Bab 9 Bukan Rahasia

1128 Words
Meja makan dipenuhi hidangan mewah—semuanya dipilih khusus oleh koki pribadi sesuai standar ayah Celestine. Namun, rasa makanan kalah tajam dibanding ketegangan yang melayang di udara. Tidak banyak kata yang terlontar, tapi Celestine bahkan tidak tahu bagaimana rasa makanannya. Di pikirannya, hanya ada kenyataan bahwa dia nyaris tidak bisa bernapas dengan sempurna. “Arya, aku dengar hasil surveimu meningkat. Bagus. Sebagai pengusaha dan calon pemimpin daerah yang baru terjun ke dunia politik, kamu akan meraih kesuksesan. Ingat, publik mencintai pasangan harmonis. Skandal bisa menghancurkan segalanya. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang tidak perlu.” Nada suaranya rendah, tapi ada penekanan dan ketegasan di sana. Juga, kejelasan bahwa itu bukan hanya sekadar ancaman, melainkan peringatan. “Tentu, Pak Aruna. Saya menjaga semuanya tetap bersih.” Celestine menyendok sup dengan hati-hati. “Kami bahkan merencanakan perayaan ulang tahun pernikahan kami di Bali. Tamu undangan, media, semuanya sudah disiapkan.” “Bagus.” Aruna menatap mereka satu-satu. “Karena kalau salah satu dari kalian membuat masalah, bukan hanya nama keluarga ini yang jatuh. Akan tetapi masa depan kita semua. Juga, aku tentu tidak akan segan, sekalipun itu kalian berdua. Jika ada yang membuat masalah, kalian tahu betapa cepatnya aku bisa membuat segalanya hilang.” Suara sendok Arya yang menyentuh piring terdengar nyaring. Celestine mencengkeram garpu lebih kuat dari seharusnya. “Tentu, Ayah,” Celestine tersenyum. “Kami tahu. Sangat tahu.” "Jangan khawatir, Pak Aruna. Kami akan berhati-hati." Arya mencoba tersenyum meskipun kini lidahnya terasa kelu dan kepalanya pusing karena tensi yang mendadak meninggi. Pintu utama tertutup. Deru mobil Aruna menjauh. Seketika, atmosfer di rumah berubah. Celestine melepas sepatu hak tinggi dan melemparnya ke sudut ruangan. “Aku butuh minum.” Arya membuka botol wine tanpa sepatah kata. Ia menuangkan dua gelas. “Seandainya kita tidak punya dua ayah iblis yang memaksa kita hidup seperti ini,” gumam Celestine sambil menyesap. “Kita sudah tahu sejak awal ini bukan cinta, Cel. Ini aliansi.” Celestine tertawa pahit. “Dalam aliansi, pengkhianatan dibayar dengan kematian reputasi.” Mereka saling menatap. Bukan karena cinta, tapi karena mereka tahu: di dunia mereka, satu kesalahan kecil bisa membuat segalanya runtuh. Di antara cahaya lampu gantung kristal dan bayangan reputasi yang tak bisa disentuh, dua orang manusia kembali memainkan peran mereka. Saling menyimpan rahasia, saling berpura-pura bahagia—demi kehormatan yang tak boleh ternoda. "Sebaiknya, kamu tetap di rumah malam ini." Celestine menatap Arya dengan tatapan tidak mengerti. "Ayahmu akan tetap mengawasi, apa kamu tidak mengerti?" Celestine duduk lagi, batal melangkah pergi. Dia mengambil seanggur wine lalu meminumnya sekali teguk. "Jangan terlalu sering menuju apartemen itu." Celestine cukup terkejut. “Kamu menyelidikiku?” "Tidak, aku hanya mencoba mengetahui keberadaanmu." "Sialan kamu." Celestine mengembuskan napas berat disertai umpatan yang melepaskan stres yang ditahannya sejak tadi. "Sialan? Kamu harusnya berterima kasih. Bila aku tidak melakukannya, kamu akan ketahuan lebih dulu oleh ayahmu." "Kamu mau mengadukanku?" tantang Celestine. Gaun putihnya terasa membebani sehingga rasanya dia ingin menumpahkan gelas wine di tangannya ke sana dan membuatnya berwarna merah—warna yang sangat dibenci oleh suaminya. Arya terlihat kesal. Ia duduk di sana dengan emosi yang terus bergerak naik. Dasi hitamnya dilepas, kerah bajunya terbuka. Namun bukan pakaiannya yang membuat Celestine merinding—melainkan tatapan mata itu. Mata yang tak menyala karena cinta, tapi karena sesuatu yang lebih dingin: luka karena ego. "Kamu tahu, mengadukanmu sama dengan bunuh diri." Arya terdengar tidak suka dan seolah menelan pil pahit dengan apa yang diucapkannya barusan. “Kamu pikir kita berdua akan jatuh bersama?” Celestine mencoba terdengar tenang, meski tubuhnya tak bisa menyembunyikan gemetar halusnya. Bagaimanapun, dia tidak bisa membiarkan ayahnya menyakiti Aidan. Pria muda itu tidak tahu apa-apa dan dia tidak mau Aidan terluka. “Kamu pikir, aku akan membiarkan kita berdua jatuh? Ya, kalaupun harus ada yang hancur, itu bukan aku, Celestine.” "Kamu terang-terangan ingin menjatuhkanku sekarang?" Celestine mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Aku bukan wanita biasa, Arya. Aku bisa tersenyum sambil membalasmu." "Aku tahu, karena itu, aku juga akan melakukan hal yang sama." “Jadi kau mengajakku berperang sekarang?” “Tidak. Aku percaya instingku, kamu tidak akan menyerangku sekarang,” katanya. “Dan kamu harus berhati-hati, karena kamu sedang bermain api. Kamu sedang bermain-main dengan nyawa dari pria yang kamu sembunyikan diam-diam sekarang.” Celestine terdiam. Lidahnya kelu. Ia tak tahu harus membela diri atau mengaku—karena keduanya terasa sia-sia di hadapan Arya yang malam ini bukan sekadar pengusaha atau politisi. Dia adalah suami yang kehilangan kendali atas sesuatu yang tak bisa dibeli kembali. “Aidan?” Arya menyebut nama itu tanpa ragu, seperti menampar dengan tangan kosong. Celestine memejamkan mata. “Jangan bawa-bawa dia.” “Oh, jadi memang ada 'dia',” suaranya pelan, tapi penuh ironi. “Aku pikir semua ini hanya emosi sesaat, tapi kamu sungguh memilih keluar dari bayanganku dengan pria sewaan?” “Dia bukan sewaan,” bisik Celestine tajam. “Dia manusia. Seseorang yang melihatku.” Arya tertawa pendek—sinis dan hancur di saat yang sama. “Melihatmu? Apa kau pikir aku tak melihatmu, Celestine? Setiap berbisnis, kampanye, setiap pidato, aku pikir aku sedang melindungi kita berdua. Ternyata, yang kau butuhkan bukan perlindungan—melainkan kebebasan untuk menghancurkan segalanya.” Arya terkekeh getir. “Mungkin yang aku butuhkan… hanya jadi wanita biasa. Bukan istri dari ambisi yang tak pernah tidur.” Arya mendekat. Terlalu dekat. Napas mereka bertabrakan di udara. “Terlambat,” katanya lirih. “Kau bukan wanita biasa lagi. Kau adalah simbol dan simbol tak boleh retak.” "Benarkah? Kalau begitu, harusnya itu berlaku untuknya juga?" "Siapa maksudmu?" "Aulia, gadis muda, mahasiswa seni? Kamu bahkan tidak tahu kalau dia memosting kedua tangan kalian yang berpegangan tangan di sosial medianya? Kamu pikir ayahku akan suka bila menantunya melakukan itu? Auliamu mungkin akan kehilangan lebih dari sekadar ketenangan hidupnya, Arya.” Arya melihat Celestine, mata melotot, dunia seakan berhenti. Keduanya ternyata saling mengetahui kelemahan masing-masing. Sebuah kartu As yang nyatanya bukan rahasia lagi. Beberapa detik tak ada yang bicara lalu Arya mengangguk. Tatapannya tak lagi memburu. Ia paham. Ia kalah dalam medan ini. “Baik, aku tidak akan membahas ini lagi,” katanya sambil membalikkan badan. “Tapi ingat ini, Celestine! Saat semua yang kamu miliki jatuh, pria itu tak akan menahan tubuhmu. Namun aku yang akan menahan nama belakangmu dari terjerembab ke lumpur.” Tanpa menunggu balasan, Arya melangkah pergi. Celestine menghela napas pelan lalu meneguk winenya lagi. Arya masuk ke ruang kerjanya. Malam ini, dia akan tidur di sana. Celestine merasa lega. Setidaknya, ranjang yang besar dan dingin jauh lebih dibutuhkannya daripada harus satu kamar dengan pria yang selalu mengajaknya berperang setiap kali mereka bertukar pandang. Untuk pertama kalinya malam itu, tak ada percakapan tambahan. Tidak ada perang dingin atau perang kata-kata. Hanya suara detak jam di dinding yang menggema—menghitung waktu sampai badai benar-benar datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD