Bab 6 Tempat Ternyaman

1074 Words
Setelah pertemuan singkat itu, Celestine duduk di ruang kerjanya yang luas. Dinding kaca menampakkan panorama ibukota, deretan gedung tinggi membentang seperti bayangan ambisi yang tak pernah usai. Namun gemerlap itu tak cukup ampuh meredam badai yang berkecamuk di dadanya. Di atas kertas, ia adalah CEO tangguh—penentu arah, simbol kestabilan, wajah yang harus selalu tampak kuat. Tapi di balik layar, ia adalah anak dari sebuah dinasti yang menjadikannya alat. Alat untuk mempertahankan reputasi, alat untuk memastikan Arya tetap berada dalam orbit politik keluarga mereka. Ponselnya bergetar. Pesan dari sekretaris muncul, mengingatkan rapat berikutnya—diikuti pesan ayahnya, lebih menyerupai perintah terselubung: "Pastikan Arya tetap pada tempatnya." Saat Arya datang, ruangan yang tadinya sunyi menjadi medan pertempuran halus. Tak ada sapaan, tak ada basa-basi, hanya kalimat yang tajam dan dingin. “Proyek ini terlalu berisiko, Celestine,” ucap Arya, nada suaranya sedingin lantai marmer di bawah kaki mereka. “Jangan biarkan ambisimu menjatuhkan kita.” Celestine menoleh perlahan, tatapannya mengunci milik Arya. “Ambisi? Kalau bukan karena ambisiku, fondasi kerajaan ini takkan pernah berdiri seperti sekarang. Kau tahu itu.” Percakapan mereka seperti pisau-pisau kecil yang saling melukai, namun tak cukup untuk membunuh. Mereka terikat bukan oleh cinta, melainkan kontrak, nama besar, dan tuntutan peran yang tak bisa mereka tolak. Ketika akhirnya Arya bangkit dan keluar ruangan tanpa pamit, Celestine menarik napas panjang. Sunyi kembali menyelimuti ruang kerja itu. Namun bukan sunyi yang menenangkan—melainkan sunyi yang menggema seperti ruang hampa, mengisap habis keberanian yang tadi ia pertahankan. Ia bersandar di kursinya, menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak yang menekan dadanya. Tangannya terulur ke laci, menarik sebuah kotak kecil berlapis beludru hitam. Di dalamnya, seuntai kalung perak sederhana dengan liontin tipis berbentuk bulan sabit. Bukan hadiah dari Arya, tapi dari Aidan. Diberikan diam-diam, di malam hujan pertama mereka bertemu kembali setelah bertahun-tahun. "Kamu selalu terlihat kuat, Cel… Tapi matamu seperti orang yang lupa caranya pulang." Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Entah kenapa, hari ini rasanya lebih berat dari biasanya. Ia menatap liontin itu lama-lama, seolah berharap jawabannya akan muncul dari sana. Namun yang ia dapatkan hanya bayangan dirinya sendiri—seorang wanita yang lelah menjadi simbol. Telepon di meja kembali bergetar. Kali ini dari Bram. “Ya?” Suara di seberang terdengar hati-hati. “Ibu, ayah Anda baru saja mengatur makan malam dengan salah satu ketua partai. Dia berharap Arya hadir sebagai pendamping Anda. Saya kira… Anda perlu bersiap.” Celestine nyaris tertawa, tapi yang keluar hanyalah dengusan getir. “Terima kasih, Bram. Siapkan gaun hitam dari koleksi Elara. Yang tertutup. Biar terlihat sopan.” “Baik, Bu.” Telepon ditutup. Ia menoleh ke jendela. Lampu-lampu kota tampak seperti luka-luka kecil yang menyala dalam gelap. Hari itu, ketika kota mulai berkelip seperti langit yang menahan tangis, Celestine termenung di balik secangkir kopi yang mulai mendingin. Wajah Aidan melintas dalam benaknya—satu-satunya tempat ia merasa seperti manusia, bukan simbol. Ia tahu, jika ketahuan, pria itu akan dilenyapkan. Bukan oleh paparazzi, tapi oleh tangan-tangan keluarga yang bersembunyi di balik tirai kekuasaan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengetik pesan: “Aku akan datang malam ini.” Ia menatap layar ponsel sesaat, seolah menimbang apakah pesan itu adalah keputusan… atau pelarian. Tapi jarinya sudah menekan kirim. Celestine berdiri dari kursi, perlahan. Kakinya melangkah menuju jendela besar yang membingkai gemerlap kota Jakarta, seperti lukisan yang terlalu mewah untuk dinikmati oleh jiwa yang lelah. Di balik cahaya gedung pencakar langit itu, ia tahu, ada ribuan orang yang menuntut keputusan-keputusan besar darinya. Investor. Karyawan. Keluarga. Hari ini, ia ingin menjadi perempuan biasa. Bukan pemimpin. Bukan istri. Bukan anak sulung dari keluarga ambisius. Perempuan yang bisa memejamkan mata dalam pelukan seseorang, tanpa takut akan konsekuensi politik atau skandal yang menunggu di balik pintu. Ia membuka satu kancing blusnya, hanya satu, cukup untuk bernapas. Lalu mengambil mantel hitam dan tas kecil berisi lipstik merah tua—warna yang hanya ia pakai saat bertemu Aidan. Langkahnya tenang menuju pintu. Tapi sebelum ia keluar, Celestine menoleh sekali lagi ke ruang kerja itu—kerajaan sunyi yang dibangunnya dengan air mata, kecerdasan, dan pengorbanan. “Aku tidak akan hancur di tempat ini,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tidak malam ini.” Pintu pun tertutup pelan di belakangnya. --- Apartemen itu sunyi saat ia tiba. Bangunan mewah atas nama perusahaan fiktif itu adalah satu-satunya tempat mereka bisa bernapas. Aidan sudah menunggunya, duduk santai di sofa. Kemejanya tak dikancing penuh, dan senyum miringnya seperti undangan untuk melupakan dunia luar. “Rapatnya lancar?” tanyanya dengan suara rendah, penuh nada hangat. Celestine tak menjawab. Ia hanya mendekat dan menduduki pangkuan pria itu, seakan tubuh Aidan adalah satu-satunya tempatnya merasa pulang. “Aku bisa pijat… atau kita bisa lupakan dunia sebentar,” goda Aidan dengan lembut. Celestine mengusap rambutnya, lalu tersenyum samar. Sebelum ia sempat menjawab, Aidan telah menariknya ke sofa, membenamkan bibirnya dalam ciuman yang dalam—panas, namun menyimpan kegetiran rindu yang lama terpendam. "Ng—Aidan," Celestine sempat mencoba berbicara, tapi kata-kata itu tenggelam dalam keintiman yang tumbuh seperti api kecil di tengah badai. Mereka tidak lagi saling menjaga jarak. Dalam pelukan, dalam sentuhan, mereka saling melepaskan beban yang tak bisa dibagikan pada siapa pun. Kancing terbuka perlahan, satu demi satu, bukan karena nafsu semata—melainkan karena rindu, karena luka, karena sebuah rasa yang tak bisa mereka eja. Celestine mendesah saat Aidan menelusuri bahunya, seolah membaca puisi sunyi yang tersembunyi di kulitnya. Ia tidak sedang ditaklukkan—ia sedang dibebaskan. Dalam dekapan Aidan, ia bukan lagi CEO atau anak seorang tokoh besar. Ia hanya wanita yang ingin dicintai, dimengerti, dan diterima. Aidan menatapnya saat tubuh mereka hampir sepenuhnya terbuka. “Kamu gila…” desis Celestine, separuh terengah. Aidan tersenyum, jarinya menyentuh pipi Celestine. “Mungkin, tapi hanya untuk kamu, Cel.” Ia menunduk, mencium dengan lembut, bukan untuk menguasai, melainkan untuk memeluk jiwanya. Suara napas mereka berpadu dengan gemuruh hati yang tak bisa diungkap dengan bahasa. Mereka tidak sedang bercinta—mereka sedang bertahan. Bertahan di dunia yang terus berusaha memisahkan mereka. Sofa itu menjadi saksi, bukan dari hasrat semata, tapi dari dua manusia yang terdampar di dunia yang tak memberi tempat untuk perasaan tulus. Di luar, lampu kota masih gemerlap, tapi di dalam, hanya ada remang-remang kehangatan yang sementara. Saat Celestine akhirnya tertidur di d**a Aidan, dunia seolah berhenti berputar. Namun Aidan tidak memejamkan mata. Ia menatap langit-langit, senyum kecil menghiasi wajahnya. Catur telah digerakkan. Sang ratu, kini berada di sisinya—tanpa menyadari siapa sebenarnya yang menggenggam papan permainan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD