1. Wawancara Kerja

1519 Words
Jakarta, 2021 "Sudah pernah menjadi ART sebelumnya?" Pertanyaan bernada tegas terlontar dari mulut Elizabeth. Iris cokelat yang dibingkai bulu mata lentik dan tebalnya menilai Malia dari atas ke bawah. Tidak ada keramahan yang terpancar dari tatapan itu. Elizabeth duduk bertumpang kaki. Rok span pendek berwarna hijau yang dikenakan wanita itu mengekspos kaki langsing dan indahnya. Kedua tangan yang ia letakkan di atas tangan kursi membuatnya terlihat seperti seorang ratu yang sedang duduk di singgasana. Iya, dialah ratu keluarga Brighton. Sementara itu, Malia mencoba untuk mengubur perasaan gugupnya dan duduk setenang mungkin di hadapan Elizabeth. Ia sempat mengagumi penampilan Elizabeth yang masih terlihat cantik dan awet muda meski Elizabeth sudah berumur. Namun, ia segera menepis kekagumannya pada Elizabeth. Ia datang ke rumah keluarga Brighton untuk mendapatkan pekerjaan, bukan untuk mengagumi nyonya rumah itu. "Belum pernah, Bu, tapi saya—" "Jangan pernah memanggil saya ibu," potong Elizabeth, "saya bukan ibumu. Panggil saya Nyonya." Sombong. Malia menelan ludah dengan susah payah. Dadanya bergemuruh oleh rasa kesal. Andaikan ia tidak membutuhkan pekerjaan, ia pasti sudah angkat kaki dari sana sejak pertama kali Elizabeth memandang rendah kepada dirinya. "Baik, Nyonya." Malia meralat panggilannya pada Elizabeth sebelum menurunkan pandangan. "Bagaimana kamu akan mengerjakan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di rumah ini sementara kamu belum pernah jadi ART?" Elizabeth bertanya dengan nada merendahkan. Malia mengangkat kembali pandangannya. "Saya pernah menjadi room attendant di sebuah hotel. Saya yakin pekerjaan yang ditawarkan Nyonya, tidak jauh berbeda dengan pekerjaan saya dulu." Bibir Elizabeth yang dipulas gincu merah menyunggingkan senyum sinis. "Kenapa kamu tidak melanjutkan pekerjaan kamu sebagai room attendant? Apa kamu dipecat setelah melakukan kesalahan saat bekerja?" "Tidak, Nyonya. Saya berhenti bekerja karena ada pengurangan karyawan di hotel. Di masa pandemi ini, hotel tempat saya bekerja mengalami kebangkrutan. Dalam CV saya, saya menyertakan salinan paklaring dari hotel tempat saya bekerja dulu. Nyonya bisa melihat prestasi dan kontribusi saya untuk hotel tersebut." Malia menjelaskan dengan detail. Dalam hati ia ingin sekali mencekik Elizabeth. Hanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga pengganti sementara, Elizabeth harus mencari seorang yang berpengalaman dengan latar pendidikan minimal SMA atau yang sederajat. ART jenis apa yang sebenarnya dicari wanita itu? Pikir Malia. Walaupun begitu, Malia bertekad mendapatkan pekerjaan tersebut karena gaji yang ditawarkan di iklan media cetak dan sosial begitu menggiurkan. Penasaran dengan penjelasan Malia, Elizabeth mengambil kembali amplop cokelat besar yang berisi CV Malia dari atas meja. Selama beberapa menit, wanita Indonesia yang berlagak menjadi bangsawan Inggris itu meneliti isi CV Malia. Ia lalu memandangi Malia setelah menutup kembali amplop cokelat milik wanita muda itu. Tatapan aneh Elizabeth yang terarah kepadanya membuat Malia tidak nyaman. Malia merasa seperti sedang diselidiki. Antisipasi mulai terbentuk dan otak Malia pun dipaksa bekerja keras mencari solusi seandainya Elizabeth menolak lamaran pekerjaannya. "Apa kamu tidak ada niat untuk melamar pekerjaan ke hotel yang lainnya? Kamu masih muda. Usiamu saja belum genap 23 tahun." Elizabeth meletakkan kembali amplop Malia ke atas meja. "Zaman sekarang susah mencari pekerjaan kalau tidak punya koneksi, apalagi di masa pandemi seperti ini. Saya hanya lulusan SMK dan saya tidak punya koneksi. Maka dari itu, saya siap untuk bekerja apa saja asal halal." Malia berharap kalimat yang disampaikannya tidak berkesan cengeng karena demi apa pun, wanita seangkuh Elizabeth tidak akan memedulikan kesulitan orang lain. "So, saya tidak akan menoleransi kesalahan sekecil apa pun. Apabila kamu melakukan kesalahan, kamu tahu harus melakukan apa." Yes! Di luar dugaan, Elizabeth menerimanya sebagai ART baru. Malia mengembus napas lega. "Jika saya melakukan kesalahan sekecil apa pun, saya siap dihukum dan akan segera pergi dari rumah ini. Terima kasih, Nyonya." Tidak ada reaksi apa-apa dari Elizabeth selain melihat Malia dengan pandangan mencemooh yang seakan-akan mengatakan, "Menyedihkan. Menjadi ART saja senang." Elizabeth kemudian memanggil Tina, kepala ART di rumah itu, dan memintanya menjelaskan semua tugas yang harus dilakukan Malia. Selama beberapa detik Malia mengamati penampilan Tina yang mengenakan kemeja putih dan rok span hitam sebatas lutut serta gestur tubuhnya yang menunjukkan kepatuhan. Ia akhirnya memahami ART seperti apa yang dicari Elizabeth. Wanita ini benar-benar ingin dilayani seperti ratu. "Kamu bisa mulai bekerja sekarang," kata Elizabeth pada Malia. "Baik, tidak ada lagi yang harus saya sampaikan. Sekarang kalian boleh keluar dari ruangan saya," lanjutnya dengan ketus. Elizabeth kembali menekuri layar laptopnya dan bersikap tak acuh kepada Tina dan Malia. Malia mengernyitkan dahi menanggapi ucapan kasar Elizabeth. Apa yang diberitakan media selama ini tentang Elizabeth, ternyata benar. Ia wanita yang angkuh dan tidak berperasaan. "Ayo kita keluar!" ajakan Tina menyelamatkan Malia dari keinginannya untuk meninju wajah Elizabeth yang terlihat sangat jutek. Malia mengikuti langkah Tina keluar dari ruang kerja Elizabeth. Wanita bertubuh tambun itu memberikan buku catatan kecil dan pena pada Malia yang ia ambil dari saku roknya. "Catat semua tugas kamu supaya tidak salah. Asisten rumah tangga di sini semua ada enam termasuk kamu. Tiga ART perempuan yang bertugas di dalam rumah, satu tukang kebun, dan dua lagi satpam yang ada di gerbang sana," kata Tina sambil menunjuk ke depan dengan dagunya. Malia mengangguk. "Iya, Bu." "Jangan panggil saya ibu," sambar Tina nyaris sama dengan gaya bicara Elizabeth saat ia menolak dipanggil ibu. Malia tersenyum mencemooh dalam hati. Nyonya dan pelayannya sama saja. "Baik, Mbak." "Nah, itu. Saya lebih suka dipanggil Mbak karena saya masih single." "Iya, Mbak." Tina lalu meperkenalkan satu ART lain yang tampak lebih tua darinya dan bertugas sebagai tukang masak saat mereka berada di dapur yang seluas lapangan tenis. Ia kemudian mengajak Malia berkeliling untuk melihat seisi rumah sambil menjelaskan tugas Malia. Tentu saja Malia mencatat semua tugas yang diberikan Tina kepadanya tanpa kecuali. "Ingat, kamu tidak boleh masuk ke kamar Nyonya untuk alasan apa pun. Hanya saya yang diizinkan membereskan kamar Nyonya. Tugas utama kamu adalah membereskan kamar Tuan Alex dan membuat kamar itu selalu terlihat rapi. Jangan sampai ada debu menempel sedikit pun di sana. Dan ingat, tugas lainnya yang harus kamu kerjakan tepat waktu. Semua harus sesuai dengan jadwal." Tina melirik arloji di tangan kirinya. "Sudah hampir jam 05.00. Sebentar lagi Tuan Alex pulang. Kamu sebaiknya mengganti pakaianmu dengan seragam." "Iya, Mbak. Maaf, Tuan Alex itu siapa ya, Mbak? Apakah suaminya Nyonya?" Malia berpura-pura tidak tahu, padahal ia sudah banyak mengumpulkan informasi tentang keluarga Brighton dari berbagai media sebelum melamar pekerjaan. "Kamu ini tidak pernah nonton TV ya?" Tina mengangkat sebelah ujung bibirnya, kesal. "Tuan Alex itu anaknya Nyonya. Anak sambung. Kalau suaminya itu Tuan Darius." "Oh." Malia mengangguk-anggukan kepala berlagak baru mengetahui informasi tersebut. "Maaf, Mbak, saya jarang nonton TV." "Ya, sudah. Kita ke kamar kamu sekarang." Tina lalu membawa Malia ke bagian belakang rumah. Di antara dapur dan gudang penyimpanan barang tak terpakai, di sanalah kamar-kamar khusus ART perempuan berada. Tina menunjuk kamar paling ujung di samping gudang. "Itu kamar kamu. Seragammu sudah ada di dalam lemari." "Iya, Mbak. Terima kasih." Melihat Malia yang langsung nyelonong pergi, Tina kebingungan. Ia lalu memanggil Malia. "Hei! Apa kamu tidak membawa barang-barang lain?" Malia berhenti berjalan lalu berbalik menghadap Tina. "Saya pikir saya tidak akan langsung bekerja setelah selesai diwawancara, Mbak. Besok saya minta izin sebentar untuk pulang mengambil barang saya. Rumah saya deket kok dari sini. Boleh kan, Mbak?" Tina mengangguk. "Boleh, tapi jangan lebih dari dua jam. Nyonya bisa ngamuk kalau tahu." "Terima kasih, Mbak." "Iya. Jangan lupa cek kamar Tuan Alex sebelum dia sampai di rumah." "Baik, Mbak." Malia bergegas masuk ke kamarnya. Ia tertegun beberapa saat sebelum pandangannya menjelajah seisi kamar. Untuk kamar seorang ART, kamar itu cukup nyaman. Tidak terlalu sempit lantaran hanya berisi tempat tidur berukuran single, lemari kayu dua pintu, meja kopi, dan kipas angin yang menggantung di dinding. Malia berjalan ke tepi ranjang dan duduk di sana. Sekelebat ingatan masa silam mengembuskan panas dan genangan di matanya. Namun, dering ponsel dengan cepat mengembalikan Malia ke kenyataan. Ia segera mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans-nya dan menerima panggilan itu. "Bagaimana Ibu, Mas?" tanya Malia pada seseorang di ujung telepon. Beberapa saat mendengarkan jawaban si penelepon, akhirnya Malia mengembus napas lega. "Oh, syukurlah. Malam ini aku tidak pulang. Nyonya Elizabeth memintaku langsung bekerja.” Malia segera mengganti pakaiannya setelah menutup telepon. Kemeja putih yang dikenakannya tampak sedikit lebih longgar. Beruntung, roknya cocok dengan ukuran tubuh Malia. Malia kemudian kembali ke lantai atas ke kamar Alex. Kamar bernuansa abu-abu yang cukup luas dan berkesan elegan itu mampu menarik perhatiannya. Ranjang besi besar berwarna hitam matte tampak serasi dengan rak buku besi berwana sama yang berada di samping ranjang. Ia berjalan menuju ranjang dan melihat lukisan abstrak monokrom, lalu memeriksa buku-buku di rak buku. Selera yang bagus. Malia melihat kamar sang tuan sudah rapi. Tidak ada yang perlu dibenahi lagi. Penasaran dengan tirai bergelombang berwana perak yang diikat di kedua sisi jendela, Malia melanjutkan penelusurannya ke arah jendela besar yang memberi banyak cahaya untuk kamar itu. Namun, pandangan jelinya menemukan sebuah mobil sport merah memasuki halaman. Malia mengerahkan konsentrasi penuh pada mobil itu sampai lajunya berhenti di samping mobil lain di carport. Beberapa saat kemudian seorang pria berambut cokelat kemerahan yang mengenakan setelan kemeja abu-abu dan celana berbahan drill hitam keluar dari mobil. Pria itu lalu berjalan menuju teras sambil menjinjing tas kerja. Jadi, itu putra mahkota The Brighton, Malia mengernyitkan dahi sambil terus mengamati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD