, aku–"
"Kamu sudah selingkuh dengan dia, sekarang kamu juga menamparku!” Hancur sudah pertahanan Anika yang dari tadi bersabar juga menahan air matanya. Cairan bening mengalir begitu saja tanpa hambatan melintasi pipi sebelum akhirnya jatuh ke bawah.
"Tidak, An! Aku tidak selingkuh," kilah Davin.
Pria itu sangat panik saat Anika mengambil koper dan mulai membuka lemari. Dengan segera, Davin langsung mengambil posisi untuk menghalangi Anika.
"Kamu mau ke mana?" tanya Davin panik.
Anika tidak menjawab sama sekali pertanyaan dari pria yang masih berstatus suaminya, hatinya benar-benar hancur saat Davin bermain fisik dengannya.
"Anika, aku mohon jangan lakukan ini," cegah Davin.
"Aku akan pergi, aku tidak sudi tinggal dengan pria munafik dan kasar sepertimu." Anika terus mengemas pakaiannya tidak peduli Davin yang menghalanginya karena tekadnya sudah bulat untuk pergi saat perkataannya tak lagi didengar.
"Bagaimana dengan Yudha? Apa kamu tega meninggalkannya?" Davin menggunakan Yudha yang adalah anak sambung bagi Anika.
"Kamu yang jaga dia! Jangan terus mengabaikannya seperti kamu mengabaikanku!” Anika mengatakan itu tanpa menoleh sedikit pun untuk menatap mata suaminya.
Anika sudah selesai dengan barang bawaannya, dia menarik koper keluar kamar yang ternyata sudah ada Yudha di depan sana sedang mengusap matanya yang masih merasa kantuk.
"Bunda mau ke mana?" tanya anak laki-laki berusia lima tahun itu dengan wajah khas bangun tidur yang polos.
Anika pun langsung berlutut untuk mensejajarkan tingginya dengan Yudha, mengelus puncak kepala anak sambungnya, kemudian membubuhkan kecupan singkat di kening Yudha.
"Bunda akan pergi, kamu di sini baik-baik sama Ayah, ya?"
Setelah mengatakan itu, Anika langsung menarik kopernya lagi menuju ke pintu utama dengan Davin dan Yudha yang terus mengikuti dari belakang.
"Anika, tidak bisakah kita bicarakan ini baik-baik." Davin mencoba menahan Anika lebih lama lagi.
"Tidak, sampai kamu menentukan pilihanmu, aku atau keinginan ibumu!”